Suraiya, Rintis Cara Berdialog Untuk Perdamaian di Aceh
Perempuan Aceh dan dialog damai
Sayangnya, demikian Suraiya, kerja-kerja kongkrit kaum perempuan dalam mendorong proses perdamaian itu, “jarang diakui dan dihargai.”
Proses perundingan damai Indonesia-GAM di Helsinki tidak melibatkan perempuan, padahal ide dialog damai dilahirkan kaum perempuan Aceh, kata Suraiya.
“Padahal dalam proses inisiasi itu banyak peran kaum perempuan yang muncul,” tandas peraih gelar master di Fakultas Hukum jurusan Hak Asasi Manusia di Hongkong University, pada 2003 lalu.
Dia lantas mencontohkan, peran kaum perempuan Aceh yang dianggapnya berperan strategis dalam mendorong proses perdamaian di Aceh — akibat didera konflik lebih dari 30 tahun.
“Pada tahun 2000, perempuan-perempuan Aceh melaksanakan kongres perempuan yang pertama, yang dihadiri hampir 500 perempuan, dengan tema utama dialog damai,” katanya, datar.
Dalam acara itu, Suraiya dipilih sebagai panitia pengarah.
“Jadi sebenarnya,” katanya,”yang membawa isu
bagaimana menyelesaikan konflik di Aceh
melalui dialog damai itu perempuan.”
Seperti diketahui, sekitar lima tahun kemudian, kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia.
“Tapi kemudian, sering terjadi, ketika terjadi dialog (perdamaian) formal, peran perempuan dinafikan – bahkan tidak dilibatkan,” tandas Suraiya yang ikut berperan mendirikan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan pada 1999 ini.
Jika perempuan tak dilibatkan
Apa akibatnya perempuan tidak dilibatkan dalam proses perdamaian di Aceh? Tanya saya.
“Banyak akibatnya,” tandas Suraiya.
Salah-satunya, menurutnya, persoalan perempuan
tidak akan dianggap sebagai persoalan serius.
“Tanpa mengurangi penghormatan dan penghargaan yang luar biasa kepada kedua pihak yang bernegoisasi, harus diakui: tanpa pelibatan perempuan secara formal, maka kemudian akan berdampak kepada putusan-putusan yang diambil,” paparnya.
Staf pengajar di Fakultas Teknik Unsyiah Banda Aceh ini kemudian memberikan contoh, yaitu pada materi kesepakatan damai Indonesia-GAM.
“Tidak ada sepatah katapun yang menyebut persoalan-persoalan perempuan di dalamnya, termasuk bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut,” tandasnya.
Walaupun dia mengakui pihak GAM melibatkan sosok perempuan dalam salah-satu tenaga ahlinya, Suraiya menganggap “itu tidak cukup”.
Suraiyah kemudian berandai-andai. “Kalau misalnya (ada sosok perempuan) duduk di meja (perundingan) formal, ruang dia untuk mengambil keputusan itu lebih besar.”
Dampak lanjutannya yang dirasakan kaum perempuan, lanjutnya, terlihat kemudian yaitu ketika bantuan keuangan dialirkan kepada sekitar 3.000 bekas kombatan GAM.
“Seluruhnya yang mendapat akses itu adalah laki-laki eks kombatan. Padahal kita juga menyadari banyak perempuan eks kombatan,” katanya, tetap dengan nada datar.