Riyanni, Malaikat Penyelamat Hiu
eyder Affan dan Christine Franciska Wartawan BBC Indonesia
[BBC-INDONESIA] – Riyanni Djangkaru memilih melakukan kampanye penyelamatan hiu –yang terancam kepunahan– dengan menitikberatkan pada edukasi kepada konsumen.
Anda yang menggemari film petualangan produksi tahun 1970-an tentu ingat film Jaws yang berkisah tentang hiu raksasa yang digambarkan haus darah dan mematikan. Diadopsi dari novel Peter Benchley, film produksi Hollywood ini — pada masanya — mampu menyedot banyak penonton di berbagai bioskop dunia. Dan, ujung-ujungnya, gambaran seram tentang hiu pun menetap pada benak setiap penonton.
Lebih dari itu, gambaran hiu seperti itu kemudian diceritakan ulang dan ditularkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, dari orang tua kepada anak-anaknya, dan seterusnya, walaupun ada penelitian terbaru yang telah mematahkan sebagian mitos hiu.
Bekerja sama dengan Greenpeace, Riyanni dan kawan-kawan mendukung dua rumah makan di sebuah mal di Jakarta yang menyatakan tidak menyediakan sajian sup sirip hiu pada sajian kuliner mereka.
Itulah sebabnya, kemudian ada suara-suara kritis di kalangan aktivis lingkungan dan penyayang laut yang mengecam film Jaws tidak memberikan gambaran utuh tentang hiu.
Salah-seorang yang terlibat secara mendalam untuk meluruskan asumsi miring tentang hiu adalah Riyanni Djangkaru, perempuan kelahiran 1980, yang dulu dikenal sebagai pembaca acara Jejak Petualang di sebuah televisi swasta.
Tiga tahun lalu, Organisasi pangan dan pertanian, FAO, PBB mengeluarkan rilis yang menyebutkan Indonesia sebagai salah-satu pengekspor sirip hiu terbesar di dunia.
“Saya ingin meneruskan dan juga meluruskan sebenarnya fungsi hiu di lautan itu jauh lebih penting daripada kesan ganasnya,” kata Riyanni dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia di kediamannya, Senin (27/07/2015) lalu.
Saya ingin meneruskan dan juga meluruskan sebenarnya fungsi hiu di lautan itu jauh lebih penting daripada kesan ganasnya. Riyanni Djangkaru.
Penjualan sirip hiu
Mendirikan komunitas Savesharks sejak lima tahun silam, Riyanni terus mengkampanyekan upaya penyelamatan hiu, termasuk menggelar semacam unjuk rasa di dua restoran di sebuah pertokoan terkenal di Jakarta, pertengahan Juli 2015.
Bekerjasama dengan Greenpeace, Riyanni dan kawan-kawan intinya mendukung dua rumah makan tersebut yang menyatakan tidak menyediakan sajian sup sirip hiu pada sajian kuliner mereka.
Gambaran film Jaws tentang hiu yang tidak utuh menyebabkan masyarakat lebih melihatnya sebagai binatang ganas ketimbang ancaman kepunahan hiu akibat ulah manusia.
“Selama ini orang melihat sasaran kampanye soal hiu adalah selalu nelayan, stakeholder, atau pemerintah. Tapi sebetulnya yang paling besar (berperan) adalah konsumen,” ujarnya.
Kita ingin menyediakan fakta-fakta (dari para ahli tentang hiu) supaya konsumen bisa lebih bijak, bisa lebih mempertimbangkan kira-kira membeli hiu itu keputusan bijak atau tidak. ~~ Riyanni Djangkaru.
“Kita ingin menyediakan fakta-fakta (dari para ahli tentang hiu) supaya konsumen bisa lebih bijak, bisa lebih mempertimbangkan kira-kira membeli hiu itu keputusan bijak atau tidak,” kata Riyanni yang pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Divemagazine ini.
Sekitar 100 juta hiu dibunuh oleh manusia setiap tahunnya dan kebanyakan hanya untuk diambil siripnya, demikian sejumlah laporan menyebutkan.
Laporan Greenpeace menyebutkan, sirip hiu ini dijual dengan harga sekitar 2-4 juta rupiah per kilogram, dan biasanya berakhir di dalam sajian sup di restoran mahal.
Tiga tahun lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengeluarkan rilis yang menyebutkan Indonesia sebagai salah-satu pengekspor sirip hiu terbesar di dunia.
Sebagai wilayah pusat keanekaragaman hayati hiu dan pari, Indonesia kini dihadapkan kenyataan yang memprihatinkan, karena lebih dari 66% jenis hiu dan pari yang dijumpai di Indonesia tengah menghadapi ancaman kepunahan.
‘Takutnya minta ampun”
Mengakrabi isu kelautan dalam rentang waktu cukup lama, Riyanni mengaku belum pernah melihat hiu sebagai “sesuatu yang aneh” atau “sosok yang mengerikan”.Riyanni mendalami olah raga selam sebagai hobi yang menyenangkan. Ketakutan yang bersifat sementara itu, lanjutnya, dapat diredam karena dia memahami bahwa hiu adalah “top predator”. Toh, ibu satu anak ini memiliki sebuah pengalaman tidak terlupakan tatkala pertama kali melakukan penyelaman setelah memperoleh semacam sertifikat menyelam pada 2003 lalu.
