Sang ‘Ayu Bonyok’ Perpanjang Nilai Buah Afkir

“Ayu Bonyok”

Pekerjaan menjual buah afkir gampang-gampang susah bagi Kasinem dan Sarinah. Kasinem misalnya, meski baru memiliki sedikit pelanggan, dagangannya selalu habis terjual. Para pelanggan dan pembeli lainnya bersikap baik. Nyaris tidak ada yang protes soal kualitas buah dagangan Kasinem. Mereka menyadari buah itu jauh lebih murah dibandingkan harga di kios buah atau pasar swalayan. “Alhamdulillah semua pembeli saya baik. Mereka tidak pernah marah atau mencela buah yang saya bawa. Kalo komentar sih wajar, karena kadang buahnya kurang bagus bentuknya. Tapi, alhamdulillah semuanya bisa abis,” tututr Kasinem.

Karena sehari-hari menjual buah yang bentuknya kurang bagus, Kasinem pun mendapat panggilan Ayu Bonyok. Sebutan Ayu didapat karena Kasinem berbicara dengan logat Jawa medok. Sedangkan Bonyok untuk istilah buah yang dibawanya. “Eh, ada Ayu Bonyok,” canda seorang pelanggan Kasinem di kawasan Otista, Jakarta Timur. Kasinem menanggapi panggilan itu dengan senang. Kadang dia membalas panggilan itu. “Orang saya cantik kok dipanggil Ayu Bonyok,” katanya sambil tertawa.

Dengan satu keranjang besar dan dua keranjang kecil penuh buah, Kasinem berjalan dari rumah ke rumah. Jalur perdagangannya lumayan jauh. Setelah turun dari angkot 06A, Kasinem berhenti di depan masjid, kemudian ke sekolah. Di situ dia menaruh dagangan dan berteriak-teriak menarik pembeli. “Buah, buah. Bu, buahnya, Bu? Bagus-bagus nih, Bu!” teriaknya. Seusai jam sekolah, Kasinem berjalan berkeliling dari rumah ke rumah sambil terus berteriak. Siang di awal Februari 2012 itu dia berhenti di depan rumah Haji Madun, salah seorang pelanggannya. “Beli buah, Kong. Nih ada jeruk bagus-bagus,” katanya sambil langsung menggelar dagangan berupa jeruk, salak, belimbing, dan alpukat.

“Berapaan, nih?” tanya Haji Madun. “Seribuan, Kong. Jeruknya lagi mahal-mahal soalnya,” kata Kasinem. “Gopek aja, deh?” katanya sambil tertawa. “Wah si Engkong, masa buah masih bagus begini gopek, sih?” jawab Kasinem juga dengan tertawa. Haji Madun mengaku sering membeli buah dari Kasinem. Menurut dia, meski bentuk buahnya tidak begitu bagus, rasanya enak. Selain itu, dia bisa menawar dengan harga murah. Pelanggan lain, Nining, mengaku tidak selalu membeli buah dagangan Kasinem. “Nggak setiap hari beli. Tergantung buah yang dia bawa. Kalau buahnya lagi bagus baru saya beli, tapi kalau lagi jelek, mah ngapain beli. Masa saya harus makan buah bonyok?” kata ibu RW ini.

Nining mengaku tidak memasalahkan buah yang dibawa Kasinem. “Jarang banget ada yang jualan buah di sini. Cuma si Ayu Bonyok. Sampe saya kasih julukan Ayu Bonyok karena buah yang dibawanya bonyok-bonyok,” kata Nining sembari tertawa. Terik matahari seperti memanggang Jakarta. Padahal ini bulan Februari. Keringat mengucur deras dari dahi Kasinem. Buah dagangannya tinggal sedikit. Perut yang diisi sarapan pagi tadi sudah meronta minta diisi kembali. Kasinem bersiap-siap pulang. Buah-buahan yang masih tersisa akan ditawarkan kepada tetangga dengan harga lebih murah. Hari itu Ayu Bonyok membawa hasil berdagang yang lumayan. Mungkin cukup untuk makan hari ini bersama suami, anak-anak, menantu, dan cucunya. :: Foto-foto: VHRmedia / Nina Suartika / 22feb2012

Leave a Reply