Yulinar Safril, ‘Penyelamat Lingkungan’ dari Padang
Masyarakat Sumatera, terutama remaja kota Padang, kini semakin menggemari minuman ringan yang bahan dasarnya “rumput laut”. Minuman khas itu dapat dijumpai di restoran, warung-warung minuman bahkan penjual minuman di pinggir-pinggir jalan. Minuman ringan itu dikenal dengan sebutan es cendol rumput laut. Jenis rumput laut yang amat disukai tersebut adalah jenis rumput laut Eucheuma cottonii.
Sayangnya, sampai sekarang penduduk di sepanjang pesisir daerah Sumatera Barat belum tertarik memelihara jenis rumput laut yang satu ini. Di Indonesia, jenis rumput laut yang betul-betul mendapat perhatian serta pengelolaan yang sungguh-sungguh adalah jenis ganggang merah seperti Eucheuma sp, Gelidium sp, Gracilaria sp dan Hypnea sp. Rumput laut jenis Eucheuma ini banyak terdapat di Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Irian Jaya dan Kepulauan Riau.
Di daerah Sumatera Barat rumput laut jenis Eucheuma cottonii pernah dicoba dikembangkan di daerah pesisir selatan pantai Painan, namun tidak beroleh hasil yang memuaskan. Salah satu kendala dalam pemeliharaan adalah rumput jenis tersebut mati apabila terkena aliran lumpur dari darat.
Meski tantangan begitu rumit, Yulinar Safril asal kota Padang adalah petani rumput laut yang berhasil. Yulinar Syafril, yang Sarjana Biologi IKIP Padang ini berhasil membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan menjadikannya makanan sehat, minuman segar sampai bahan kosmetika yang dipasarkan ke beberapa daerah di Indonesia bahkan diekspor ke negara tetangga. Tidak salah kalau Yulinar Syafril dijuluki “Penyelamat” lingkungan biota laut yang berasal dari perairan Sumatera Barat sendiri.
Selama ini diketahui bahwa semua produk yang berbahan rumput laut tidak berasal dari perairan Sumatera Barat, melainkan didatangkan dari pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Perempuan berjasa yang dipersunting camat Kecamatan Bungus Kota Padang, bukan saja dikenal sebagai Bu Camat tetapi juga dikenal sebagai perempuan berwawasan luas dan kemauan keras dalam melestarikan lingkungan.
Berkat usahanya yang membuahkan hasil inilah Yulinar Safril memperoleh anugerah Kalpataru bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Tingkat Propinsi Sumatera Barat tahun 2001 dalam kategori “Penyelamat Lingkungan” sehubungan dengan kegiatannya membudidayakan rumput laut. Piagam Penghargaan tersebut diserahkan Menteri Lingkungan Hidup (Kabinet Persatuan) Soni Keraf yang pada waktu itu berkesempatan datang ke Kota Padang, Ibukota Sumatera Barat.
Perempuan kelahiran tahun 1957 ini mengaku dalam penelitiannya rumput laut mempunyai nilai gizi yang baik. Dengan keyakinan yang kuat akan manfaat tumbuhan tersebut, Yulinar berusaha membudidayakan rumput laut di Pantai Bungus dengan mengajak serta penduduk. Ternyata usaha kerasnya tidak sia-sia. Rumput laut dapat berkembang baik dan basilnya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga- keluarga penggarap rumput laut di Kecamatan Bungus. Apalagi minuman segar khas rumut laut semakin digemari. Belum lagi hasil pemasaran sebagai bahan kosmetika yang diketahui sangat kecil resiko kerusakan pada kulit.
“Jika potensi perairan pantai Kecamatan Bungus dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut, diharapkan akan ditiru oleh penduduk pinggir laut, dan tentu dapat memberi lapangan kerja baru bagi masyarakat nelayan Kecamatan Bungus yang pada gilirannya juga dapat sebagai tambahan devisa bagi pemerintah daerah,” tutur Dra. Yulinar.
Rumput laut bukanlah sejenis rumput yang biasa tumbuh di darat. Rumput laut adalah sejenis tumbuh-tumbuhan bertingkat rendah yang biasa disebut ganggang. Namun karena bentuk batangnya seperti rumput, maka banyak orang yang menyebut rumput laut. Bagian penting dari tubuh ganggang itu mempunyai semacam akar untuk melekatkan dirinya pada tempat (subtrat) hidupnya.
Sekalipun rumput laut tergolong tumbuh-tumbuhan tingkat rendah, tetapi ia memiliki butir-butir hijau daun. Bahkan juga memiliki zat-zat warna khusus seperti pigmen merah. Justru karena itulah maka di antaranya ada yang disebut ganggang biru, ganggang coklat, ganggang merah dan sebagainya. Sebagai mata pencaharian alternatif, Yulinar menawarkan kepada para nelayan tetap melaut dengan menanam rumput laut tersebut yang ditanam dengan mempergunakan “rakit apung”.
Agar penduduk pantai mau menanam rumput laut, maka perlu dilakukan suatu percontohan dengan melibatkan pada nelayan pantai sendiri sebagai pekerja dan mereka digaji seperti buruh biasa. Tanpa sadar mereka bekerja tetapi juga sekaligus belajar karena pengalaman yang dijumpai setiap harinya. Kata Yulinar Safril, dalam memberikan contoh kepada nelayan dalam usaha budidaya rumput laut, mereka harus diikutsertakan dalam mencari tempat dan ditunjukan syarat tempat yang baik bagi budidaya tersebut. Demikian juga harus dilakukan kajian ekonomis dengan menunjukkan dan mencoba beberapa metoda budidaya yang darinya nanti akan diketahui metode yang memberikan hasil optimal. Bila mereka nantinya setelah bekerja dan tahu usaha itu berhasil, maka besar kemungkinan mereka akan menanam sendiri, karena telah tahu caranya.