Mitos Perempuan Desa di Awal 1990an Abaikan Sumbangan Utuh Mereka
Peneliti sosiologi pedesaan di daerah Sumatera Utara tersebut menegaskan kemajuan teknologi telah menggeser peranan perempuan dalam berbagai sektor informal di desa. Hal itu nampak jelas dalam bidang pertanian. Akibat tergesernya tenaga kerja perempuan dalam sektor informal di desa-desa, perempuan seakan telah di takdirkan untuk menjadi penonton kemajuan teknologi pertanian. Kemajuan yang merenggut dominasi perannya selama ratusan tahun. Kenyataan ini memperlihatkan perubahan dalam teknologi pertanian yang tidak bisa di halang-halangi itu, yang segera merebak ke desa-desa paling terpencil sekali pun lebih bersifat maskulin, memberikan tempat kepada pria dan mendesak perempuan ke posisinya yang sangat marginal. Padahal, pertumbuhan angkatan kerja perempuan di pedesaan pada tahun-tahun mendatang tetap lebih tinggi daripada laki-laki. Data dari BPS menunjukkan tahun 1988-1995 angkatan kerja laki-laki di Sumatera Utara hanya meningkat 1.69 persen sementara angkatan kerja perempuan tumbuh hampir tiga kali lipat yakni 4.94 persen.
Tingginya angka pertumbuhan angkatan kerja perempuan di pedesaan merupakan suatu kenyataan yang menyedihkan bila melihat peluang mereka bekerja dalam sektor pertanian justru terdesak oleh teknologi pertanian. Angka pengangguran di pedesaan menunjukkan kecenderungan yang meningkat sangat dramatis. Tahun 1976 jumlah perempuan menganggur di pedesaan Indonesia hanya 1.1 persen, tetapi hanya dalam waktu empat tahun angka pengangguran itu meningkat lima kali lipat menjadi 5.54 persen. Pertumbuhan angka pengangguran perempuan di kota tidak setinggi di desa yang untuk kurun waktu yang sama (1976-1980) meningkat tidak sampai dua kali lipat. Bila dibandingkan dengan penganggur laki-laki, peningkatan penganggur perempuan sangat memprihatinkan. Pengangguran perempuan di desa dan kota meningkat dari 1.6 persen (1976) menjadi 6.2 persen (1980), sementara laki-laki hanya meningkat 2.7 persen menjadi 3.6 persen di tempat desa dan tahun yang sama.
Asal kerja
Pertumbuhan angkatan kerja perempuan yang tinggi di pedesaan, yang ternyata diikuti pertumbuhan angka pengangguran yang tinggi, memperlihatkan bahwa lapangan kerja sektor pertanian yang mendominasi desa, tidak lagi bisa menyerap kelebihan tenaga perempuan desa. Maka, banyak perempuan pergi mengadu nasib ke kota dengan harapan kemewahan hidup di kota akan menjanjikan kehidupan dan lapangan kerja bagi mereka. Tapi apa yang terjadi? Persaingan hidup di kota justru menggilas dan memperbudak kaum perempuan yang merantau ke kota.
Bergesernya nilai dan pandangan hidup pada diri perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan dan melangkah ke kota (arus urbanisasi) untuk memperoleh pekerjaan di pabrik-pabrik, menimbulkan dampak sosial yang cukup serius. Banyak perempuan desa ke kota karena kurang mendapat lowongan kerja di desa, dan bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang minim, bekerja siang dan malam. Beberapa perempuan desa yang bekerja sebagai buruh di kota mengakui hal itu. Mereka mengaku, karena malu tinggal di desa mereka pergi ke kota dengan harapan mendapat perkerjaan apa pun asal dapat memenuhi biaya hidup.
Banyaknya perempuan desa menbanjiri kota-kota merupakan suatu fenomena akhir-akhir ini. Seorang peserta yang enggan disebut namanya mengatakan, keadaannya tidak jauh berbeda dengan para pramuria kelab malam. “Saya harus berani mengambil keputusan hidup menjadi orang yang dipandang negatif oleh masyarakat. Saya hanya lulusan SMA, sedang lapangan pekerjaan lain tidak ada,” kilah perempuan Tapanuli itu. >>>