Saur Marlina Manurung, Inspirasi Dari Rimba Hingga Pendidikan Alternatif
Pendidikan nasional diindikasikan tidak dapat menyentuh setiap anak Indonesia. persoalan kurikulum hingga sistem pendidikan yang hanya mencetak tenaga kerja menjadi persoalan bagi masyarakat. Karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat diakses oleh masyarakat yang telah mengenyam pendidikan dasar, bahakan perguruan tinggi.
Ini menjadi persoalan. Namun demikian pemerintah tidak dapat disalahkan juga, karena pemerintah melalui Mendiknas sudah berupaya keras meningkatkan pendidikan nasional, termasuk mengupayakan anggaran pendidikan 20%, dan melaksanakan butir Undang-Undang Dasar 1945 soal pendidikan nasional. Persoalan anggaran pendidikan 20% itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah masing-masing.
Apa yang dilakukan oleh Saur Marlina (Butet) Manurung dengan Sokola Rimba di Bukit Tujuh Belas, Jambi, rupanya menjadi inspirasi untuk sebuah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil. Hal ini dikemukakan pembahas yaitu oleh Aat Suratin, Budi Radjab, dan Irwanto dalam Diskusi Terbuka yang bertajuk “Adventure Education Experience” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 30 Agustus 2007. Diskusi tersebut juga membahas buku Butet Manurung yang berjudul Sokola Rimba.
Irwanto, aktivis lingkungan dari komunitas Wanadri, mengemukakan bahwa buku yang ditulis Butet Manurung dalam Sokola Rimba merupakan inskripsi kejujurannya dalam upaya Butet Manurung menyebarkan ilmu pengetahuannya kepada anak-anak di dalam rimba. Buku itu sangat sederhana dan jujur dalam mengungkapkan masalah pendidikan dan cara mengatasi kesenjangan pengetahuan di masyarakat rimba. Bahasanya mudah dicerna karena apa yang ditulisnya dalam buku itu adalah pengalaman pribadi, dan bisa jadi lebih arif daripada orang kota dalam mendidik anak-anak.
Aat Suratin, dari sudut pandang budaya, memandang apa yang dilakukan oleh Butet Manurung adalah sebuah kerja budaya, yaitu “Pendidikan yang menyenangkan. Metode pendidikan yang dilakukan oleh Butet selalu mencari cara-cara baru, inovatif, sampai menemukan cara yang tepat. Dan itu membuat anak-anak rimba senang,” kata Aat Suratin. “Orang lokal mengejar mimpi dan mewujudkan mimpi itu, sedangkan orang kota tidak demikian,” tutur Aat Suratin dalam membongkar prinsip budaya masyarakat di Indonesia. Kerja budaya menurut Aat Suratin terbagi ke dalam beberapa prinsip dasar, antara lain: pendidikan harus membumi, menguntungkan, diorganisasi secara lokal, menumbuhkan kesadaran akan perubahan kebudayaan, mampu memberi keyakinan siapa dirinya dana mau jadi apa kelak. “Prinsip-prinsip itu bukan untuk sekolah rimba seperti yang dilakukan oleh Butet, tapi untuk pendidikan di kota. Akan tetapi prinsip-prinsip itulah yang diterapkan ke dalam sekolah rimba Butet dengan anak-anak adat setempat,” tambah Aat Suratin. Butet Manurung juga dipandang menerapkan prinsip leadership dengan sekolah rimbanya oleh Aat Suratin.
Forum diskusi terbuka itu bukan saja menjadi inspirasi bagi para pendidik di Indonesia. Juga menjadi masukan bagi para pecinta alam di tanah air. Bahwa menjadi pecinta alam tidak hanya hiking, camping, atau memenuhi ambisi pribadi untuk mencapai puncak ketinggian suatu gunung yang ada di Indonesia. Tapi bagaimana pecinta alam berinteraksi dengan masyarakat di sana, sehingga menemukan cara pandang baru seperti yang sudah dilakukan Butet Manurung dengan pendidikan alternatifnya.
Lalu bagaimana dengan pecinta alam lainnya, yang sering menjelajah pedalaman Indonesia dengan tujuan masing-masing itu? Apakah pernah terbersit dalam benak mereka untuk menyatu dengan masyarakat adat selain dengan alam yang dikunjunginya? Pertanyaan ini pun muncul setelah menelusur apa yang dilakukan Butet Manurung dengan tujuan sosialnya itu. Dengan program sederhana yang berbasis pendidikan komunitas adat, banyak hal yang dapat diperoleh selain sebuah kebanggaan karena sudah mampu dan berani menaklukan alam Indonesia.
