Suraiya, Rintis Cara Berdialog Untuk Perdamaian di Aceh
Mengkritisi Perda Syariat Islam
Dalam berbagai kesempatan, Suraiya dikenal sebagai sosok yang acap bersuara kritis terhadap apa yang dia sebut sebagai implementasi sebagian materi Peraturan Daerah (Perda) Syariat Islam di Aceh yang juga disebut Qanun.
Praktek hukuman cambuk dipraktekkan di Aceh sebagai implementasi dari Perda Syariat Islam.
Inilah yang membuat saya menanyakan ulang bagaimana sikapnya atas apa yang diistilahkan sebagai penerapan Syariat Islam di Propinsi Aceh.
Atas pertanyaan itu, Suraiya menjawab secara tegas dan panjang lebar. Namun disela-sela wawancara itu, dia mewanti-wanti saya agar “tidak memotong-motong” jawabannya.
Hal itu dia tekankan karena sikap kritisnya itu selama ini menimbulkan salah-paham di sebagian masyarakat Aceh, sehingga dia dicap “tidak mendukung Syariat Islam (di Aceh)”.
Padahal, “saya mengkritisi…
agar pelaksanaannya (Qanun) lebih baik…”
Dalam pemahaman Suraiya, Islam memberi tempat terhormat kepada perempuan. “Yang ingin saya katakan, hukum Islam itu membuka ruangan yang luar biasa kepada perempuan”.
“Tetapi,” ujarnya, “ketika sebuah aturan yang begitu luas diatur dalam perda, Anda bisa bayangkan apa yang terjadi.”
“Islam itu kan bervariatif (menurut) pemahaman orang,” katanya menganalisa secara menyebut beberapa mazhab dalam Islam.
“Nah, sekarang ketika dibuat perda untuk menerapkan Syariat Islam, aturan (mazhab) mana yang mau dipakai?”
“Kalau pilih salah-satu (mazhab), kenapa itu yang dipilih? Siapa yang berhak menentukan. Itu ‘kan persoalan.”
“Jadi ini aturan yang begitu luas, komprehensif, disempitkan menjadi peraturan daerah, Qanun”.