Menghargai Perempuan, Menghargai Perbedaan
Oleh Valentine Febriana
MASIH segar dalam benak kita, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa artis Cici Paramida dan Manohara Odelia Pinot beberapa waktu lalu, sontak menjadi isu hangat menyaingi isu-isu politik yang berkembang dewasa ini.
Tak terhitung jumlahnya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan. Ekploitasi terhadap perempuan tak hanya berupa kekerasan fisik.
Intimidasi, penyelewengan hak asasi, marginalisasi, dan segala hal yang menghambat gerak mereka selalu menjadi problem sosial yang tidak ada habisnya.
Perempuan sebagai gerbang peradaban acapkali menjadi korban kekuatan patriakhi. Pada beberapa hal, perempuan sering menjadi objek eksploitasi, baik dalam rumah tangga, kantor, pabrik, jalanan, dan lainnya. Di dalam realitas kehidupan sosial-kemasyarakatan, ataupun di beberapa media, perempuan juga kerap diperlakuan atau diberitakan negatif dan termarjinalkan.
Padahal, perempuan adalah ibu kita. Ibu yang harus diayomi, dihormati, disayangi, diletakkan pada sifat sewajarnya, juga ibu yang melahirkan kita sehingga tercipta sebuah peradaban. Apabila kita tidak bisa menghargai perempuan, bagaimana kita bisa menghargai ibu kita? Begitupula sebaliknya.
Mendiskreditkan dan memarjinalkan perempuan tidak ada bedanya dengan merusak sistem peradaban. Bahkan dalam ajaran agama samawi, kekerasan sangat ditentang, karena dogma agama bersumber pada nilai, etika, dan norma yang patut dijunjung tinggi.
Steoritifikasi
Steoritifikasi perempuan yang selalu mengalah dan tertindas seyogianya menjadi kekuatan untuk bertindak. Ketertindasan yang dialami perempuan, baik fisik maupun nonfisik, menjadi alasan utama keterbelakangan mereka dalam berbagai hal.
Marginalisasi hak perempuan seakan-akan menimbulkan kesan lama bernuansa rasisme. Meski emansipasi perempuan digalakkan di segala bidang kehidupan sosial, politik, dan budaya, peran kaum Hawa masih dianggap sebagai subaltern yang tidak memiliki agensi.
Maka, sebagai bentuk tangggung jawab dan solidaritas kemanusiaan, marilah kita bersama bergandeng tangan menuju kemerdekaan hakiki dengan menghargai keberadaan perempuan, baik dalam sistem politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama.
Gerakan feminisme yang menyuarakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme perlu digalakkan.
Menurut Friedan (1963), seorang feminisme liberal, perempuan dapat menaikkan posisinya dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual (misalnya pendidikan), diskusi rasional dengan kaum laki-laki khususnya suami, dan lain sebagainya.
Menghargai perempuan bukan berarti perempuan membutuhkan belas kasihan. Penghargaan dapat berupa memberikan kebebasan sewajarnya, tidak menganggap perempuan sebagai kelas kedua, tidak melakukan marjinalisasi atau kekerasan baik fisik / nonfisik, tidak melakukan pelecehan seksual, pemberlakuan sistem yang humanis, serta menempatkan perempuan sebagai partner yang baik.
Perempuan dan laki-laki merupakan makhluk Tuhan yang harus dihargai. Jenis kelamin telah menjadi takdir. Kesetaraan dapat dilihat dan nilai dari kapabilitas, kreatifitas, peran, kerja, dan aktifitas yang dimiliki.
Kesalahan Sistem
Diferensiasi feminisme dan maskulinitas tidak dapat dipandang sebagai jenis kelamin belaka, tapi yang lebih urgen adalah kapasitas yang dimiliki seseorang. Tidak peduli apakah ia perempuan, laki-laki, atau bahkan waria.
Perempuan bukan sekedar pelengkap. Ketika ia diposisikan sebagai pelengkap atau ban serep, tak jarang perlakuan buruk terhadap perempuan merajalela. Pada kasus traffiking, misalnya, perempuan dijadikan barang dagangan guna meraup keuntungan materi.
Menurut Direktur LBH-Apik Estu Rakhmi (2009), akar masalah kekerasan terhadap perempuan bukanlah laki-laki, melainkan sistem yang patriarkhis yang mendiskriminasi perempuan. Di sinilah peran sistem memberlakukan perempuan secara adil dan bertanggung jawab.
Sistem yang diperankan laki-laki (superioritas) maupun pada tataran pemerintahan belum mampu menakar keberpihakan terhadap perempuan secara proporsional.
Adanya sistem yang menjerat, misalnya, membuat ketergantungan perempuan kepada superioritas makin tinggi. Maka, menghargai perempuan seutuhnya adalah menghargai kehidupan dan peradaban kita sendiri. — Valentine Febriana, mahasiswi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dimuat Harian Umum Suara Merdeka, Jawa Tengah, 25 Juni 2009