Nurjanah Ginting Buktikan Pertanian Organik Jauh Lebih Baik
[DK-Insufa] – Menjadi petani yang bertahan dengan sistem pertanian organik bukanlah hal mudah. Berbagai rintangan dihadapi mulai dari pandangan negatif masyarakat petani lainnya yang terbiasa bertani secara konvensional sampai persoalan pasar yang seolah belum menerima keberadaan padi organik. Karena itu, sangat dibutuhkan sikap mandiri dan kreatif dalam menjalankan sistem pertanian organik tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Nurjanah br Ginting, warga dampingan BITRA Indonesia saat memanen padi organiknya, Rabu (3/4/2013) di Desa Namolandur, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.
Sistem pertanian organik ini merupakan fokus dari hasil belajarnya di Sekolah Lapang (SL) yang diadakan BITRA Indonesia pada 2009 lampau. Nurjanah yang juga tergabung dalam Serikat Rakyat Tani Deliserdang (SERATD) ini bertekad akan mengelola lahan miliknya seluas 3.000 meter persegi dengan sistem pertanian organik.
Menurut Nurjanah, produksi pertanian yang diperolehnya dari tahun ke tahun juga meningkat dan cukup menggembirakan. “Tahun pertama memang masih seri, cuma bisa panen 500 kg/1.000 m². Di tahun kedua meningkat menjadi 600 kg/1000 m² dan tahun ketiga 700 kg/1000 m². Kali ini makin meningkat lagi jadi 800 kg/1000 m²,” ujarnya tersenyum puas.
Lebih Murah dan Kuat, Tanah Gembur Subur
Secara pembiayaan, lanjut Nurjanah, pertanian organik lebih murah. Selain itu, daya tahan tanaman juga lebih kuat. Tanahnya makin gembur dan subur. “Bahkan tahun lalu, ketika cuaca ekstrim seperti angin kencang, padi saya justru tidak tumbang, sementara tanaman padi di sekitarnya (sistem konvensional) rata-rata tumbang,” tuturnya.
Adi dan Sariman, 2 dari 20 orang penyabit padi, membantu memanen di sawah Nurjanah, juga merasa kalau padi yang ada di sawah Nurjanah buah padinya lebih berat dibandingkan padi yang biasa mereka sabit.
Menyimak kegigihan Nurjanah ini, Wahyudhi, Direktur BITRA Indonesia mengaku ikut gembira. “Memang, kalau pertanian organik ini bisa berjalan baik, harapannya juga bisa meningkatkan kesejahteraan petani,” ujarnya saat mengikuti panen tersebut.
Wahyudi juga menjelaskan, bertani organik atau selaras alam itu secara teknis mudah dilakukan. Hal ini karena semua unsur dalam proses bertani organik, mulai persiapan lahan, menyiapkan bibit, menyiapkan sarana produksi bisa dilakukan secara gampang.
Petani bahkan dapat memanfaatkan apa-apa saja yang tersedia di sekitar sawahnya, misalnya rumput diolah menjadi pupuk atau juga pemanfaatan pupuk kandang. Kalau pertanian secara konvensional biasanya diberi pupuk dasar kimia dari pabrik tetapi pada pertanian organik pemberian pupuk dari kotoran sapi atau dedaunan yang sudah dibusukkan sehingga memberikan dampak positif bagi tanah dan tidak membunuh ekosistem jasad renik yang ada di dalamnya.
Pertanian Dengan Pestisida Perberat Dampak Perubahan Iklim
“Berdasarkan hasil penelitian para ahli, sistem pertanian konvensional ternyata ikut menyumbang dampak dari perubahan iklim karena penggunaan pestisida secara besar-besaran. Padahal, secara langsung perubahan iklim ini juga berdampak pada kehidupan petani dan pola pertanian yang dilakukannya,” jelasnya.
Menyikapi hal-hal positif itulah BITRA perlu mengkampanyekan program pertanian organik ini dengan memberikan berbagai kesaksian, baik secara ekonomi, kesehatan, dan ekologis para pelaku pertanian organik tersebut.
“Misalnya, tanah yang sekarang kita injak ini ternyata masih gembur, masih subur, dan ketika ditanam palawija juga makin subur. Ini tentu berbeda kalau menggunakan sistem konvensional (pupuk kimia),” jelas Wahyudhi.
Kemudian BITRA akan memfasilitasi diskusi mengenai pertanian organik sehingga terjadi proses saling belajar. Baik antar kelompok maupun dengan para pengambil kebijakan di tiap daerah, di mana masyarakat dampingan BITRA berada. :: BITRA.OR.ID/04apr2013
via Nurjanah Ginting Buktikan Pertanian Organik Jauh Lebih Baik.