Suparni Dobrak Kebiasaan Nelayan Demi Nafkahi Keluarga
[SHEEPINDONESIA] – Berani melawan arus, atau kebiasaan masyarakat tidak banyak dilakukan oleh seseorang. Namun, Suparni, warga desa Bumirejo, kecamatan Juwana, kabupaten Pati, Jawa Tengah, berani menunjukkan hal itu. Dia yang juga istri seorang nelayan, berani melawan kebiasaan sekitar yang akhirnya mampu mendulang manisnya kesuksesan.
Himpitan ekonomi, bisa menjadikan seseorang melakukan berbagai hal untuk keluar dari kesusahan. Ada yang memilih mengambil jalan pintas, namun ada pula yang harus memulai dari nol dengan bersusah payah agar kesejahteraan yang diharapkan bisa meningkat sedikit demi sedikit seperti yang dilakukan oleh Suparni. Suparni yang tinggal di pinggiran Sungai Juwana, kerap mengalami bencana banjir akibat meluapnya sungai terbesar di Kabupaten Pati itu. Bencana yang datang kepada keluarganya itu menjadi sebuah cambuk untuk meraih kesuksesan saat ini. Tidak mau berdiam saja dengan nasib yang dialami, dia pun berupaya keras dengan membuka usaha yang tidak banyak dilakukan para istri nelayan pada umumnya.
Banjir Bangunkan Jiwa Wirausaha
Sekitar tahun 1998 lalu, banjir besar menggenangi rumah yang dihuninya bersama suami, sehingga mereka harus mengungsi di gudang tempat bakul ikan yang ada di tepi Jalan Juwana-Rembang. Saat itu, pemilik pengungsian menyarankan Suparni untuk memulai berdagang ikan dengan mengumpulkan ikan yang ditangkap oleh suaminya dan para nelayan yang lain.
“Saat itu, saya sempat tidak yakin untuk memulai usaha jualan ikan. Tapi saya memantapkan diri dengan mengumpulkan modal seadanya,” ujarnya.
Keterbatasan modal yang dimiliki ibu satu anak itu, memaksa dia untuk mengeluarkan tenaga ekstra dalam meniti usaha yang ditekuni. Dia harus begadang sampai pagi untuk membeli hasil laut yang ditangkap para nelayan sejak pukul 22.00 WIB.
Hasil tangkapan ikan yang dikumpulkannya dari para nelayan yang ada di Juwana, kemudian dijajakan di Pasar Kecamatan Pucakwangi yang berjarak sekitar 25 kilometer dari tempat tinggalnya. Usaha menjual dagangannya di pasar Pucakwangi pun tidak mudah, dia terpaksa harus sembilan kali pindah lokasi jualan karena dianggap mengganggu para pedagang lama yang ada di pasar itu.
“Kalau mengingat masa-masa itu, jadi pengen nangis sendiri. Banyak para pedagang yang tidak suka saya berjualan di sana dan disuruh pergi,” kenangnya.
Meskipun beberapa kali diusir, tidak membuatnya jera dan justru memacu semangatnya untuk terus maju dalam menjalankan usahanya. Upaya dan kegigihannya pun tidak bertepuk sebelah tangan. Seorang pedagang pasar yang melihat usahanya, mengusulkan salah satu kios yang tidak dipakai oleh pemiliknya untuk dibeli.
Yang Lain Cari Ikan, Ia Bertani dan Beternak
Seiring kebutuhan yang meningkat, Suparni tidak hanya aktif sebagai pedagang ikan. Di rumah, ketika pulang dari pasar, ia mengolah tanah kosong di dekat rumahnya untuk ditanami sayuran dan juga beternak kambing. Sebuah kandang yang berisi tujuh ekor kambing berdiri dibelakang rumahnya. Situasi ini tidak lazim kita jumpai di perkampungan nelayan. Kebanyakan, nelayan hanya fokus mencari ikan, sedangkan untuk berternak dan berkebun, para nelayan enggan melakukannya. Saat memulai usaha berternak kambing, atau berkebun tidak dilaluinya dengan mudah. Dia mendapat tentangan dan cibiran dari masyarakat dan keluarganya. Masyarakat khawatir, bila beternak kambing, akan mengganggu lingkungan di sekitar perkampungan, sedangkan keluarganya sendiri, merasa sangsi atas upaya baru yang akan ditekuni Suparni.
“Kalau kita ada niat yang kuat, saya yakin semua pekerjaan bisa berhasil. Awal 2011, saya mencoba membuat usaha yang tidak banyak dilakukan oleh masyarakat di sini. Meski masyarakat dan keluarga tidak mendukung, tapi saya tetap bersikeras untuk beternak dan berkebun,” ujar ibu satu anak ini.
Suparni mulai tergerak untuk bercocok-tanam dan beternak kambing setelah mengikuti Pelatihan Manajemen Ekonomi Rumahtangga yang dilaksanakan Yayasan SHEEP Indonesia. Saat itu ia mewakili Kelompok Nelayan Sejahtera yang merupakan kelompok yang diikuti suaminya. Hasil dari pelatihan tersebut, tidak disia-siakan begitu saja. Dua ekor kambing indukan pun menjadi modal pertama dia untuk memulai berternak. Sedangkan untuk bercocok tanam dia memanfaatkan tanah desa yang berada tidak jauh dari Jalan Pantura Juwana-Batangan. Lokasinya yang berada agak tinggi, menjadikan lahan yang ditanami jagung, kacang panjang, dan beberapa tanaman perkebunan lainnya bisa dimanfaatkan dan terhindar dari banjir.
Seorang Diri Buka Lahan Bersemak-belukar
“Saat itu, lahan masih berupa semak belukar. Saya sendiri yang membuka lahan itu, meski banyak yang beranggapan beli lebih mudah daripada menanam, namun saya lebih suka berusaha terlebih dahulu,” ujarnya.
Usaha yang ditekuninya pun mulai membuahkan hasil. Dua ekor kambing yang dikelolanya sudah menjadi puluhan ekor. Beberapa kambing juga telah dijual untuk ditukar dengan sepeda motor. Selain itu, tanaman yang dia tanam sendiri, juga banyak dimanfaatkan oleh warga disekitarnya. Hal itu sesuai dengan harapannya bahwa usaha yang ditekuninya itu, bukan hanya memberi manfaat bagi dirinya sendiri, namun juga bisa dinikmati oleh masyarakat sekitarnya.
“Kalau ada kelebihan dan tidak dimanfaatkan warga, baru saya jual. Karena tanah yang ditanami adalah tanah desa, sehingga kalau diminta oleh pihak desa ya akan diberikan,” ujarnya.
Dalam hal pengelolaan ekonomi rumahtangga, Suparni juga mempraktikkan pengelolaan yang rapi. Hasil melaut suaminya khusus dianggarkan untuk menabung, sementara kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung dirinya dari berjualan ikan di pasar. Ternak kambing juga merupakan tabungan untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya besar dan mendadak. Sementara tanaman sayur setiap saat bisa dipetik untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga selain bisa diberikan kepada tetangga dan dijual. :: SHEEPINDONESIA/11mar2013