Ro’fah MA PhD Rintis Kampus Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas
[DIFFA] – Sosoknya biasa-biasa saja. Penampilannya pun sederhana. Namun, Ro’fah bukan sosok perempuan biasa. Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini telah menyelesaikan pendidikan Social Work hingga jenjang Ph.D di Montreal University, Kanada.
Di balik senyumnya yang ramah, ibu dua anak ini mempunyai kontribusi dan peran penting dalam upaya pemerataan kesempatan meraih jenjang pendidikan tinggi bagi para penyandang disabilitas. Ro’fah menyambut hangat kedatangan wartawan diffa di kampus UIN Sunan Kalijaga. Berikut petikan perbincangan dengan Ro’fah di kantornya yang juga sederhana.
Bagaimana Anda mendirikan pusat studi dan layanan disabel ini?
Saya sebenarnya tidak secara sengaja mendirikan PSLD UIN Sunan Kalijaga.
Tidak secara sengaja?
Ha..ha…ha. Begini ceritanya. Studi saya sejak mengambil jenjang master adalah bidang Social Work. Kebetulan kantin kampus social work di Montreal dekat lokasinya dengan pusat studi dan layanan disabel, sehingga setiap hari berada di kantin. Saya dan kawan kawan melihat semua fasilitas dan aksesibilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas di kampus kami belum ada sama sekali di kampus-kampus Indonesia.
Lalu?
Kami tergelitik dan mulai membahasnya secara serius. Kami hanya tiga mahasiswa Indonesia yang belajar social work ketika itu, jadi fokus dan kepedulian kami kurang lebih sama. Kami berpikir, mengapa di Indonesia hal ini belum ada. Bukankah seharusnya teman teman penyandang disabilitas di Indonesia juga berhak mendapatkan fasilitas dan aksesibilitas yang sama? Dari pertanyaan-pertanyaan dan keresahan-keresahan seperti itulah kemudian muncul ide untuk merintis PSLD di UIN Sunan Kalijaga.
Apa yang selanjutnya dilakukan?
Sederhana saja. Kami mengirim email ke Pak Rektor UIN (Prof. Dr. H. M Amin Abdullah) tentang ide kami ini sebagai langkah awal untuk menjajaki kemungkinan yang ada. Siapa tahu ada tanggapan positif dari pihak universitas. Saya pikir kan tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baik. Ternyata respons pihak universitas cukup positif. Ide saya dan teman-teman mendapat lampu hijau dari pihak universitas. Tentu saja hal ini membuat kami bersemangat untuk menindaklanjutinya sekembali dari Kanada.
Kendala apa yang paling banyak dalam proses mendirikan PSLD ini? Apa saja dukungan pihak universitas selama ini?
Kendala paling mendasar adalahsoal mindset, baik secara sosialmaupun kultural, dari masyarakatyang masih cenderung beranggapanunderestimated terhadap parapenyandang disabilitas. Mindsetini bahkan tetap ada di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi dan lembaga-lembaga besar sekalipun. Untunglah Rektor UIN berpikiran terbuka dan punya pandangan jauh ke depan, sehingga meskipun dukungan yang diberikan universitas masih belum menyeluruh, kami sangat berterima kasih dan bersyukur bisa diberi gedung sendiri, bisa diakui oleh semua pihak di universitas, dan bisa menjalankan program untuk membantu mahasiswa penyandang disabilitas di UIN.
Apa saja yang sudah dicapai PSLD selama ini?
Masjid sudah punya ram dan toilet yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Beberapa fakultas juga mulai punya kesadaran gedung-gedungnya memberikan aksesibilitas yang sama. Kami juga membuat blind corner di perpustakaan universitas, walau untuk yang satu ini belum sepenuhnya berhasil kami wujudkan karena memang baru perintisan. Jumlah mahasiswa penyandang disabilitas juga sudah semakin meningkat dan untuk memberikan bantuan kepada mereka, kami juga berhasil memotivasi mahasiswa non-disabel untuk peduli dan tergerak menjadi volunter. Walau dengan segala keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, kami bisa terus bergerak melangkah maju.
Dari sisi personal, apakah motivasi Anda menggeluti dunia disabilitas?
Anak pertama saya penyandang autis. Entah ini sebuah kebetulan atau bukan, tapi saya merasa lebih terikat pada dunia disabilitas. Mungkin karena menjadi ibu dari seorang anak penyandang autis. Saat merawat dan membesarkan anak saya yang penuh tantangan dan perjuangan itu mungkin kemudian menjadikan saya termotivasi untuk berbuat sesuatu bagi para penyandang disabilitas yang lain. Ini bisa jadi mengendap sebagai proses alamiah dalam diri sehingga memperkuat semangat dan energi saya untuk terus menggulirkan semangat inklusif di dunia perguruan tinggi. Masih sangat banyak tantangan dan pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak pihak di wilayah ini, tapi masih sangat sedikit yang sudah terjun untuk ikut berkontribusi.
Dalam jangka pendek, apa yang ingin Anda capai? Apa rencana jangka panjangnya?
Untuk jangka pendek, saya ingin membangun kampus UIN Sunan Kalijaga sebagai kampus yang benar-benar inklusif bagi semua penyandang disabilitas. Saat ini yang berhasil kami jangkau mayoritas baru mahasiswa tunanetra. Kami ingin juga bisa menjangkau yang lain seperti tunarungu atau tunawicara. Sementara di kampus belum semua fakultas memiliki aksesibiltas bagi mahasiswa disabel.
Aksesibilitas ini juga menjadi program jangka pendek yang ingin kami capai. Sedangkan target dan tujuan jangka panjang yang ingin saya capai adalah menyebarkan semangat inklusif pada kampus-kampus lain di seluruh Indonesia, sehingga menjadi kampus-kampus yang benar-benar memberikan hak yang sama kepada para penyandang disabilitas. Itulah mimpi saya untuk jangka panjang. :: DIFFA/Juni2011