Perempuan-Perempuan Kopra di Desa Betara Kanan
Di Desa ini kami melihat kaum perempuan yang begitu perkasa di tengah-tengah gempuran modernisasi yang cenderung membuat orang menjadi manja, hedonis, dan berprilaku instan dan konsumtif. Desa ini juga menjadi saksi bahwa ada kelompok ibu-ibu yang tak rela berpangku tangan atau sekedar menengadahkan tangan pada sang-suami. Dan yang menjadi catatan khusus kami adalah pilihan pekerjaan mereka yang menurut ukuran standar merupakan “pekerjaan keras” yang selama ini menjadi domainnya laki-laki.
Desa Betara Kanan merupakan salah satu desa di Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Pertama kali menginjakkan kaki di desa ini—medio Februari 2013—dalam rangka mengemban salah satu pengejawantahan riil dari Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) Fasilitator Kecamatan (FK) yakni penguatan kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Dengan berbekal pengalaman dalam menghadapi forum ibu-ibu di lokasi-lokasi tugas sebelumnya, kami berangkat dengan tampilan yang lumayan rapi: baju kemeja yang diseterika licin, celana semi-jeans dengan warna matching, dan sepatu kulit yang disemir mengkilat. Dandanan ini kami sempurnakan dengan semerbak semprotan parfum. Lengkap sudah!
Desa Betara kanan, yang menjadi tujuan kami secara geografis sebenarnya berbatasan langsung dengan ibu kota kecamatan, Kelurahan Betara Kiri. Keduanya hanya dipisahkan oleh Sungai Betara yang membuat akses antar keduanya mesti menggunakan sarana transportasi air. Oleh karena topografi wilayah Desa Betara Kanan terdiri dari tanah gambut, praktis kondisi perekonomian masyarakatnya mayoritas ditunjang oleh sektor perkebunan kelapa dan pinang, ditambah dengan beberapa komoditi holtikultura lainnya seperti pisang, sayuran, dan beberapa tanaman palawija lainnya. Maka tak berlebihan andai dikatakan bahwa kelapa dan pinang menjadi elan vital bagi denyut nadi perekonomian Desa Betara Kanan.
Saat ini kelompok penerima manfaat SPP di Desa Betara Kanan tercatat sebanyak tujuh kelompok. Tiga kelompok pada Perguliran IV, tiga kelompok reguler T.A. 2012, dan satu kelompok untuk Perguliran V. Berdasarkan Laporan Perkembangan Pinjaman (LPP) SPP dari Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) Kecamatan Kuala Betara, grafik pengembalian pinjaman dari kelompok SPP di Desa Betara Kanan dewasa ini menunjukkan gejala penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenyataan ini membuat kami yang baru bertugas dalam pendampingan di kecamatan ini melangkahkan kaki untuk lebih mengetahui problema apa yang terjadi pada kelompok ibu-ibu penerima manfaat SPP tersebut.
Bersama Ketua dan Bendahara UPK, dan Pendamping Lokal (PL), kami bergerak menuju kediaman Ibu Dian Ratnawati, seorang Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) yang terbilang muka baru di kecamatan ini. Tak perlu susah payah menemuinya karena memang beliau sudah menunggu sejak pagi. Setelah berbincang-bincang sejenak dan mengutarakan maksud kedatangan kami, Ibu Dian mengantar kami menuju lokasi dimana kelompok ibu-ibu tersebut sedang berkumpul. Pertemuan dengan kelompok ibu-ibu biasanya selalu menimbulkan kesan atau sensasi yang beragam. Bukan saja karena forum ini lebih “semarak” dari forum-forum biasanya yang lebih didominasi kalangan laki-laki, tapi juga dalam menghadapi ibu-ibu ini kerap kali style kita berputar 180º, bergantung arah perkembangan diskursus dan daya serap audiensi terhadap materi pembicaraan yang kemungkinan besar didominasi hal-hal maskulin. Maka tak heran dalam menghadapi forum khusus ibu-ibu yang gampang-gampang susah ini diperlukan kesiapan yang lebih kompleks ketimbang forum-forum lainnya.