Awalnya, Butet Manurung datang ke pedalaman Indonesia sebagai perempuan yang mencintai alam Indonesia yang memiliki kekayaan alamnya. Namun, ketika dia berinteraksi dengan masyarakat adat yang hidup di pedalaman itu muncul masalah bahasa sebagai alat komunikasi dasar. Sebagai perempuan sarjana bahasa Indonesia di UNPAD, dia melihat motivasi lain yang tidak hanya sekedar camping atau menjelajah hutan. Tapi bagaimana membuat hidup bermanfaat bagi orang lain. “Hidup bagi saya, bagaimana hidup saya bisa bermanfaat bagi orang lain dengan hobi kita. Jadi hobi yang bermanfaat bagi orang lain,” katanya. Melalui hobi menjelajah alam itulah Butet Manurung menerapkan sistem pendidikan dasar dengan metode Silabel. Metode ini adalah sebuah cara yang diolah oleh Butet untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur. Metode ajar ini merupakan ramuan Butet dari pengetahuan antropologi dan bahasa yang pernah diperolehnya di universitas. Metode Silabel adalah pengajaran bahasa Indonesia yang terbagi dalam 16 ejaan, yaitu pembagian konsonan-vokal berdasarkan bunyi.
Butet juga mengatakan bahwa anak-anak dan masyarakat adat di pedalaman merasa tertekan oleh orang luar. Tekanan itu berupa justifikasi bahwa mereka itu primitif, bodoh, apdahal mereka merasa nyaman hidup seperti itu. Banyak orang luar yang melakukan penipuan kepada mereka, juga pencurian kekayaan alam atas nama organisasi yang tidak mereka mengerti.
Setelah mendapat pendidikan dasar dari Butet masyarakat adat yang menjadi komunitas didiknya mulai memahami dan mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang luar yang datang ke tempat mereka. Mereka juga sudah bisa menghitung dan membaca, termasuk tahu kepada pihak mana untuk mengadukan perilaku individu atau organisasi yang melakukan pembalakan liar, pencurian kayu, dan tindakan kriminal lainnya. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan Butet di komunitas adat telah membuka akses pada pengetahuan dan peradaban, meskipun kesenjangan antara komunitas adat dan masyarakat luar masih ada.
Hal itu dicapai oleh Butet selama empat tahun berproses bersama masyarakat adat. Dari proses itu, bukan hanya masyarakat adat saja yang belajar, tapi Butet juga. Dalam forum itu Butet mengatakan setelah belajar dan hidup bersama masyarakat adat, cara pandangnya berubah. Yaitu ketika suatu saat ada beruang dengan anaknya datang ke tempat Butet dana anak-anak belajar. Butet ketika itu naik ke pohon. Sementara anak-anak rimba yang sudah berumur 12 tahun lebih mengusur induk beruang, dan menusuk-nusuk anak beruang dengan tombaknya secara beramai-ramai. Setelah peristiwa itu Butet menyatakan ketidaksetujuannya. Namun mereka mengatakan bahwa apa yang ada di depan mereka adalah rezeki dari Dewa mereka. “Dari situ saya jadi berpikir, maka kita harus berpikir dengan cara orang setempat,” ujar Butet dalam penjelasannya.
Butet Manurung kecil adalah salah satu “anak pingit”, karena kemana pun dia pergi selalu diantar oleh supir. Masa kecil Butet pernah hidup di Belanda selama empat setengah tahun di sana. Masa kecil Butet hanya mengenal Jakarta dan Belanda. Selain itu tidak ada. Butet kecil sangat menyenangi binatang kecil seperti semut, ulet berbulu, dan lain-lain.
Setelah masuk usia muda, Butet kuliah di UNPAD dan mengambil dua bidang studi dengan tahun ajaran yang berbeda, yaitu antropologi dan bahasa. Selam kuliah, Butet bekerja sambilan dengan mengajar Matematika dan Organ. Hasilnya ditabungnya agar setiap bulan bisa pergi ke gunung, misalnya untuk camping. Penjelajahan alam memang selalu diidam-idamkannya sejak Butet masih remaja, karena sejak kecil Butet menjadi ‘anak pingit’ oleh ayahnya. Maka pada usia muda dia mampu mewujudkan hobinya itu untuk menjadi pecinta alam.
Gedung Indonesia Menggugat bersama TIM SOKOLA, dan EIGER sebagai sponsor, Insist Press, melaksanakan kegiatan peluncuran buku SOKOLA RIMBA di Bandung untuk kali pertama. Kehadiran Butet Manurung dengan penjelasannya yang rinci mengungkap bagaimana sebuah pendidikan dasar bisa dilaksanakan oleh seorang perempuan Indonesia seperti Butet Manurung di rimba raya Indonesia.
Apa yang dilakukan Butet Manurung dengan sekolah rimbanya itu tentu saja menjadi masukan yang penting dan berarti dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan dengan segala bentuk komersialisasinya, tetapi bentuk pendidikan yang efektif dan benar-benar dirasakan positif oleh masyarakat. :: ARGUSFIRMANSYAH/2007
(sumber: Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung, http://argusbandung.blogspot.com)