Perempuan Usaha Kecil Kerapkali Tidak Masuk Hitungan
[AKATIGA] – Apa beda pekerja renik perempuan dengan laki-laki? Bedanya, kendati waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan sumbangsih penghasilannya buat keluarga tak sedikit, perempuan kerapkali dianggap tidak bekerja. Mungkin karena pekerjaannya tidak terlihat jelas alias nirmata. Tak heran, Perempuan Usaha Kecil (PUK) semacam itu dijuluki orang sebagai “The Invisible Worker“.
Meletakkan kata ‘perempuan’ di depan ‘usaha kecil’ membuat kita mau tidak mau harus membahas pula relasi antara perempuan dan laki-laki. Jalannya roda usaha PUK bisa jadi sangat terkait dengan relasi-relasi yang terjadi di dalam rumah tangganya. Memahami persoalan-persoalan yang dihadapi PUK dalam kaitannya dengan relasi gender kemudian menjadi penting demi memperoleh gambaran utuh mengenai persoalan PUK.
Di dalam kerangka inilah analisis gender sering digunakan untuk melihat persoalan yang dialami PUK. Analisis gender merupakan cara pandang yang membedakan antara apa yang disebut ‘seks’ dan ‘gender’. Seks adalah pembedaan laki-laki dan perempuan yang atas ciri biologis yang tidak dapat dipertukarkan; sedangkan gender adalah pembedaan yang dikonstruksikan secara sosial yang tidak selalu melekat (Faqih, 1998). Pembedaan secara gender tidak masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, pembedaan gender terbukti berpotensi melahirkan ketidakadilan gender. Secara potensial yang terjadi adalah stereotip, pengambilan keputusan, dan beban ganda.
Stereotip adalah pelabelan-pelabelan yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki yang telah dikonstruksikan secara sosial. Pekerjaan mencari nafkah, misalnya, dianggap pekerjaan laki-laki sementara pekerjaan mengurus rumah dan keluarga adalah pekerjaan perempuan. Ruang domestik, pekerjaan reproduktif, dan kerja bukan upahan dipandang sebagai pekerjaan milik perempuan. Sebaliknya, ruang publik, pekerjaan produksi, dan kerja upahan adalah miliknya laki-laki.
Di sini, Moore (1988) secara kritis mengaitkan dengan konsep kerja. Menurut Moore (1998) di dunia kapitalis ini, terjadi anggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan upah/bernilai ekonomis (produksi dan berada di ruang publik) dianggap sebagai kerja, sementara pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan upah/tidak bernilai ekonomis dianggap bukan kerja, hanya aktivitas. Oleh karena itu dengan tajam Moore (1988:15) menyimpulkan kerja-kerja perempuan seringkali nirmata (invisible) karena keterlibatan perempuan tampak di pekerjaan-pekerjaan yang tidak menghasilkan upah atau tidak dilakukan di luar rumah (walaupun memberikan penghasilan).
Pelabelan semacam itu dapat pula berdampak pada akses dan kontrol PUK terhadap usahanya. Dalam pengambilan keputusan, umpamanya. Kasus yang jelas menyangkut akses perempuan adalah pada perizinan usaha karena dokumen penting yang harus ada “NPWP” seringkali terhambat karena stereotip perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama. Konsekuensi yang dialami PUK dengan tidak adanya izin antara lain: (1) tidak terdata sehingga dianggap tidak berkontribusi dalam perekonomian makro, (2) kesulitan mengakses kredit di lembaga keuangan formal, dan (3) karena tidak terdata maka tidak masuk dalam training-training atau pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh pemerintah.
Di arena rumah tangga, kontrol PUK terhadap usahanya juga masih lemah. Kasus-kasus yang diperlihatkan ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) memperlihatkan indikasi bahwa usaha yang semula dirintis oleh perempuan kemudian diambil alih oleh laki-laki (dalam hal ini suaminya), terutama saat usaha tersebut mulai berkembang atau meningkat. Akibatnya peranan perempuan yang semula menjadi pemilik dan pengelola usaha kemudian bergeser hanya menjadi karyawan atau tenaga kerja yang tidak dibayar (Bernighausen, 2001).
Tiada Hentinya Dihantui Beban Ganda
Contoh lain memperlihatkan seorang PUK yang bahkan tidak dapat memutuskan lokasi usahanya sendiri. Ketika PUK menginginkan pemasaran yang lebih luas di luar arena rumah, suaminya tidak mengizinkan. Suaminya hanya mengizinkannya berusaha di rumah sehingga akses PUK terhadap pasar menjadi semakin sempit yang berdampak pada usaha yang ditekuninya sepi pembeli dan akhirnya gulung tikar (Akatiga, 2005).
Pelabelan juga menyebabkan ketika seorang perempuan (yang mayoritas usahanya termotivasi kondisi kritis dan kemiskinan keluarganya) memutuskan berusaha, selalu diikuti dengan embel-embel “boleh bekerja asalkan tidak melupakan rumah tangga”. Akibatnya mayoritas mereka mengalami apa yang disebut beban ganda. Tabel curah waktu istri dan suami menunjukkan hal tersebut.
Data-data dalam tabel curah waktu memperlihatkan secara singkat bahwa jumlah waktu yang dialokasikan PUK untuk dirinya sendiri jauh lebih sedikit daripada suami. Itu artinya, waktu yang digunakan perempuan untuk bekerja jauh lebih banyak ketimbang laki-laki.
Penelitian lapangan yang dilakukan Akatiga di Garut menunjukkannya dengan jelas. Ibu Maria, sebutlah namanya demikian, adalah pengusaha opak di Garut. Ia mengungkapkan bahwa pekerjaannya cukup berat, menyita waktu, dan tenaga karena harus bekerja sambil mengurusi keluarganya sendirian. Suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan atau menggali sumur, hanya kadang-kadang saja membantu. Menurutnya beban pekerjaan yang begitu berat telah membuat badannya menjadi kurus kering. Sambil mengurut dada, ibu Maria berkata, “Lihat Neng, kebanyakan numbuk jadi kurus begini”.
Walaupun begitu, Ibu Maria mengaku tidak mungkin menghentikan usahanya. Mengapa? Karena sekalipun penghasilannya kecil, dia masih bisa merasakan perputaran uang yang penting untuk menghidupi keluarganya karena dia adalah pencari nafkah utamanya. Bukan suaminya.
Jadi, apakah PUK masih dianggap bukan pekerja?
(Judul asli >> ‘Beban Ganda Perempuan Usaha Kecil’ oleh Yulia I. Sari, Dyan Widhyaningsih, Deni Mukbar, Tim Usaha Kecil Akatiga)