Perempuan Indonesia Pilih Cerai Untuk Lepas Dari KDRT
Sepanjang awal tahun hingga akhir Februari 2009, LBH APIK Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 160 kasus melalui pengaduan langsung (90 kasus) maupun melalui telepon (70 kasus). Dari 160 kasus itu, 77,8% atau 130 kasus merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian merupakan pilihan tertinggi bagi perempuan korban untuk menyelesaikan ataupun memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.
Prosentase perempuan yang menggugat cerai yakni 49% dan 3% suami yang menceraikan korban. Dari angka gugatan cerai perempuan tersebut, 46,8% nya karena akibat dari nikah siri yang dilakukan suami yang menyebabkan KDRT berupa penelantaran rumah tangga, sedangkan sisanya karena alasan lain. Dari 46,8% tersebut, 43,4% nya istri yang dinikah siri mengajukan gugatan perceraian karena menjadi korban penelantaran; dan 56,6% nya merupakan istri sah yang menjadi korban penelantaran karena suami menikah lagi di bawah tangan/siri. Sementara itu, 16% perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan diceraikan secara tidak sah diancam pidana perzinahan akibat berelasi dengan laki-laki lain.
Dari keseluruhan kasus kekerasan yang terdata oleh LBH APIK Jakarta selama Januari-Februari 2009, KDRT merupakan prosentase terbesar dibanding kekerasan lain seperti kekerasan dalam pacaran (4,8%), kekerasan paska perceraian (4,8%), kekerasan dalam ketenagakerjaan (3%), kekerasan seksual (2,4%), kekerasan dalam kasus hak waris (2,4%), kekerasan dalam adopsi anak (0,5%), kekerasan yang bersifat pidana lain (penipuan, penganiayaan, pencemaran nama baik akibat laporan perkosaan 1,9%), dan lain-lain kekerasan yang diadukan (2,4%).
Data faktual tersebut menunjukkan kasus perceraian paling banyak disebabkan karena suami melakukan poligami dengan pernikahan di bawah tangan (siri). Meskipun UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur secara tegas tentang poligami terbatas dan tata cara perkawinan, bahkan KUHP memberikan ancaman pidana bagi yang orang yang masih terikat perkawinan melakukan pernikahan lain, namun hal ini belum menjadi faktor pencegah terjadinya pernikahan siri yang secara realita merugikan perempuan dan anak.
Berdasarkan fakta tersebut LBH APIK Jakarta menyampaikan sikap sebagai berikut:
1. Perempuan dalam pernikahan siri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat menuntut secara pidana berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, karena dalam praktek hukum Aparat Penegak Hukum mendasarkan adanya perkawinan berdasarkan UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam yakni perkawinan yang tercatat oleh Negara, dimana Akta Nikah menjadi bukti adanya perkawinan. Hal ini yang menyebabkan 43,4 % perempuan yang dinikah siri meminta cerai suaminya, karena hukum tidak melindungi perkawinan di bawah tangan sehingga perempuan yang menjadi korban menjadi tidak terlindungi;
2. Perceraian sebagian besar dilakukan akibat Poligami. Bahkan poligami dilakukan dengan pernikahan di bawah tangan, tanpa ijin istri sah dan menyebabkan adanya penelantaran dalam rumah tangga bagi istri sah. Hal tersebut menunjukkan perempuan tidak dijamin hak-haknya dalam perkawinan sah maupun di bawah tangan;
3. Fakta perlakuan suami terhadap istri yang sewenang-wenang dengan mengucapkan cerai tanpa putusan pengadilan dan kemudian memperlakukan istrinya tersebut sebagai bukan istrinya lagi, telah menyebabkan 1,6% perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mencari jalan penyelesaian lain hingga disangka dan diancam tindak pidana perzinahan;
4. Relasi suami istri yang setara dan tidak stereotyping negative terhadap laki-laki dan perempuan belum tersosialisasi dengan maksimal baik di lingkup individu, keluarga, masyarakat, penegakan hukum, dan tata pemerintahan sesuai dengan amanat pasal 2 dan 5 UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
5. Perempuan sebagai pihak yang rentan membutuhkan akses informasi dan perlindungan yang menjamin hak-haknya sebagai perempuan dalam perkawinan terlindungi, untuk itu dibutuhkan payung hukum yang berbasis jender (memberikan perlindungan perempuan agar tidak menjadi korban dalam proses hukum pernikahan di bawah tangan/siri, poligami dan bentuk kejahatan perkawinan;
6. Lembaga peradilan dan upaya penegakan hukum dapat memprioritaskan perlindungan bagi perempuan dalam penanganan terhadap kasus yang menempatkan perempuan sebagai korban dalam lembaga maupun hubungan perkawinan;
7. Mengajak semua pihak agar sejalan dengan LBH Apik Jakarta untuk mencegah terjadinya perkawiman yang tidak melindungi istri, baik istri sah maupun istri yang lain, dan mengajak kepada perempuan untuk berani menolak untuk melakukan atau untuk terlibat dalam perkawinan yang penuh kekerasan apa pun bentuknya.
Demikian siaran pers ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret yang menjadi titik awal diakuinya partisipasi dan peran perempuan dalam memberikan dan membuat keputusan di ranah publik maupun privat bagi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender di muka bumi ini.
LBH APIK Jakarta, 8 Maret 2009
Estu Rakhmi Fanani, S.Pi Sri Nurherwati, S.H.
Direktur Koordinator Pelayanan Hukum