Terus Membakar, Semangat Batik Bakaran Warisan Nyai Ageng
Setelah Terpuruk, Penghargaan Demi Penghargaan
Batik Bakaran pernah tiarap di tahun 1998. Waktu itu, krisis moneter membuat pengrajin tidak bisa mengambil untung karena harga dasar dengan harga jual tak sesuai, banyak pembatik yang banting stir mencari usaha lain. Pernah berhenti saat krismon. “Bayangkan, harga luar negeri naik, di kirim ke Indonesia, saya tidak terjangkau harga jual sama pembelian pewarna. Tidak sesuai,” kenang Bu Cokro. Ia kemudian les menjahit. Selesai les, bu cokro kemudian menerina jahitan. Empat tahun kemudian, setelah harga mulai stabil lagi, mereka pun melanjutkan membikin batik lagi. Setelah itu, beberapa penghargaan menghampiri mereka. Di tahun 1994, ia mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah, Ismail. Di tahun 2009, pernah mendapat penghargaan pula dari presiden RI.
Bu Tini juga menceritakan perjalanan batiknya. Mulanya, dulu ikut mertua yang sudah sejak turun temurun membatik di Bakaran. Keluarga bukhari sendiri adalah keturunan kelima. Bu tini sendiri, mulanya tidak mau diajari membatik, tetapi ia dimarahi mertuanya, kata mertuanya, “Pokoknya harus bisa,” katanya menirukan. Ia pun diajari sampai bisa, apalagi ia dididik dengan penuh kedisiplinan oleh mertuanya. Setelah menikah, mereka masih satu rumah dengan mertua. Tujuh tahun kemudian, barulah mereka membuat rumah. Setelah itu, ia meneruskan ajaran mertua, mulai membatik kecil-kecilan, dengan modal yang pas-pasan.
Tahun 1985, Bu Cokro pernah sekolah pewarna di Yogyakarta selama satu setengah bulan. “Saya sekolah di Yogya itu kan mendapat pewarna, saya mendapat pewarnaan dari masyarakat sekitar. Jadi masyarakat yang membatik., saya yang warna, jadi, saya mendapat upah warna, seumpama 10 ribu perlembar, obatnya habisnya 8000, untung 2000. Kalau beberapa lembar kan bisa untuk makan sehari-hari,” paparnya.
Batik Bakaran memiliki motif gurat-gurat pecah seperti pada batik Wonogiren atau batik tulis khas Wonogiri. Secara lebih rinci lagi, corak batik di bakaran wetan dan kulo juga berbeda. di Bakaran Wetan garisnya lebih rajin dan dari remukannya sudah beda. Karena itu, biasanya, setelah jadi, ditiru oleh pembatik dari Bakaran Kulon.
Untuk membuat batik, pertama-tama, kain mori diberi pola. Setelah itu, kain di-sawiti. Selesai di-sawiti, kain kemudian ditembok atau di-blabari. Setelah di-blabari, dikasih warna. Setelah pewarnaan, kain kemudian di-lorot. Dilorot fungsinya untuk menghilangkan malam. Setelah itu, baru diseterika. Harganya bervariasi mulai dari 150 hingga 400 ribu berlembar. Harga tergantung dari jenis kain dan tentu saja batikannya, kalau motifnya halus dan rumit, biasanya lebih mahal.