Sri Kusyuniati, Penggagas Desa Siaga
oleh Wheny Hari Muljati
Jakarta – Di suatu desa, seorang ibu, sebut saja Santi, sedang hamil tua. Menjelang tengah malam, desa itu tiba-tiba “terbangun” oleh suara kentongan bertalu-talu. “Santi akan melahirkan,” ujar seorang warga memberi tahu warga-warga lain.
Tak kurang dari sepuluh menit, sebuah mobil tetangga dan beberapa pemuda desa, serta bidan telah sampai di rumah Santi. Menjelang pagi, desa itu pun tampak berseri-seri karena kehadiran bayi Santi, juga kabar bahwa Santi yang sempat mengalami pendarahan, telah berhasil diselamatkan. Santi tertolong karena desa mereka telah bersiaga menyediakan donor darah untuknya, bahkan jauh hari sebelum hari persalinannya tiba.
Situasi di atas adalah gambaran yang terjadi di Desa Siaga, sebuah desa yang memiliki mekanisme penanganan kegawatdaruratan, yang dilakukan dengan cara melibatkan seluruh komponen masyarakatnya. Desa Siaga ini antara lain sangat efektif untuk mengatasi berbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor, bahkan wabah penyakit, dan serangan teroris.
Desa Siaga semacam ini di Indonesia mulanya terdiri dari 55 buah saja. Sekarang, jumlahnya terus meningkat, bahkan konsepnya kini telah dijadikan “Grand Strategy” oleh Departemen Kesehatan (Depkes) dan pengembangannya pun telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan melalui Kepmenkes RI No 564/Menkes/SK/VIII Tahun 2006.
Penggagas Desa Siaga
Tak disangka, penggagas Desa Siaga ini adalah seorang aktivis perburuhan. Sri Kusyuniati (50), ibu dari Arian dan Aida ini, sebelum mencetuskan Desa Siaga, telah menggeluti bidang perburuhan selama belasan tahun. Aktivis yang akrab dipanggil Kus ini, bahkan mendirikan Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) untuk membela kepentingan kaum buruh perempuan, dan pernah menjabat sebagai direktur eksekutif selama hampir 13 tahun.
Sepak terjangnya merintis Desa Siaga ini sendiri bermula tahun 2001-2003, saat ia bekerja untuk Program Maternal and Neonatal Health bantuan dari USAID. Selain itu, pasca-lengsernya mantan presiden Soeharto, berbagai gerakan memang berkembang pesat di Indonesia, termasuk gerakan buruh. Menurut Kus, saat itu isu kesehatan terlupakan, karena rakyat umumnya berkonsentrasi pada persoalan politik dan reformasi.
Menyadari masih kurangnya perhatian masyarakat terhadap isu kesehatan, Kus pada waktu itu berupaya merancang bentuk pengorganisasian masyarakat dengan menggunakan isu kesehatan. Ia lantas menggagas suatu program kesehatan untuk ibu dan bayi baru lahir, yakni program Siaga (Siap-Antar-Jaga). Melalui program ini, Kus ingin menyelamatkan para ibu dari kematian akibat persalinan, sebab angka kematian ibu akibat persalinan di Indonesia sangat tinggi.
Tragisnya, menurut Kus, penyebab kematian tersebut adalah hal-hal sepele yang bisa dihindarkan. Hal sepele itu berpangkal dari “3 Terlambat”, yakni terlambat dibawa ke rumah sakit, terlambat ditangani, dan terlambat mendapatkan pertolongan.
Kus kemudian mencoba mengatasi persoalan ini, antara lain dengan cara menghidupkan lagi sistem pranata desa yang pernah berlangsung di tahun 1960-an, di mana dalam keadaan darurat, seluruh masyarakat desa bersiaga. Sarana komunikasi berupa kentongan dihidupkannya kembali, dan kepedulian sosial yang telah mulai meredup di kalangan warga desa, perlahan namun pasti, dibangkitkannya lagi.
Ia ingin membangun suatu pranata masyarakat di mana kebersamaan timbul bukan karena “suruhan” atau paksaan dari atas, melainkan muncul atas kesadaran dan kerelaan dari bawah, atau dari kalangan masyarakat itu sendiri.
Gagasan perempuan yang berlatar pendidikan ilmu keguruan dan perburuhan ini ternyata cukup berhasil. Pada tahun kedua berjalannya program ini, Desa Siaga tumbuh pesat, dari 55 buah menjadi 300 Desa Siaga. Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat, yang lantas mengadopsi konsep ini untuk dijalankan di wilayahnya.
