Nita Darsono, Ilustrator yang Jaga Suami “Tidur” Tujuh Bulan
Di balik karya-karya kreatif yang dihasilkannya, Nita Darsono, 29, memiliki cerita sendiri. Ilustrator freelance tersebut menggambar sembari menunggu suaminya, Bembi Kusuma, yang tidur panjang sejak Juni 2014. Tetapi, dia membuktikan bahwa duka tidak mematahkan semangatnya.
JPNN.COM + WARUNGKOPI.COM – Nita masih ingat betul detail peristiwa yang terjadi pada Juni 2014. Ketika itu, Bembi merampungkan tugas akhirnya sebagai mahasiswa S-2 ISI Jogjakarta. Saking sibuknya berkutat dengan proyektor tugas akhir, dia tidak menghiraukan sakit gigi yang dideritanya.
Tahu-tahu saja, bengkak dan gusinya meradang. Setelah itu, Bembi tidak sadarkan diri. Berdasar diagnosis dokter, Bembi menderita radang otak. Penyakit yang membuatnya tidak sadarkan diri hingga sekarang. ”Tapi, sudah ada respons. Melalui isyarat mata atau gerakan jari meski masih lemah,” kata Nita.
Sebagai manusia biasa, tentu saja Nita terpukul. Baru empat tahun menikah, belahan jiwanya tiba-tiba mengalami hal seperti itu. Tetapi, life must goes on. Hal tersebut tidak mematahkan spirit Nita. ”Saya lebih suka membayangkan suami sedang tertidur panjang. Saya harus menjaganya,” katanya mantap.
Tekadkan Satu Karya Per hari
Sembari menunggu kondisi suaminya membaik, Nita kembali beraktivitas sebagai ilustrator. Tak satu hari pun dilewatkannya tanpa menggambar dan berkarya.
”Saya menargetkan, tiap hari setidaknya ada satu karya yang saya buat. Ini bentuk disiplin saja,” ucap perempuan yang pernah aktif di komunitas seni BRAngerous Surabaya tersebut.
Salah satu bentuk kedisiplinannya adalah meluangkan waktu enam jam setiap hari untuk berkarya. Untung, dia freelancer. Jenis pekerjaan yang membuatnya tidak terikat pada jam kantor. Itu penting untuk merawat sang suami. ”Makanya, di atas pukul tiga (pukul 15.00), saya tidak bisa diganggu. Saya sudah fokus ke Bembi (suaminya, Red),’’ ujarnya.
Bentuk karya gambar yang dihasilkan Nita beragam. Biasanya karyanya diaplikasikan pada undangan, sweter, tote bag, ilustrasi buku, hingga desain berupa logo. Dia melakukan semua itu tanpa perlu menjadi pegawai perusahaan.
Nita pernah bekerja di kantoran dan memutuskan untuk menjadi freelance pada 2011. Dia merasa lebih cocok dengan pekerjaan yang tidak menuntut banyak waktu. ’’Kalau freelance, saya bisa mengatur kebutuhan antara pekerjaan dan hobi agar bisa seimbang,’’ tuturnya.
Dalam menerima pekerjaan, Nita cukup selektif. Setiap satu pesanan dari klien memiliki batas pengerjaan. Bila dirasa terlalu mendadak, Nita menolak. Kisaran pengerjaan berbeda-beda. Misalnya, untuk undangan, perempuan berambut pendek itu memberikan durasi pengerjaan sebulan.
’’Sebenarnya itu juga patokan sih. Bergantung sejak awal perjanjiannya gimana. Yang lebih saya tegaskan juga pada banyaknya revisi,’’ ungkap alumnus desain grafis ITS tersebut.
Ide dan Seni Masih Belum Dihargai
Nita mengungkapkan, jagat desain di Surabaya masih jauh dari ideal. Masih banyak yang menyamakannya dengan dagang. Yakni, berusaha mendapatkan yang terbaik dengan dana seminimal-minimalnya. Itu yang disayangkan Nita. ”Sebab, itu sama saja dengan tidak menghargai ide dan seni,” terangnya.
Ditanya mengenai pencapaian yang tertinggi, dia merasa belum ada. Sebab, Nita mengaku sebagai orang yang cepat bosan. Tidak ada yang menjadi tujuan. Meski begitu, dia pernah membuat ilustrasi buku travel berjudul Backpacking 101.
Untuk membangkitkan mood, Nita punya cara tersendiri. Dia membuat gambar yang bercerita mengenai kehidupannya. Namun, dia belum pernah memasukkan bagian hidup ketika Bembi sakit. ’’Sejauh ini sih belum. Tapi, teman-teman yang lain bilang, setelah masalah itu, gambarku jadi lebih kelam,” ungkapnya.
