[opini] Tanpa ‘Nebeng’, Ciptakan Organisasi Mandiri
Oleh Kartika Sari, MSi, Staf Pengajar di Fakutas Sains dan Teknik Unsoed Purwokerto
[SUARAMERDEKA] ~ Memang diakui pendidikan kaum ibu di Indonesia belum sepenuhnya memuaskan. Tak hanya masih munculnya diskriminasi terhadap eksistensi perempuan secara keseluruhan dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga semakin banyaknya jumlah ibu-ibu yang belum mampu memberdayakan potensi keluarga guna menatap masa depan kehidupan yang lebih baik.
Menarik apa yang disampaikan oleh Tri Rustanti Noersasongko pada rubrik Genderang Gender tentang “Memanfaatkan Jejaring Perempuan” (Suara Merdeka, 17/12/08). Tri menyebutkan bahwa ibu-ibu berperan besar dalam memberdayakan potensi keluarga, khususnya pendidikan dan kualitas hidup anak-anaknya.
Ia menawarkan perlunya ibu-ibu memanfaatkan jejaring perempuan yang tersedia, seperti kiprah pasangan ibu kembar dari Jakarta, kisah Ibu Ana dan Ibu Ani yang dengan berhasil melakukan pendidikan bagi anak-anak kolong jembatan. Masalah pendidikan merupakan substansi bagi pemberdayaan keluarga di masa datang.
Banyak perempuan yang kemudian mengeluh, frustasi dan bahkan tak jarang melakukan hal-hal irrasional sekadar untuk bertahan hidup. Fakta ini seperti sudah menjadi kelaziman sehingga berbagai fenomena keganjilan yang menghiasi dunia perempuan masih juga dianggap sebagai hal lumrah dan hanya ramai dalam wacana perbincangan di media atau forum-forum diskusi.
Pertanyaannya apakah kondisi perempuan/ kaum ibu yang demikian tersebut akan hanya terus menjadi bahan diskusi dan perdebatan para elite perempuan saja, sekadar memanfaatkan jejaring perempuan yang telah tersedia atau butuh realisasi kerja nyata untuk tak sekadar memanfaatkan, tetapi bahkan mempelopori untuk membentuk jejaring perempuan di berbagai pelosok tanah air?
Tulisan ini bukan untuk sekadar menanggapi, melainkan coba mengembangkan apa yang selama ini menjadi problem dasar perempuan, khususnya terkait dengan upaya membangun jejaring perempuan lewat organisasi dan wadah-wadah pemberdayaan perempuan yang tersedia selama ini.
Organisasi “Nebeng”
Gagasan perlunya tindakan nyata bagi kaum perempuan untuk turut berjuang memberdayakan potensi perempuan tampaknya sudah tak hanya sekadar dengan kata “memanfaatkan”, yang berarti “nebeng” apa yang telah ada baik lembaga, peran, atau bahkan kegiatan-kegiatan yang telah hadir selama ini.
Diakui atau tidak, kerja perempuan baik individu atau kelompok/organisasi perempuan selama ini memang belum dapat dijadikan sebagai media jejaring perempuan karena masih lekatnya unsur “memanfaatkan” tersebut. Kita bisa ambil contoh, banyak organisasi kewanitaan/ perempuan yang semestinya bisa berdikari dan mandiri sebagai organisasi perempuan yang kuat dan solid, masih merelakan organisasi dan aktivitasnya sekadar sebagai “penebeng”, yang bernaung di bawah organisasi induk yang biasanya dikendalikan kaum laki-laki.
Ada organisasi Dharma Wanita, yang diakui atau tidak “nebeng” kepada organisasi dari para istri pejabat pemerintahan. Demikian juga ada organisasi perempuan yang bernama “Gabungan Organisasi Kewanitaan”, juga diakui atau tidak “nebeng” kepada organisasi bentukan pemerintah daerah atau organisasi “istri-istri” elite negara, baik dari unsur ABRI, Polri, PNS, anggota legislatif, yudikatif†atau persatuan pengusaha di Indonesia, yang semua bermuara pada makna “nebeng” tersebut.
