MenegPP: Perempuan Indonesia Masih Tertinggal Dalam Mengatasi Diskriminasi
Judul asli:
Kartini dalam 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Tentulah akan menyedihkan, bila selama ini peringatan kelahiran Kartini cenderung dipersempit maknanya menjadi sebatas meningkatkan kecintaan pada busana nasional belaka. Akibatnya, peringatan Hari Kartini akan menjadi sebuah gambar hidup yang membosankan, menjadi peristiwa yang diulang-ulang tanpa disertai pemaknaan dan perenungan mendalam. Meskipun pameran busana sendiri merupakan suatu kegiatan budaya yang sangat berarti dan penting.
Buku rangkuman tulisan-tulisan Kartini Door Duisternis tot Lich yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane (1979) menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, senantiasa menjadi sumber bagi penulisan mengenai Kartini. RA Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan. Kartinilah yang membangun kesadaran orang-orang sezamannya agar kaum perempuan bersekolah, tidak hanya di sekolah rendah tapi juga ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan laki-laki. Kartini memelopori berdirinya Sekolah Gadis Jawa pertama di Hindia Belanda (1903) dengan kurikulum yang diciptakannya sendiri, sesuai kebutuhan perempuan Jawa saat itu. Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak bergantung kepada siapa pun termasuk suaminya. Dalam suasana feodal sekeliling Kartini, pikiran Kartini sangatlah maju dan progresif. Kartini sudah menegaskan emansipasi menjelang usianya 13 tahun, ketika ia harus meninggalkan bangku sekolah dan memasuki masa pingitan.
Bila mempelajari pikiran Kartini lebih mendalam, cita-citanya melampaui sekadar soal emansipasi dan pendidikan perempuan. Kartini ternyata adalah memperjuangkan pula peningkatan perekonomian masyarakat, menyangkut kepentingan rakyat secara luas. Kartini boleh dikatakan “seorang ekonom kerakyatan” ketika bicara tentang sulitnya pengrajin ukiran Jepara secara sosial-ekonomi berkembang karena tidak ada sistem uang-muka. Untuk itu, Kartini terjun langsung dan mengorganisasi, membantu pengembangan desain, bahkan mencarikan pasar sehingga lambat-laun ukiran Jepara menjadi sangat terkenal hingga kini.
Pengrajin emas, tenun, mebel juga dibantunya untuk berkembang, dengan bantuan pemikiran, sumber permodalan, pembukaan pasar, dan seterusnya. Kemajuan ukiran Jepara ke seluruh dunia saat ini tak lepas dari perjuangan Kartini.
Kartini juga menyandang predikat “wartawati perempuan” pertama di Hindia Belanda, menjadi kontributor majalah Bijdrage TLV, di mana sejak tahun 1898 mengirimkan karangannya dan dimuat. Kartini juga menulis untuk majalah De Echo, dengan nama samaran “Tiga Saudara”, yang mendapat pujian dari De Locomotif (koran terbesar masa itu).
Kartini tidak pernah membatasi minatnya dan tidak pernah mau dibatasi oleh siapa pun. Sebagai perempuan di zaman itu, Kartini sudah mampu dan berani menunjukkan minatnya yang luas. Beliau berbicara tentang politik ketika mengkritik keras kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mengumpulkan uang melalui penjualan candu. Jauh sebelum konsep keluarga berencana dilahirkan, pada tahun 1901 Kartini sudah berpendirian tegas agar mengatur jumlah anaknya sesuai kemampuannya untuk dapat menjamin pendidikan dan kehidupannya yang layak.
Kartini juga seorang budayawan, yang dengan amat puitis dapat menggambarkan keindahan gending Ginonjing, yang mampu membawa jiwa melayang tinggi ke awan dan membawa ke lembah yang gelap dan jurang yang dalam. >> lanjut