Perempuan-perempuan Tangkas Rangkasbitung
Penopang metropolitan
Sebagian perempuan itu adalah pendatang yang tersedot oleh pesona Ibu Kota. Nanik datang dari Surabaya ke Jakarta ketika usianya 12 tahun. Selanjutnya, dia menikah tiga kali dan menetap di Citeras. Seperti banyak pendatang di sepanjang jalur Rangkasbitung-Jakarta, pergulatan hidup mereka tak jauh-jauh dari kereta. Bersama suaminya, Nanik memasok buah dan sayur kepada pedagang di Kebayoran Lama, Palmerah, dan Angke. Setelah suaminya meninggal, usaha itu dia jalankan sendirian.
Sejak dulu sampai sekarang dia bergantung pada kereta. Alasannya hanya satu: kereta ekonomi murah meriah. ”Bawa karung sebanyak ini hanya mengeluarkan duit Rp 200.000 untuk tiket, bayar ke petugas kereta, dan bayar ongkos kuli angkut,” ujarnya.
Kalau pakai mobil sewa, dia harus mengeluarkan uang Rp 300.000, belum termasuk bayar tol. ”Keuntungan saya pasti berkurang.”
Esih bahkan tidak bisa mencari nafkah tanpa kereta. Bayangkan saja, setiap hari dia hanya memperoleh Rp 15.000-Rp 20.000 dari jualan sayur di Palmerah. ”Ongkos kereta api pulang-pergi hanya Rp 3.000. Kalau pakai angkot, bisa habis Rp 10.000. Semua duit saya langsung habis,” katanya.
Ruth Indiah Rahayu, peneliti Inkrispena dan aktivis perempuan dari Perhimpunan Rakyat Pekerja, melihat bahwa dalam skala rumah tangga, peran ekonomis perempuan pedagang sayur dari Rangkasbitung itu tergolong tinggi. Mereka menunjang ekonomi harian keluarga untuk bertahan hidup.
Namun, dalam skala ekonomi makro, peran mereka dilupakan. Pasalnya, hitungan ekonomi makro mengasumsikan penghasilan keluarga selalu berasal dari suami.
Dalam konsepsi geografi-politik metropolitan Jabodetabek, mereka juga memiliki peran cukup penting. Mereka adalah agensi yang menghubungkan metropolitan sebagai pusat tumpukan barang dengan daerah produsen pertanian. Lewat mereka pula, konsumsi harian warga metropolitan bisa ditopang. :: KOMPAS/17042011