Masalah “nebeng” organisasi atau kegiatan perempuan yang ada selama ini membuktikan bahwa dalam tataran “keberanian” dan “kemandirian” organisasi dan aktivis perempuan masih jauh harapan.
Memang mudah dan sederhana dalam membentuk organisasi yang model “nebeng” tersebut, tetapi menyebabkan kerja dan pelaksanaan visi-misi organisasi perempuan sulit terpetakan. Kita tak pernah tahu bagaimana laporan kinerja organisasi perempuan dan kewanitaan yang selama ini “nebeng” di induk organisasi selama ini.
Kita juga tak pernah ambil pusing apakah kerja dan program implementasi visi-misi organisasi perempuan/ kewanitaan yang ada, baik formal atau non-formal telah signifikan menjawab persoalan perempuan itu sendiri. Padahal agenda evaluasi kinerja organisasi perempuan adalah salah satu perangkat untuk mengukur sejauh mana efektivitas organisasi perempuan itu sendiri. Karena diakui atau tidak, peta kinerja organisasi perempuan yang ada selama ini juga masih buram bahkan gelap.
Di samping tak tersedianya data akurat, kebanyakan analisis dan pakar sekadar menduga-duga sehingga tak pernah dicarikan rumusan yang dapat dijadikan rujukan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas program pemberdayaan perempuan secara keseluruhan.
Untuk alasan tersebut, dalam membangun jejaring perempuan eksistensi organisasi atau wadah aspirasi bagi perempuan semestinya dibentuk secara mandiri, tidak model nebeng-nebengan seperti kebiasaan selama ini. Baik mandiri dalam hal penentuan arah dan kebijakan pemberdayaan perempuan, visi-misi dan program organisasi ataupun dalam hal klasik: pembiayaan. Memang kita telah banyak memiliki organisasi setingkat departemen bernama Departemen Pemberdayaan Perempuan, tetapi sejak dibentuk hingga kini, model dan pola kerjanya masih ajek seperti di kala ode baru yang bercirikan seremonial, membuang-buang dana miliaran tanpa indikator kinerja yang jelas.
Hal ini, sekali lagi, ideologi “nebeng” berbagai kegiatan dan visi-misi organisasi perempuan masih terus saja terjadi.
Oleh karena itu, ke depan, perlu dibentuk organisasi atau wadah bagi pencapaian visi-misi organisasi perempuan, baik formal atau non-formal sebagai salah satu modal utama untuk mengembangkan jejaring perempuan tanpa kenal status dan latar sosial budaya.
Harus diakui, bahwa banyaknya organisasi perempuan/ wanita yang hadir selama ini masih terkesan kuat elitis, bahkan sangat eksklusif. Misalnya, persatuan perempuan istri-istri pejabat yang berkunjung ke perkampungan kumuh; mereka seperti sinterklas, membagi-bagikan mie, pakaian dan minuman pasca-peringatan hari raya atau peringatan hari ibu, wanita dan sejenisnya dan kemudian mereka berpidato, “marilah kita berdayakan potensi perempuan”.
Setelah pidato mereka lupa dan kembali hidup besenang-senang di lingkungan mereka sendiri. Di tempat yang lain, masih juga sama, istri-istri pengusaha yang tergabung dalam organisasi istri pengusaha Indonesia, turun ke kampung kumuh dan membagi-bagikan sembako kepada perempuan kolong jembatan, lalu berpidato lagi.
Pemandangan demikian sebenarnya memalukan. Kita sesama perempuan seperti telah mengambil jarak tanpa perlu membentuk wadah mandiri untuk benar-benar memberdayakan potensi perempuan, sesama kita yang tak beruntung, hidup misikin dan serba kekurangan. ~ (Kartika Sari, MSi, Staf Pengajar di Fakutas Sains dan Teknik Unsoed Purwokerto – 80/24Des2008).