Restu Perjuangkan Tempat Layak Bagi Karya Seni Indonesia
JAKARTAPOST — Seni sudah menjadi denyut jantung kehidupan seorang Restu Imansari Kusumaningrum.
Membuana namanya melalui pementasan I La Galigo, produksi antar-negara yang mengangkat kisah epik masyarakat Bugis dari kitab “Sureq Galigo“, pada tahun 2015 Restu kembali maju ke ajang dunia untuk mempersembahkan wajah Indonesia di La Bienalle di Venezia ke-56, salah satu pagelaran senirupa kontemporer kelas dunia tertua, yang diadakan dua tahun sekali di kota Venesia, Italia.
Pada tahun 2013, Indonesia dengan cemerlang berhasil memukau pengunjung di ajang yang sudah berjalan sejak 1895 itu, ketika Restu selaku perintis projek dan produser mengusung karya dari lima seniman kontemporer Indonesia ke Paviliun Indonesia yang berukuran 500m2, yang sewanya disponsori oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif waktu itu. Dengan tema “Sakti”, kata Sansekerta yang berarti enerji kosmik, Paviliun Indonesia di La Bienalle di Venezia ke-55 tahun 2013 itu mengangkat karya Albert Yonathan Setyawan, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Sri Astari (Rasjid), dan Titarubi. Bertindak sebagai kurator, Carla Bianpoen dan Rifky Effendy, sementara Adji Damais menjabat Komisioner.
Untuk La Bienalle tahun 2015, yang berlangsung enam bulan dari 9 Mei hingga 22 November 2015, Restu mengangkat hanya satu seniman, Heri Dono, yang bertutur tentang bangsa Indonesia dan kebhinekaan budayanya melalui seni instalasi berjudul “Voyage“, yang menampilkan Trokomod, karya berupa sebuah kapal berbentuk Komodo dengan ukuran 4 meter.
Menggelar Trokomod di ajang bienalle yang sangat diperhitungkan oleh masyarakat seni internasional itu, menurut Restu, merupakan upaya dirinya bersama teman-teman untuk terus membawa seni Indonesia ke tengah arena global, selain juga nasional.
Saat Pemerintah Mundur, Ibu-ibu Perkasa Maju
“Saya ingin senirupa kontemporer menjadi keseharian bangsa kita di abad ke-21 ini,” ungkap Restu sebelum bertolak ke Venesia saat itu.
Sayang, perjalanan Trokomod ke Venesia terhadang kendala. Setelah berupaya keras untuk mendapatkan ruang di ajang La Bienalle 2015 itu, Restu dihadapkan pada kesulitan birokrasi dalam pencairan dana dari Pemerintah. Dari anggaran paviliun sebesar Rp 7,5 milyar, Kementerian Pariwisata telah menyepakati untuk menanggung Rp 2,5 milyar, tetapi belakangan membatalkan.
“Saya hampir menyerah. Karya seni sudah siap, dan kami kehilangan semangat untuk lanjut karena tidak ada kepastian apakah kementerian bersedia mendanai biaya sewa ruang pameran,” katanya.
“Rasanya sudah seperti kapal yang tenggelam, sampai-sampai saya menyatakan, ‘kita tidak usah berpartisipasi’. Sekonyong-konyong, datanglah ibu-ibu perkasa yang seakan-akan membangunkan sambil berkata, ayo, ini ‘kan paviliun bangsa kita. Dorongan semangat mereka terasa seperti angin baru buat kami.”
Ibu-ibu perkasa itu, para pencinta seni yang bernaung di dalam kelompok Friends of Indonesia Pavilion, beserta beberapa perusahaan swasta maupun milik negara, bergerak untuk membantu agar project tetap jalan.
“Saya bangkit, langsung merampingkan tim dan anggaran,” katanya. Dua kontainer karya Heri Dono akhirnya sampai di Pelabuhan Venesia, siap untuk dipasang.
Perjuangkan Tempat Layak Bagi Warisan Budaya Indonesia
Walau berat, pengalaman tersebut bukanlah tantangan produksi tersulit yang pernah dialami Restu, yang umum dikenal juga sebagai penari yang melalangbuana dan arsitek.
Ia mengenang, pementasan I La Galigo, projek seni yang pertama ia jalankan sebagai produser, adalah yang paling sulit baginya. Ia harus melakukan riset mendalam terhadap surat-surat kuno Galigo yang berbahasa asli Bugis Kuno dan berkolaborasi dengan seniman dari bermacam-macam kebangsaan.
