Tari ‘Srimpi Neyeng’ Impikan Perempuan Jaga Warisan Budaya
Oleh Nuri Aryati
Perempuan sebagai penjaga warisan budaya Indonesia diimbaukan dalam sebuah karya tari tradisional yang dimodernkan (kontemporer) berjudul “Srimpi Neyeng”. Pentingnya menjaga warisan budaya mencuat dari peristiwa diklaimnya tari Pendhet dan Reog sebagai kebudayaan negara tetangga beberapa waktu yang lalu.
Perempuan dinilai memiliki nilai strategis sebagai penjaga warisan budaya, karena dari perempuanlah generasi baru terlahir. Karya tari ini didukung oleh empat penari dan satu dalang, semuanya perempuan.
Pendukung karya ini adalah penari yang sudah dikenal kualitas kepenariannya, sebagian besar mereka juga menjadi pengajar tari Jawa di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka adalah Rusini, Hadawiyah Endah Utami dan Sri Setyoasih “ting tong”, sedang satunya lagi Wahyu “Inong” Widayati. Sedangkan dalang perempuan dipercayakan kepada Murharti yang tak lain adalah ibunda Mugi sendiri.
Mugi atau Mugiyono Kasido adalah penata atau pencipta tari Srimpi Neyeng yang berdurasi sekitar 40 menit. Selama setahun, Mugi mempersiapkan karya tari yang bermakna ajakan untuk nguri-uri warisan budaya, tidak terbatas tari. Menjaga warisan benda maupun non benda dari kepunahan maupun dari usaha pihak lain yang kurang terpuji.
Sajian yang dilakoni oleh empat penari ini digarap berbeda dengan tari tradisi Srimpi. Mulai dari musik, gerak, kostum maupun cara penyajian, semua dipikirkan untuk menghasilkan sebuah karya yang unik, menarik dan mampu menyampaikan pesannya. Dalam “Srimpi Neyeng” , koreografer berkelas internasional ini memadukan dalang wayang kulit perempuan dan tari Srimpi yang sudah dikembangkan.
“Gerakan tarinya terinspirasi dari tari tradisi Srimpi, namun dipadukan dengan unsur pedalangan seperti dodogan, sulukan maupun janturan,” papar koreografer berkelas internasional ini.
Tari ciptaan Mugi adalah tari kontemporer, atau modernisasi tari, dari tradisi dikembangkan menjadi masa kini. Seperti yang dilakukannya dalam karya tergressnya ini. Urusan kostum digunakan kain lurik, kain yang dulu biasanya hanya untuk menggendong dagangan, kini difungsikan sebagai kostum, seperti layaknya jarik dan samparannya.
Berbalut Tikar Sebagai Simpbol Cabiknya Budaya
Mugi juga memakai tikar sebagai kostumnya, tikar yang biasanya hanya untuk duduk tak ubahnya sebuah karpet, disulapnya menjadi kostum yang unik sekaligus sarat pesan. Dikatakannya bahwa dalam adat Jawa, tikar adalah benda yang selalu ada, misal dalam kelahiran bayi, pernikahan maupun kematian. Tikar yang tak lagi utuh, sudah kumal dan sebagian sobek-sobek menyiratkan makna keadaan budaya bangsa yang serupa.
Dia berharap banyak pihak yang bisa ikut peduli merawat warisan budaya, sebab jika tak dirawat akan rusak dan secara ekstrim bakal punah. Namun, merawat bagi Mugi, dalam hal tari, misalnya tidak hanya menyimpannya dalam museum.
“Justru dikembangkan ke konteks masa kini, ruh nya atau spiritnya dipegang, tetapi digarap dalam konteks kekinian,” jelas pemilik padepokan seluas 2500 m2 di wilayah Kartasura ini.
Demikian pula pemerintah, sudah selayaknya dan bahkan wajib untuk menjaga warisan budaya bangsanya. Mugi sempat menyayangkan dengan kebijakan beberapa sekolah di kawasan Solo yang memilih mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai muatan lokal sekolah.
Menurutnya, namanya muatan lokal ya mestinya lokal dimana sekolah itu berada, bukan malah kebudayaan bangsa lain. Mulai lunturnya budaya berbahasa Jawa ini sudah tercermin dalam kemampuan anak-anak berbahasa Jawa yang minim.
“Kebanyakan merasa bangga jika pintar bahasa Inggris, bukan bangga terhadap kebudayaan sendiri, ini yang mestinya jadi perhatian semua pihak,” keluh koreografer yang juga mampu mendalang ini.
Dia berharap pihak Pemerintah mau peduli dengan regenerasi budaya. Sebab pengajaran formal juga memegang peran penting untuk membentuk kemauan mempelajari sesuatu. Jika tak lagi diminati karena dinilai tidak bermanfaat, dikhawatirkan bahasa Jawa, sebagai budaya bangsa, bakal punah pada generasi mendatang.
Metamorfosis koreografi terbaru produksi Mugi Dance ini akan dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta pada 29 dan 30 April mendatang bersama dengan karya tunggal bertitel “Metamorfosis”. Sajian tari tunggal berdurasi sekitar 20 menit ini akan dibawakan sendiri oleh Mugi tanpa iringan musik.
Metamorfosis ini mengungkapkan tentang perubahan karakter manusia karena terpengaruh krisis. “Idenya dari krisis ekonomi dunia tahun 2008 lalu, di mana karena situasi, manusia ada yang kehilangan rasa kemanusiaannya, saling menikam,” urai koreografer yang sering memberi workshop tari di sejumlah negara ini.
Karya tunggal terbaru ini merupakan karya Mugi tanpa musik yang ke delapan dari sekitar dua puluhan karyanya. Garapan lain yang tanpa musik adalah Empat Topeng, Pidato, Mei, Omong Omong, Kabar Kabur, Puisi Tubuh dan Lengser. Sebab, menurut Mugi, tubuh itu sudah memiliki musiknya sendiri, jika tidak klop dengan iringannya, malah tidak mendukung pementasan.~ (Nuri Aryati)