Demikianlah, kami berlima akhirnya sampai di tempat di mana sekelompok ibu-ibu sedang berkumpul. Namun, alih-alih mengharapkan pertemuan di balai desa, atau minimal di rumah ibu-ibu, kami malah membuka forum ini di tengah kebun kelapa. Ya, ternyata kami menemui kelompok ibu-ibu penerima manfaat SPP yang tengah sibuk dengan aktivitas kesehariannya —- melangkau. Melangkau merupakan sebutan untuk keseluruhan prosesi pekerjaan pengolahan kelapa mulai dari memetik buahnya dengan satang atau dipanjat, kemudian diangkut dengan memakai ambung besar (lanjung), atau kalau pengairannya bagus biasanya buah-buah kelapa tersebut dialirkan melalui anak-anak parit menuju hilir. Setelah itu tumpukan buah kelapa yang membukit itu dikupas sabutnya dengan alat semacam ujung tombak yang lebar namun pipih dan dipasang secara vertikal mengarah ke atas. Alat ini juga menjadi piranti pembelah buah kelapa setelah dikupas serabutnya. Selanjutnya buah yang sudah dibelah dua dijemur untuk memudahkan dalam mencungkil dagingnya agar terlepas dari tempurungnya. Proses akhir adalah pemanggangan—mungkin lebih tepatnya pengasapan persis seperti ikan bandeng yang hendak dipresto—dengan tujuan untuk mengurangi kadar airnya. Keseluruhan prosesi ini menghasilkan suatu produk baru yang bernama kopra.
Nah, di tengah-tengah tumpukan buah kelapa yang membukit itulah kami—yang tampil layaknya mau ke kondangan—membuka pertemuan dengan kelompok ibu-ibu pekerja kelapa yang juga ternyata membentuk kelompok SPP. Pasca pengidentifikasian kelompok tersebut, kami menginvestigasi kendala langsung dari sumber primernya, dan ternyata memang ada dua orang ibu-ibu yang bulan ini menunggak angsuran pinjamannya. Sembari meng-cross check temuan di lapangan dengan laporan UPK, kami memperoleh informasi bahwa ibu-ibu yang menunggak tersebut terkendala lantaran pengepul (toke) tempat beliau selama ini memasarkan kopranya belum membayar ibu-ibu tersebut untuk trip yang lalu. Periode satu trip dalam perkebunan kelapa memakan waktu tiga bulan. Setelah memafhumi penjelasan dan argumentasi ibu-ibu tersebut, dan mendapat pengakuan kesanggupan untuk membayar angsuran pada bulan berikutnya, kembali kami menjelaskan Standard Operational Procedure (SOP) perguliran dengan bahasa awam yang terukur.
Terlepas dari perjalanan menjalankan tugas, kunjungan kami ke Desa Betara Kanan saat itu bagi kami pribadi menorehkan suatu kesan yang mendalam. Suatu perjalanan empiris yang tak saja menggugah nalar sosiologis (khususnya sosiologi pedesaan), tapi juga menjamah ke ranah spritual melihat fenomena etos kerja dan kebersahajaan (kana’ah) perempuan-perempuan di Desa Betara Kanan. Bagaimana tidak, di desa tersebut kami melihat kaum perempuan yang begitu perkasa di tengah-tengah gempuran modernisasi yang cenderung membuat orang menjadi manja, hedonis, dan berprilaku instan dan konsumtif.
Desa ini juga menjadi saksi bahwa ada kelompok ibu-ibu yang tak rela berpangku tangan atau sekedar menengadahkan tangan pada sang-suami. Dan yang menjadi catatan khusus kami adalah pilihan pekerjaan mereka yang menurut ukuran standar merupakan “pekerjaan keras” yang selama ini menjadi domainnya laki-laki. Kami sering berasumsi bahwa fenomena perempuan-perempuan pekerja keras di Desa Betara Kanan adalah buah dari sebuah tradisi luhur yang masih tersisa akibat tergerus abrasi keserakahan modernisasi di era globalisasi ini. Sebuah tradisi yang pada akhirnya bermetamorfosa menjadi kearifan lokal (local wisdom) yang meyakini bahwa sejatinya tak ada pemilahan antara laki-laki dan perempuan. Relasi sejajar antara laki-laki dan perempuan berlangsung di semua lini kehidupan, bukan saja pada tataran rumah tangga, tapi juga pada kehidupan sosial, termasuk dalam lapangan pekerjaan.
Pandangan kami ini mengkerucut pada sebuah hipotesa akan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang alamiah, dan murni (genuine) tanpa sentuhan paham-paham dari luar yang berjuang keras mengkampanyekan kesetaraan gender. Testimoni dan kekaguman kami pada perempuan-perempuan perkasa di Desa Betara Kanan tak pelak membuat kami teringat dengan para pejuang kesetaraan gender, pegiat feminisme, dan para pemekik emansipatoris. Andai mereka meluangkan waktu sejenak dan bertandang ke Desa Betara Kanan demi meneropong kehidupan riil perempuan, termasuk relasi antar laki-laki vis-a-vis perempuan di sini, masihkah episteme dan paradigma mereka setegar batu karang? Atau barangkali mereka akan pulang dengan oleh-oleh hasil rekonstruksi pemikiran dan pandangan mereka? :: puncakandalas.com/des2013
Perempuan-Perempuan Perkasa di Desa Betara Kanan | puncakandalas.com.