Sejak pementasan perdana pada tahun 2004, I La Galigo, yang mana naskah adaptasi serta dramaturginya ditulis oleh produser/penulis/sineas pemenang Emmy Award warga AS bernama Rhoda Grauer, telah tur keliling Eropa, Amerika Serikat dan Australia. Sebagai co-producer, Restu gigih bernegosiasi agar kreasi yang mengangkat cerita mitologi epik warisan budaya masyarakat Bugis itu mendapat tempat yang layak.
“Saya terus memaksa harga tiket harus setidaknya US$50 per kursi dan pementasan harus digelar di gedung opera. Bertahun-tahun hal seperti itulah yang saya perjuangkan.”
Seniman Bukan Dari Keluarga Seniman
Meskipun terlahir di keluarga yang bukan berlatar seni, Restu mengatakan bahwa minat menari sudah ia miliki sejak usia lima tahun.
Di masa remaja, ia meraih banyak peluang setelah gabung dengan kelompok seni pentas Swara Mahardhika pimpinan Guruh Soekarnoputra karena ia dapat ikut bergabung dalam pertunjukan ke berbagai negara.
Kemudian Restu melanjutkan pembelajarannya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sambil menekuni arsitektur di Universitas Trisakti Jakarta.
Keahliannya menari membawanya ke berbagai ajang tari tradisional maupun kontemporer sekaligus kolaborasi dengan seniman-seniman multi-disiplin. Selain itu, kemampuannya sebagai arsitek telah terwujud pada berbagai bangunan villa dan amphiteater di Jakarta dan Bali.
Pada tahun 2007, di Jakarta Restu mendirikan Bumi Purnati, rumah produksi dan konsultan untuk acara seni pertunjukan dan seni visual, sebagai kelanjutan dari gagasannya di Bali, Bali Purnati Center for The Arts, pusat penjelajahan dan pengembangan seni pentas, visual dan desain, di samping juga pusat dokumentasi foto mau tulisan dari karya seni tradisional dan kontemporer.
Seni Memperbaiki Kualitas Hidup
Dalam pandangannya, seni memberi banyak peluang untuk memperbaiki kualitas hidup. Melalui Losari Foundation, pada tahun 2012 Restu meresmikan wadah workshop batik yang yang diberi nama Omah Batik Losari dengan tujuan melestarikan tradisi membatik dan mendampingi kaum perempuan di desa Jlamprang, Jawa Tengah, untuk membangun kemandirian ekonomi.
Kemudian, di bawah naungan Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, Restu membentuk Sendratari Kidung Rajapatni yang mengisahkan peran kuat sosok matriarkhi bijak Gayatri Rajapatni di lingkungan istana pada awal kejayaan Kerajaan Majapahit di kurun abad ke-13 dan 14. Pementasan digelar di Candi Brahu, Trowulan, Jawa Timur, dalam rangka Festival Trowulan Majapahit, November 2014. Restu selain bertindak sebagai koreografer, juga penari dan pengarah artistik.
“Ini salah satu cara menarik kembali kepedulian masyarakat pada candi-candi warisan budaya Majapahit. Saya mengharapkan kelak acara serupa bisa diadakan di Istana Kerta Gosa, Klungkung, Bali. Lukisan pada langit-langit dan bangunan istananya perlu dilestarikan.”
Sebagai bagian dari kelompok bangunan di lingkungan istana Kerajaan Klungkung, Bali, Kerta Gosa dibangun pada abad ke-18 sebagai balai keadilan di mana para pandita Brahmana mengadili kasus-kasus pelanggaran hukum. Langit-langit bangunan ini dipenuhi oleh lukisan gaya wayang yang menceritakan ganjaran hukum di siklus hidup kemudian.
“Kami di Bali Purnati mempunyai ide untuk membuat sebuah buku untuk anak-anak yang terilhami oleh cerita-cerita dari bangunan Kerta Gosa,” ujar Restu. Ide demi ide bergulir, Restu tak berhenti berkarya untuk membawa senirupa Indonesia lebih dekat dengan masyarakat, di mana pun. :: JAKARTAPOST/11062015 + BUMIPURNATI/BALIPURNATI
terjemahan dari sumber utama > http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/11/restu-kusumaningrum-unflagging-spirit-nation-s-art.html