Ide bisa datang dari mana saja. Nita mengatakan, salah satu wadah ide adalah Instagram Feed. Menurut dia, dari sana ada banyak inspirasi seni dan coretan bagus.
Tidak Terpikir Akhirnya Jadi Ilustrator
Nita menceritakan, dirinya tidak pernah bercita-cita menjadi ilustrator. Sebab, keinginannya dulu adalah menjadi dokter hewan. Tetapi, ketika diskusi dengan mamanya, dia berbalik arah dan memilih jurusan desain grafis di ITS.
”Tapi, tetap belum kepikiran jadi ilustrator karena saya dua kali tidak lulus mata kuliah ilustrasi,” kenangnya lalu tertawa.
Keinginan menjadi ilustrator muncul saat dia menjadi pegawai. Menunggu booting komputer yang lemot, dia iseng-iseng menggambar. Merasa menemukan keasyikan baru, Nita makin senang menggambar.
Karyanya semakin banyak. Gambar itu kemudian disablon pada bantal kursi. Ternyata banyak peminatnya. Dari sana dia merasa panggilannya menjadi ilustrator. ’’Kalau gini kan saya bisa menggambar untuk kesenangan, tapi juga bisa bikin gambar serius buat klien,’’ ungkapnya.
Menurut Nita, di Surabaya masih banyak orang yang tidak melihat unique value pada suatu karya. Yang mereka lihat kebanyakan merek. ’’Surabaya ini masih brand-minded. Bukan pada gimana mereka menghargai pembuatnya,’’ tuturnya.
Saat ini Nita sudah punya banyak sekali karya ilustrasi. Dia biasa memamerkan hasilnya lewat web dan media online. Sementara ini belum ada keinginan untuk membuat ekshibisi real.
Mengingat keadaan Bembi, dia merasa kurang bersemangat jika pameran sendirian tanpa suami. ’’Tunggu Bembi bangun aja dulu. Saya siap bikin banyak karya kalau ada dia,’’ ungkapnya lantas tersenyum.
Nitchii, Panggilan Kecil, Identitas Sosmed
Ayah Nita adalah seorang musisi, dan ibunya lulusan Akademi Seni Tari (sekarang sudah bergabung menjadi ISI Jogja). Waktu kecil, ayah Nitchii, demikian panggilan akrab Nita Darsono sejak kecil, mendidik anak-anaknya untuk setidaknya menguasai satu jenis alat musik. Tapi Nitchii mengaku kalau hanya dia yang hobinya corat-coret di keluarga.
Doodle dan kartun yang disertai dengan cat air berwarna ceria seperti dalam ilustrasi buku cerita anak-anak adalah ciri khas karya-karya Nitchii. Ia banyak terinspirasi dari Gemma Correll, Aurelie Neyrett, Emmeline Pidgen, Regina Silva, Sozi, dan Cecillia Hidayat. Hasil karya Nitchii banyak diambil dari kejadian sehari-hari. Ia lebih suka membuat visual diary daripada menulis di buku harian. Dengan terbiasa membuat visual diary, Nitchii jadi belajar menghargai dan memperhatikan setiap detail keberadaan seseorang atau sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia berharap gambar-gambarnya bisa membuat orang lain merasa kenal atau dekat, karena ia memang senang mendapat teman baru. Ia juga ingin kebiasaannya ini bisa menular ke orang lain.
Kalau lagi jenuh, biasanya Nitchii akan mencoba mencari referensi baru atau bereksperimen dengan media lain. Ia juga suka mulai menggambar dari sesuatu yang sangat sederhana. Misalnya, menggambar 5 benda yang ada dalam radius 50 cm dari tempatnya berdiri atau duduk. Selain itu, ia menyarankan untuk menjadi narsis, karena gambaran akan diri sendiri tidak akan pernah habis.
Karya-karya Nitchii sudah pernah mengikuti beberapa pameran, seperti The Way We Dress (2010) untuk BRAngerous Art Exhibition, Red (2011) untuk BRAngerous Woman Art Exhibition, What We Love About France (2012) untuk Institut Francais d’Indonesie-BRAngerous Woman Art Exhibition, LOS in LOVE (2013) Group Exhibition di My Kopi-O, Surabaya dan masih banyak lagi. Pameran LOS in LOVE adalah pameran yang paling berkesan buatnya, karena itu adalah pameran pertamanya yang tergabung bersama 6 ilustrator dengan karakter gambar yang berbeda-beda. Nitchii dan keenam ilustrator ini membentuk sebuah grup kecil bernama LOS dan menemukan sinergi dalam style masing-masing. :: JPPN.COM/Ira Kurniasari/11jan2016 + KOPIKELILING.COM/mar2013
FOLLOW NITA DARSONO