Terlupakan, Kearifan We Tenri Olle, Ratu Cendekia Bugis
We Tenri Olle Pertama Perkenalkan Sekolah Rakyat Segala Kalangan
We Tenri Olle juga merasakan betapa sulitnya Tanete ketika rajanya La Patau, ditangkap dan diasingkan Belanda karena perlawanan fisik yang dia gencarkan pada tahun 1840. Sebagaimana kakeknya, La Rumpang, We Tenri Olle lebih memilih untuk bersikap kooperatif dengan Belanda dan berusaha mengambil banyak manfaat dari hubungan baik itu untuk berkonsentrasi pada kesejahteraan, pendidikan dan pelestarian kebudayaan Bugis. Sikap politik yang diambil olehnya tentu merugikan reputasinya di pengungkapan sejarah formal di negara yang kelak mengangkat pahlawan hanya untuk pejuang anti-kolonial Belanda dan tidak menyisakan tempat untuk anak negeri yang mengambil kutub berbeda.
Meski demikian, kecerdasan We Tenri Olle juga ditunjukkan dalam kepiawaiannya melakukan reformasi pemerintahan. Keadaan Tanete saat ia naik tahta penuh dengan konflik vertikal antar penguasa-penguasa lokal di bawah kekuasaannya. Terkadang pemimpin bawahan (matoa dan arung) melakukan pembangkangan atas perintah pemimpin atasnya (datu). Ketika We Tenri Olle menjadi kepala Negara, Kerajaan Tanete terdiri dari 13 banua daerah persekutuan hukum (distrik), yang masing-masing berdiri sendiri di bawah pemerintahan seorang kepala pemerintah, dan beberapa palili atau daerah vassal. Untuk menjaga kewibawaan dan efektifitas pemerintahan, We Tenri Olle kemudian melakukan perampingan pemerintahan dengan menghapus beberapa struktur lokal dan hanya menyisakan empat wilayah (palili), yaitu: 1. Tanete ri Tennga, 2. Tanete ri Lauq, 3. Tanete ri Aja, dan 4. Gattarang.
We Tenri Olle memerintah kedatuan Tanete dengan kondisi politis dan ekonomi yang stabil selama lebih dari separuh abad, 55 tahun. Mungkin beliaulah pemimpin kerajaan paling lama memerintah di Nusantara. Lamanya pemerintahan ini dimanfaatkan dengan baik oleh We Tenri Olle untuk berkonsentrasi kepada dua hal yang sangat menarik minatnya: pendidikan dan kesusastraan. Pada saat riuh perlawanan raja-raja Bugis tahun 1905
Setelah mundur dari singgasana kerajaan Tanete tahun 1910, praktis tidak ada kronik yang menceritakan keberlanjutan tahta Tanete berikutnya. Hal ini mungkin dikarenakan Tanete lambat laun dimasukkan dalam daerah administrative Onder Afdelling Barru yang bernaung dibawah Afdelling Parepare. Onder Afdelling Barru yang kini menjadi Kabupaten Barru sendiri merupakan gabungan kerajaan-kerajaan kecil: Berru (Barru), Tanete, Soppeng Riaja dan Mallusetasi.
Pencetus Konsep Sekolah Rakyat Untuk Semua Kalangan
Dari pendalaman tentang sastra dan intensitas pergaulannya dengan BF Matthes dan ida Pfeiffer, Tenri Olle kemudian memikirkan langkah strategis untuk memajukan bangsa Tanete melalui pendidikan. BF Matthes sendiri sempat mendirikan sekolah di Tanete tahun 1876 yang dikhususkan untuk laki-laki saja. Murid yang diterima hanya dari kalangan terbatas; bangsawan dan kaum kaya. Berbeda dengan FB Matthes, We Tenri Olle kemudian mendirikan sekolah rakyat yang terbuka untuk semua kalangan di tahun 1890 atau 1908. Model sekolah rakyat, atau juga di kenal sebagai sekolah desa (volkschool) ini yang pertama di jazirah Sulawesi Selatan kala itu.Model sekolah rakyat (volkschool) ini sepenuhnya inisiatif We Tenri Olle yang lahir dari ide kreatif kerajaan Tanete tanpa bantuan dari pemerintahan kolonial Belanda kala itu. Sekolah ini dibuka untuk semua kalangan, tidak saja dari kalangan bangsawan dan orang kaya, tapi juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat bawah untuk mencicipi pendidikan tanpa ada diskriminasi ekonomi, sosial atau gender. Belakangan, model sekolah rakyat (volkschool) yang dirintis oleh We Tenri Olle ini kemudian diadopsi oleh daerah lainnya di Sulawesi Selatan, hingga ke Wajo, Bone, dan Makassar. Di Makassar, model sekolah ini disebut “sekolah Melayu” sebagaimana dituliskan oleh FB Matthes dalam bukunya.
Karena keterbatasan publikasi, model sekolah yang dirintis oleh We Tenri Olle ini tidak banyak ditemukan deskripsinya dalam banyak literatur. Kemungkinan, mengingat cakupannya yang menyeluruh ke seluruh kalangan, mata pengajaran yang diberikan adalah membaca dan berhitung. Dua mata ajaran standar yang dipakai untuk mengasah kemampuan dasar masyarakat Tanete kala itu.
Meski berstatus sebagai sekolah rakyat, tapi ide kreatif We Tenri Olle sungguh sangat luar biasa dan melampaui zamannya kala itu. Bahkan jauh mendahului RA Kartini dan Dewi Sartika di Jawa yang lebih dikenal dalam kepeloporan pendidikannya di Indonesia. Apalagi kontribusi We Tenri Olle dalam kemajuan pendidikan tersebut mencakup semua kalangan tanpa melihat sekat sosial dan ekonomi sebagaimana yang lumrah terjadi di zamannya. Dia bukan saja berjuang secara partikular untuk kaum perempuan semata, tapi cakupannya menyeluruh menembus batas gender, batas sosial dan batas budaya.