Keberadaan Desa Siaga, ternyata telah memberikan dampak positif, antara lain berhasil menurunkan angka kematian ibu dan anak, sehingga pada tahun 2004 program ini diadopsi oleh Departemen Kesehatan, dan menjadi kebijakan nasional. Pada tahun 2006, Depkes menargetkan terbentuknya 12.000 Desa Siaga, dan tahun 2008 ini, seluruh desa diharapkan telah menjadi Desa Siaga. Pengembangan Desa Siaga ternyata dipandang penting sebagai basis menuju masyarakat Indonesia Sehat.
Kus yang juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Insist dan Riffka Annisa ini, tak berhenti sampai di situ. Karya dan gagasan inovatifnya terus bermunculan. Ia yang kini aktif di Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), memiliki harapan munculnya kesadaran masyarakat menghentikan laju penularan HIV/AIDS, yang kini semakin merajalela. Ia berharap konsep Desa Siaga ini kelak dapat meluas menjadi Desa Siaga HIV/AIDS.
Stigma
Sayangnya, stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terinfeksi HIV/AIDS hingga saat ini masih tinggi. Proses penularan AIDS padahal tidak mudah. AIDS menular melalui empat jenis cairan tubuh, yakni darah, sperma, air susu (ASI), dan cairan vagina. Sebenarnya, asal kita menghindari kontak dengan empat cairan tersebut, kita dalam kondisi aman. Artinya, bila kita menghindari perilaku yang berisiko, kita tidak akan tertular.
Kepeduliannya pada kasus AIDS ini, antara lain juga karena Kus melihat banyaknya perempuan yang tidak berisiko namun terinfeksi HIV/AIDS akibat perilaku pasangannya yang berisiko. Kondisi itu menurutnya adalah suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang berakar dari adanya bias gender.
Bertemu Presiden
Sri Kusyuniati yang kini menjadi Deputi Sekretaris Bidang Program di KPAN, bertugas menggerakkan berbagai sektor, antara lain di Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Sosial untuk penanggulangan HIV/AIDS, termasuk menggerakkan sektor-sektor di tingkat provinsi dan kabupaten.
Selain terus bekerja dengan berjejaring, hingga saat ini, Kus masih terus berupaya “mendekatkan” ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dengan masyarakat dan para pengambil keputusan. Kus mengaku bahagia, saat pada Peringatan Hari AIDS Sedunia, 7 Desember 2007 lalu, para ODHA dapat berdialog secara terbuka dengan Presiden Yudhoyono di Istana Negara.
Lahir di Yogyakarta, 20 Juni 1958. Sri Kusyuniati terpilih sebagai Ashoka Fellow 1986 atas bakti wirausaha sosialnya. Lulusan sarjana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, IKIP, fokus perhatiannya adalah masalah buruh perempuan. Pada pertengahan tahun 1980-an ia mendirikan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI), yang artinya perempuan mandiri), sebagai organisasi swadaya masyarakat. Sasaran kualitatifnya adalah peningkatan wawasan dan pengembangan keterampilan untuk menaikkan posisi tawar buruh wanita dalam pekerjaannya, antara lain melalui keterampilan-keterampilan dalam kelompok-kelompok perempuan pekerja (buruh). Pendidikan bagi buruh tersebut diharapkan dapat membuat mereka lebih berani untuk mengubah jalan hidup mereka dan dapat meningkatkan tingkat ekonomi dan sosial. Semuanya itu ditempuh dengan cara-cara membangun “kekuatan di bawah” dengan penyadaran di antara para buruh perempuan. Aksi-aksi program perempuannya dimulai sejak tahun 1982 antara lain dengan membina dan mengorganisir perempuan yang bekerja sebagai buruh tani, pelayan toko , buruh pabrik, pengrajin batik dan buruh pengrajin kulit. Selanjutnya ia menggagas Riffka Annisa, pusat pendampingan perempuan korban kekerasan yang berkegiatan di Yogyakarta. Kusyuniati menyelesaikan studi S3 di Swinburne University, Melborne, Australia, dengan disertasi “An Evaluation of the Dynamics of the Indonesian Workers Movement: Strikes 1990-1996”.
:: Yayasan Annisa Swasti Jl. Pamularsih No.38, Patangpuluhan, YOGYAKARTA-55251 Tel/Fax: 0274-376014 e-mail:
<sumber: Ashoka-Indonesia, Ashoka-Indonesia>
sumber >> Sinar Harapan + Ashoka-Indonesia