Sang ‘Ayu Bonyok’ Perpanjang Nilai Buah Afkir

Buah-buahan Afkir Hidupi Keluarga

Kasinem menjadi pedagang buah sisa sejak tiga tahun lalu. Suaminya hanya kuli bangunan dengan penghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan. Uang segitu, menurut Kasinem, tidak cukup untuk menghidupi keluarga dengan empat anak. Apalagi, meski anak pertama sudah menikah, mereka tinggal bersama di rumah yang hanya sekira 5 x 6 meter. “Nggak cukup. Soalnya anak-anak masih sekolah. Yang kedua sekarang sudah kelas III STM, pasti bakal banyak keluar duit buat ujian sama kelulusan. Terus juga harus ngasih jajan anak sama cucu,” ujar perempuan bertubuh subur ini.

Awalnya Kasinem diajak seorang tetangganya ke Pasar Induk Kramat Jati. Berbekal Rp 50 ribu dia bisa mendapat banyak buah sisa, yang menurut dia masih layak makan. “Lumayan hasilnya. Daripada nganggur di rumah, cuma ngandelin duit dari suami yang nggak cukup buat sebulan, ya mending jualan buah aja,” katanya. Sebelum menawar buah afkir dari “distributor”, Kasinem memilih-milih buah yang kira-kira masih layak makan.

Tidak semua buah dari “distributor” bagus dan bisa dimakan. Sebab, selain mengambil dari agen, “distributor” seperti Ijah juga kerap memunguti buah sisa tumbukan yang sudah rusak. Buah-buah afkir itu lalu dipilah dan dibungkus agar mudah mematok harga. Biasanya Kasinem menawarkan dagangannya kepada para tetangga hingga ke perkampungan di sekitar tempat tinggalnya. Harga jual bervariasi, tergantung berapa harga dari “distributor”. Misalnya dua keranjang salak dari “distributor” Rp 25 ribu, Kasinem menjualnya Rp 1.000 per tiga buah atau Rp 500 per dua buah. Jika harga kulakan lumayan tinggi, misalnya jeruk Rp 1.000 per tiga buah, akan dijual Rp 1.000 per buah. “Lumayan hasilnya. Bisa seratus ribu lebih. Itu bisa saya simpen sedikit. Sisanya buat jajan anak-anak sama ngebantu beliin susu buat cucu.”

Kerja keras juga dilakukan Sarinah. Dia telah 12 tahun menjadi pemulung buah. Sejak suaminya meninggal pada tahun 1999, Sarinah seorang diri menghidupi tiga anak yang masih kecil. Dari hasil memulung dan menjual buah afkir, Sarinah mampu menghidupi dan menyekolahkan ketiga anaknya. “Alhamdulillah sekarang dua anak saya sudah lulus sekolah. Yang pertama sudah kerja dan yang kedua masih kuliah. Yang paling kecil masih SMP,” katanya. Sarinah tidak malu menjadi penjual buah afkir, meski setiap hari harus berebut buah dengan para lelaki dan ibu-ibu di pasar. “Buat apa malu, saya tidak nyolong ini. Lagian kalau saya malu tidak akan bisa makan dan bisa nyekolahin anak. Saya nggak mau mereka jadi bodoh kayak mamanya,” katanya.

Leave a Reply