Tukang Ojek Suwarni Juga Tukang Tambal Ban, Juga Main Ludruk
Rombongan Grup JAWA POS Biro Sidoarjo bertemu dengan Suwarni secara kebetulan. Ketika meluncur dengan sepeda motor menyusuri perkebunan tebu Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik, salah satu ban tiba-tiba kempes. Di tempat terpencil, di kampung pendalaman, mana ada tukang tambal ban?
Rombongan pun mau tidak mau harus menuntun sepeda-motor, sambil bercanda, sejauh kurang-lebih tiga kilometer. Seorang perempuan menghampiri dan bertanya, “Bocor ya? Mau ditambal?” Dalam sekejap, dia keluarkan perkakas tambal ban…dan mulai bekerja. Sangat lincah!
Itulah Suwarni, yang dipanggil akrab Ning Warni. “Saya memang tukang tambal ban,” katanya. “Saya sudah menekuni pekerjaan ini sejak 1993…kerja apa saja, pokoke halal.” Sambil berbicara ia terus bekerja. Tidak sampai 30 menit, ban siap dipakai lagi.
“Untung ada Ning Warni, kalau tidak kita harus tuntun motor ke Mojokerto,” komentar Agus, loper koran.
Kecekatan dan mutu pekerjaan Suwarni sudah diakui di daerahnya, mulai dari kecamatan Tarik hingga Mojokerto, Jawa Timur. Selain bekerja sebagai penambal ban, ibu tiga anak ini sehari-hari bekerja juga sebagai tukang ojek. Sehari-hari Warni melintas di jalan-jalan kampung, mulai dari Tarik, Mojokerto, Prambon, Tulangan, Tanggulangin, hingga Sidoarjo.
“Tergantung konsumenlah. Kita sih senang saja. Namanya juga cari makan,” tuturnya lembut.
Bekerja sebagai tukang ojek, merangkap tukang tambal ban, dilakoninya sejak tahun 1993 waktu dirinya berusia 30 tahun. Berbekal kepiawaian mengemudikan motor, Warni memberanikan diri menjalankan layanan ojek. Tentu saja, muncul banyak suara sumbang, atau sekadar heran, kok wanita jadi tukang ojek rangkap tambal ban? Bukankah itu pekerjaan laki-laki? Hingga kini Suwarni adalah satu-satunya perempuan tukang ojek di sana.
“Biarkan aja mereka bicara. Saya kan bekerja untuk kebutuhan keluarga. Kalau saya nggak kerja, apa mereka bantu keluarga saya?” katanya tenang.
Memang, di awal-awal menekuni ojek plus tambal ban, Suwarni oleh warga setempat dianggap aneh, nyeleneh, tidak umum. Lama kelamaan penduduk setempat terbiasa dengan kehadiran Suwarni yang tekun bekerja di pinggir jalan. Sekarang, kata Suwarni, yang keheranan melihat perempuan bekerja sebagai tukang tambal ban dan tukang ojek justru pendatang dari luar daerahnya.
Ada keuntungan tersendiri buat Ning Warni sebagai perempuan di kedua pekerjaan tersebut. Ia justru menjadi langganan para penumpang perempuan.
“Lebih sreg kalau dibonceng Ning Warni. Kita kan sama-sama wanita, jadi enak kalau di jalan,” ujar seorang Siti Fatimah, wanita berjilbab.
Ia pernah memakai kaos oblong, celana panjang, helm standar sehingga sang penumpang, yang belum pernah naik ojeknya, terkecoh. Di tengah jalan, ketika berdialog, sang penumpang terkejut ketika mendengar suara perempuan keluar dari pengemudi ojek. “Maaf, sampayen ini laki-laki apa perempuan?” tanya si penumpang. Ning Warni membuka helemnya, memperlihatkan wajah serta rambutnya yang panjang.
Bingung Kenapa Meraih Penghargaan Kartini
Suwarni mengaku kaget sewatu ada panitia ‘Kartini Award’ (dari Hotel Surabaya Plaza, dulu Hotel Radisson) datang menghubunginya di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik. Ning Warni dianggap memenuhi kriteria sehingga layak mendapat penghargaan. Acara digelar di Surabaya, di sebuah hotel berbintang. “Saya kaget sekali, kok dapat penghargaan. Prestasi saya apa? Beneran apa main-main?” kenangnya lugu.
Dengan penjelasan panjang-lebar, Suwarni dan tiga anaknya (Sri Irawati, Joko Basuki dan Ria Agustina) berangkat ke Surabaya untuk menerima penghargaan. Dia keheranan karena menurutnya, sehari-hari ia hanya bekerja biasa, tetapi ternyata dianggap mewujudkan cita-cita Raden Ajeng Kartini.
“Lumayan, hadiahnya macam-macam. Uang tunai, piagam, serta bingkisan lain,” tutur Suwarni yang menikah dengan seorang pemain ludruk terkemuka setempat.
Acara Kartini Award itu diliput banyak wartawan dari berbagai media lokal maupun nasional, termasuk televisi. Maka, wajah Warni pun masuk koran, majalah, tabloid, televisi. Warga Dusun Mergosari pun terkaget-kaget menyaksikan sosok Warni di media massa. Suwarni sendiri hanya bisa tersenyum saja.
Ia tetap sederhana, melayani pelanggan denganĀ apa adanya. Tak ada yang berubah pada diri seorang Ning Warni kendati sempat diliput luas media massa. Warni menganggap Kartini Award, liputan media massa, apresiasi warga Surabaya, sebagai dukungan moral baginya untuk tetap tekun bekerja.
Di waktu senggang, Suwarni punya kesibukan lagi. Ia adalah anggota Ludruk Gema Tribrata, grup seni tradisi binaan Polda Jawa Timur. Cak Otheng, suaminya, merupakan pemimpin ludruk yang bermarkas di Dusun Mergosari, Kecamatan Tarik.
“Sampai sekarang saya masih main meskipun akhir-akhir ini tanggapan agak kurang. Ludruk kan main malam, sehingga nggak mengganggu pekerjaan tambal ban dan ojek,” ujar Ning Warni santai. [Catatan: Karena main ludruk itulah, Suwarni lebih dikenal sebagai Ning Warni. Semua pemain ludruk memang menggunakan sapaan akrab ‘Cak’ untuk pria dan ‘Ning’ untuk wanita.]
Ketika Gema Tribrata sepi tanggapan, Ning Warni dan Cak Otheng tak kehabisan akal. Mereka membentuk grup’campursari’ dengan formasi kecil. Ini penting untuk menyiasati pasar yang sulit menanggap grup besar seperti Gema Tribrata yang 50-60 orang. “Saya dipasang sebagai pelawak. Main campursari, mengisi wayang kulit, juga bisa,” tuturnya, bangga.
Sumber: Lambertus L. Hurek, Blog Orang Kampung (http://hurek.blogspot.com)