Mitos Perempuan Desa di Awal 1990an Abaikan Sumbangan Utuh Mereka
Menurut Ichwan, mau tak mau arus urbanisasi perempuan ke kota dan bekerja di pabrik/perusahaan harus diakui sebagai fenomena sosial yang tak terelakkan. Persoalannya, bagaimana pemerintah turut membantu nasib mereka, misalnya dalam bidang penentuan upah yang layak bagi buruh. Dan bagi perempuan di desa perlu diciptakan lapangan kerja yang bersifat informal, sehingga pihak perempuan bisa mengembangkan potensinya di desa. Pergi ke kota bukanlah satu-satunya jalan untuk mengatasi tersisihnya peran perempuan dari sektor pertanian. Bekerja sebagai buruh perusahaan di kota, apalagi di malam hari, mengandung banyak konsekuensi yang kurang baik bagi perempuan, tutur Rudy TS, mahasiswa Institut Teologia Alkitabiah Siolam Medan.
Sehubungan dengan pengaruh teknologi canggih dalam bidang pertanian, Ibu Farida Galingging merasa cemas dengan situasi yang melanda tempat asalnya, pulau Samosir. Hadirnya pabrik-pabrik khususnya pabrik Indo Rayon dirasakan semakin menggeser nasib perempuan di bidang pertanian. Sebab, sekitar pulau tersebut sudah semakin tandus karena setiap hari hutan-hutan sekitarnya ditebangi untuk bahan pengolahan pabrik kertas tersebut. “Dampaknya sudah semakin terasa bagi kami,” keluhnya. Dulu tanah tanpa diberi pupuk sudah bisa untuk menanam bawang, sekarang tanpa diberi pupuk tanaman tidak akan bagus, lanjutnya.
Sektor informal
Sektor informal di desa-desa banyak berkembang. Munculnya usaha kecil-kecilan seperti bertenun, beternak dan berdagang kecil-kecilan menjadi tanda berkembangnya sektor informal. Usaha yang kebanyakan dikerjakan perempuan ini digunakan untuk menambah penghasilan keluarga, ujar Aritonang.
Menurut Yohana AP Pattiasina, seorang pekerja sosial, dalam usaha memajukan potensi perempuan di sektor informal, kaum perempuan perlu trampil menangani ekonomi keluarga. Sebenarnya perempuan lebih ahli dalam mengatur perekonomian keluarga di desa. Menurut ibu yang bekerja di proyek percontohan pengembangan hubungan Bank KSM ini, perempuan dikaruniai bakat alami sebagai ahli ekonomi di tingkat mikro. Hal ini dapat dilihat dalam pengelolaan keuangan keluarga untuk sandang, pangan, papan, pendidikan dan kegiatan sosial.
Selain itu, sambungnya, perempuan mempunyai sikap kompetisi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. “Persoalannya sekarang apakah perempuan sadar akan kekuatan dan kelemahannya sehingga lebih dapat berfungsi ke hal-hal yang positif,” Yohana mempertanyakan. Lebih lanjut perempuan asal Ambon ini menganalisis, perempuan kadang-kadang tidak sadar akan kekuatan dan kelemahannya akibat adanya tekanan lingkungan (garis keturunan patrilineal) yang dapat menghambat kepercayaan diri di kalangan perempuan dibandingkan laki-laki.
Setiawaty Oetama menyebutkan beberapa potensi yang bisa digunakan perempuan dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Di bidang industri kecil perempuan perlu membuat usaha kecil-kecilan dengan memperhatikan perkembangan zaman dan kebutuhan konsumen.
Pengembangan potensi yang dimiliki perempuan, menurut Dina Siagian – Lumban Tobing, perlu ditingkatkan ke teknologi yang lebih baik dengan memperhitungkan situasi dan kondisi dalam masyarakat, khususnya menyangkut situasi pasar dan arus informasi dari kota ke desa. :: HIDUP/mei1992
Sumber >> Hidup, No. 20, Tahun XLVI, 17 Mei 1992.