Syukur Para Pengangkut Bata Lansia
[DESIRPASIR] – Hari sudah siang, matahari belum tepat di atas ubun-ubun, namun jarum jam sudah mulai bergeser dari angka sebelas. Di bantaran Sungai Banjir Kanal Timur Semarang, Musrimah, 75, warga Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, ini tampak masih memindahkan tumpukan batu bata dari lokasi pemanggangan ke pinggir jalan.
Dengan kedua tangan yang sudah renta itu, lima-lima balok batu bata diangkatnya dengan gontai, meski nafasnya terkadang tersengal dan tubuhnya terkadang terasa cenat-cenut, namun kalau belum terdengar adzan Dzuhur dari masjid dekat lokasi sentra perajin pembuatan batu bata di kelurahan Sambirejo itu, Musrimah belum menghentikan pekerjaan yang sudah dilakoninya lebih dari 35 tahun itu.
Saat ini, ia bersama perempuan-perempuan sebayanya hanya bisa mengangkat sedikit demi sedikit memindahkan jemuran bata mentah menunju pemanggangan atau dari pemanggangan menuju pinggir jalan yang siap diangkut pembeli. Sebelum umurnya mencapai 50 tahun dulu, ia juga berbaur dengan tanah liat dan memilin-memilin tanah campur gambut itu menjadi balok bata dengan sebuah cetakan.
“Saat ini, karena tenaga saya sudah tidak ada, hanya angkut-angkut saja, yang cetak batanya pekerja laki-laki,” ujar ibu enam anak ini.
Di usia senjanya ini, dalam sehari, Musrimah maksimal hanya bisa mengangkut batu bata itu sebanyak 1.000 buah, setiap buah batu bata yang diangkat dihargai oleh pemilik perajin tersebut hanya Rp100, sehingga setiap hari ia bersama perempuan-perempuan sebayanya hanya bisa membawa pulang uang Rp10 ribu. “Alhamdulillah sudah bisa untuk makan dan beli obat. Kalau pas tenaga saya masih kuat dulu, sehari saya bisa mengangkat 3.000 – 4.000 batu bata,” tutur perempuan yang 75 tahun silam ini lahir di Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan ini.
Tekun Dalam Kesahajaan Ikhlas
Sejak suaminya meninggal, ia tidak pernah kerja lain selain ikut membuat batu bata, meskipun anak-anaknya juga sudah berumahtangga, Musrimah juga tidak lantas berpangku tangan mengandalkan sandang dan pangan dari anak-anaknya itu. “Ya, kalau pas anak mampu, kalau tidak ada khan malah pakewuh sendiri,” imbuhnya.
Musrimah mengaku, sudah separo hidupnya di dunia dihabiskan untuk membuat batu bata, namun ia ikhlas menjalani dari hari ke hari, ia juga tidak ingin banyak hal dalam hidupnya. “Yang penting hidup itu khan sehat, panjang umur, bisa kerja dengan baik, bisa melihat anak cucu, dan bisa kumpul-kumpul dengan tetangga maupun teman,” tuturnya.
Dalam bekerja sebagai pembuat batu bata pun Musrimah bisa berkumpul dengan bersama teman-teman perempuan sekerjanya dengan baik. Di kompleks sentra kerajinan batu bata itu setidaknya ada belasan perempuan yang usianya sudah udzur tapi tetap perkasa mengangkut dan mencetak bata demi bata yang digunakan untuk membangun gedung pencakar langit di sekitar tempat kerjanya itu.
Setali tiga uang, Sriyati, 85, juga mengalami hal serupa, meski sudah sepuh, namun target sehari bisa mengangkat minimal 1.000 batu bata harus bisa dilakukan. Ia juga tidak lantas mengandalkan anak, cucu, dan cicitnya yang katanya bisa memberi nafkah untuknya. “Kalau kerja sendiri khan lebih enak, tidak merepotkan orang lain. Dengan begitu khan, hati jadi tenteram dan ibadahnya bisa lancar,” tutur nenek dengan enam cicit ini. :: [Amin Fauzi/desirpasir.blogspot.com/feb2012]