Yuli Setyawati Sebar Nilai Didik Mainan Kayu
Niat ingin memberikan si kecil mainan edukatif, ternyata berbuah usaha yang cukup menguntungkan bagi Yuli Setiawaty. Saat putrinya, Irlyana Prameswari Ramadhina (4), mulai merangkak, ia pun berniat memberikan si kecil mainan yang bermanfaat bagi kemampuan motorik dan kognitifnya. Niat ini kemudian berubah menjadi sebuah peluang usaha, ketika Yuli menghadiri pameran yang memamerkan berbagai mainan untuk anak-anak yang menurutnya cukup unik. Berbekal ketertarikannya, Yuli pun menghubungi produsen mainan tersebut.
“Kebetulan saya punya beberapa teman yang mengajar di sekolah, jadi saya bisa menawarkan ke mereka mainan edukasi untuk anak-anak tersebut,” kata Yuli.
Namun jarak antara produsen mainan, rumahnya dan target pasar yang cukup jauh, membuatnya mengalami kendala. Yuli terpaksa bolak balik dari rumahnya di Kelapa Dua, Jakarta Barat ke pabrik mainan di Tanjung Priuk, lalu mengantarnya ke sekolah yang letaknya di Bintaro, Tangerang.
“Bisa dibayangkan bagaimana biaya transport yang harus saya keluarkan, Kelapa Dua -Tanjung Priuk dan Kelapa Dua -Bintaro. Padahal keuntungan dari setiap barang itu paling hanya Rp. 3000 sampai Rp. 5000, enggak bisa mengambil untung banyak,” ujar wanita kelahiran 25 Juli 1979 ini.
Tapi semangatnya tak luntur begitu saja, sebab pesanan yang ia terima semakin lama semakin banyak. Akhirnya Yuli pun berani memodali usahanya. Dengan uang sebesar Rp. 700 ribu, ia pun membeli beberapa mainan tanpa pesanan.
“Waktu itu benar-benar untung-untungan. Tapi saya pikir, kalau pun tidak laku, toh masih bisa buat anak saya,” ujarnya santai. Tapi ketakutannya tak beralasan, karena semua mainan yang ia beli, habis terjual dalam waktu singkat.
Kenyataan inilah yang kembali mendongkrak semangat Yuli, ia jadi lebih giat mencari pelanggan. Hingga pada akhirnya, di pertengahan tahun 2005, Yuli mendapat pesanan dalam partai besar dari teman-temannya.
Walhasil, untuk memodali pesanan tersebut, emas seberat 10 gram pun harus rela dijual. Selain untuk membeli barang pesanan, uang hasil penjualan emas pun ia gunakan untuk membeli mesin yang dibutuhkan untuk membuat mainan.
Dibantu oleh seorang pegawai yang dilatih untuk menjadi tenaga ahli, Yuli akhirnya mendirikan pabrik mainannya sendiri yang diberi nama Melati Toys.
Meski masih berusia beberapa tahun, di luar dugaan Melati Toys mampu berkembang dengan pesat. Pesanan tak hanya datang dari sekolah-sekolah, tapi juga agen serta toko-toko mainan.
Kini Melati Toys tak hanya membuat mainan sesuai pesanan saja, tapi juga memproduksi mainan non pesanan untuk dipajang di rumah yang sekaligus berfungsi sebagai galeri mainannya.
Walau terkadang ia gagal memasukkan mainannya ke berbagai sekolah atau kalah tender dari pemodal lain yang memiliki modal lebih besar, namun Yuli tak mau pesimis dan terus mengembangkan usahanya tersebut.
Keuntungan yang ia peroleh, selalu ia putar kembali dengan membelikan mesin-mesin baru atau membayar para pekerjanya, yang sekarang bertambah hingga lima orang. “Barangkali karena semua kebutuhan hidup saya ditanggung suami, jadinya keuntungan dari jual mainan dapat digunakan untuk pengembangan,” tukasnya.
Melati Toys sendiri memfokuskan produknya pada mainan edukatif untuk anak-anak yang terbuat dari kayu (wooden toys), seperti puzzle, geometri, wire game, sliding car, buah potong, balok susun, puzzle angka/huruf, step-step, kursi-meja anak, dan sebagainya.
Harga mainan yang ia tawarkan, umumnya tak lebih dari Rp. 25 ribu hingga Rp. 600 ribu. Mainan seharga 25 ribu, misalnya tangram atau mainan kertas atau karton yang dapat dilipat menjadi berbagai bentuk. Sedang yang termahal adalah wire game besar yang bermanfaat untuk melatih konsentrasi, mengenal warna dan bentuk, melatih gerakan motorik tangan, dan merangsang indra peraba.
Ia sengaja memilih produk mainan berbahan dasar kayu dengan alasan lebih aman dan rasa memiliki, “Biasanya kalau mainan plastik anak-anak suka main lempar seenaknya saja, kalau kayu kan tidak,” terang istri Irfan Haseli ini.
Agar produknya makin berkembang, ia pun tak lupa untuk melakukan promosi, meski hanya sebatas hubungan pertemanan dan website. Namun promosi paling ampuh, menurut Yuli, adalah lewat media.
“Setelah masuk menjadi berita beberapa media, tiba-tiba saja pesanan banyak,” akunya. Bahkan pesanan pernah datang dari Pekanbaru, Medan, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Malaysia dan Singapura.
Mengantarkan barang hingga ke tempat tujuan dengan kondisi utuh, ternyata sempat menjadi kendala. Apalagi bila konsumen ingin menggunakan jasa ekspedisi yang murah, misalnya kelas tiga, padahal mainan tersebut sangat rawan patah.
“Saya pernah punya pengalami dikomplain pelanggan akibat mainannya patah-patah, padahal itu kesalahan ekspedisi yang ia pilih sendiri,” jelasnya, kala itu ekspedisi yang dipilih pelanggan memang yang murah sehingga tidak terjaga dengan baik.
Namun komplain tersebut tidak menjadi masalah besar baginya, “Biasanya sih kita jelasin, dan syukurnya mereka mau mengerti,” tukas Yuli yang omsetnya kini mencapai Rp. 10-20 juta perbulan.
Dalam membuat produk mainan, Yuli tak segan-segan untuk ikut melibatkan para pelangannya. “Biasanya ide mainan bisa dari saya atau pelanggan. Seringnya pelanggan yang memesan memberikan gambaran apa yang ia mau, sehingga dapat menjadi pengetahuan baru buat saya,” tandasnya. [Rahmi/halohalo/maret2008]