Kala itu, sebelum terjun ke dasar laut, pikirannya sempat dihantui gambaran klise hiu yang menyeramkan.Bersama ratusan relawan yang memiliki kepedulian yang sama, Riyanni terus mendatangi berbagai kota di Indonesia untuk mengkampanyekan penyelamatan hiu.”Takutnya minta ampun. Mau nyelam, (pikiran saya mengatakan) ‘ada hiu, ada hiu!’ Padahal biasa saja kale… ha-ha-ha…”Ketakutan yang bersifat sementara itu, lanjutnya, dapat diredam karena dia memahami bahwa hiu adalah top predator.
Selama ini orang melihat sasaran kampanye soal hiu adalah selalu nelayan, stakeholder, atau pemerintah. Tapi sebetulnya yang paling besar (berperan) adalah konsumen. Riyanni Djangkaru.
“Bahkan hiu yang paling kecil, paling bayi, dia bisa menyelam berdampingan dengan kita. Memang auranya begitu. Fungsinya seperti itu,” jelas Riyanni. Lagipula, imbuhnya, hiu yang berdiam di laut hangat tidak seperti kawanan hiu di wilayah sub-tropis yang disebutnya dapat “menyerang mangsanya dengan cepat dan akurat.” Hiu di kawasan laut sub-tropis lebih “ganas”, menurutnya, karena jumlah ikan yang menjadi santapannya tidak sebanyak di lautan hangat.
“Kalau di lautan tropis, ikannya (yang dikonsumsi hiu) banyak. Ngapain dia nyomotin (memakan) orang,” katanya dengan setengah tergelak.
Mempertanyakan peraturan Kemendag
Tahun 2014 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan peraturan menteri yang menghentikan sementara ekspor Hiu Koboi dan Hiu Martil dari wilayah Indonesia.
Riyanni berpandangan, seharusnya peraturan KKP tentang hiu itu juga harus diikuti dengan pembuatan peraturan serupa oleh kementerian lainnya yang terkait.
Di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, telah lahir peraturan daerah yang isinya melarang penangkapan hiu, Pari Manta, dan jenis ikan tertentu di perairannya.
Para pegiat lingkungan mengapresiasi langkah ini, tetapi dianggap belum optimal untuk dapat menyelamatkan hiu. Mereka lantas mendesak agar larangan penangkapan itu berlaku untuk semua jenis hiu.
Menurutnya, saling sinergi di antara kementerian terkait menjadi penting untuk melindungi hiu dari ancaman ulah manusia karena alasan ekonomi.
“Bagaimana dengan peraturan dari Kementerian Perdagangan, misalnya. Kenapa hiu yang disebut sebagai ikan kering termahal di dunia, di Indonesia masuk pajak ikan lain-lain?” Katanya setengah bertanya.
Dia kemudian melanjutkan pertanyaannya: “Kenapa (jika) disebutkan memiliki nilai ekonomi, kenapa pajaknya tidak ditinggiin.”
Riyanni juga menekankan, agar pemerintah perlu memikirkan untuk melahirkan aturan baru yang membatasi penangkapan hiu berdasarkan ukuran fisiknya.
Mengukur keberhasilan kampanye
Bersama ratusan relawan yang memiliki kepedulian yang sama, Riyanni terus mendatangi berbagai kota di Indonesia untuk mengkampanyekan penyelamatan hiu.
Dengan bekal hasil penelitian para ahli perihal hiu, kelompok Savesharks yang dipimpinnya kemudian menerjemahkannya dalam bahasa sederhana yang bisa dipahami masyarakat awam.
“Saya ingin menyasar ke konsumen yang mulai berpikir: anak sekolah, mulai play group, anak kuliah, sampai antar komunitas,” ungkap penggemar olah raga menyelam ini.
Ditanya sejauh mana hasil kampanyenya berdampak terhadap perubahan mental masyarakat dalam memperlakukan hiu, Riyanni meyakini hal itu sudah terjadi.
Mereka juga melakukan pendekatan kepada kaum ibu atau kelompok kuliner. “Ibu-ibu ‘kan memiliki power (kuasa) luar biasa. Mereka ke pasar, beli ikan apa yang dia pilih.”
Ditanya sejauh mana hasil kampanyenya berdampak terhadap perubahan mental masyarakat dalam memperlakukan hiu, Riyanni meyakini hal itu sudah terjadi.
“Dulu ketika kita mulai berkampanye Savesharks, dari sosial media, banyak yang bertanya: ‘Apaan sih Ri.. gaya banget sih..’ Ha-ha-ha….
Dan sekarang, imbuhnya, kondisinya sudah jauh berbeda. “Orang melaporkan sendiri (kasus terkait hiu) atau orang-orang membuat kampanyenya sendiri.”
Namun demikian, Riyanni memahami sepenuhnya bahwa upaya kampanye penyelamatan hiu kepada masyarakat membutuhkan waktu panjang. — BBC-Indonesia/07agustus2015
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150806_bincang_riyannidjangkaru