Mari Pangestu, Pencetus and Arsitek Ekonomi Kreatif Indonesia
DEWI+KOMPAS – Setelah selesai menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) periode 2011-2014, Prof. Dr. Mari Elka Pangestu tetap mengambil peran penting dalam proses penciptaan peta dan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia. Ia kembali menjadi bagian dari lembaga think tank Central for Strategic and International Studies (CSIS) yang dulu menjadi tempatnya mencurahkan tenaga dan pikiran, sebelum masuk ke Pemerintahan dan menjabat sebagai Menteri Perdagangan selama hampir dua periode (2004-2011) dan kemudian Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Mari adalah puteri ekonom terkemuka Indonesia, Jusuf Pang Lay Kim yang juga dikenal dengan nama J. E. Pangestu. Wawasannya yang luas dan pengetahuannya yang mendalam di bidang perekonomian menjadikan dirinya orang pertama yang memperkenalkan pengertian Ekonomi Kreatif ke wacana publik Indonesia pada awal tahun 2000an, saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang Pertama Angkat Kuliner Sebagai Sub-sektor
Ketika ia ditugaskan memimpin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, saat itu juga secara resmi Ekonomi Kreatif dimaklumatkan sebagai kekuatan baru perekonomian Indonesia. Tanpa menunggu waktu lama, Mari segera menetapkan 16 sub-sektor Ekonomi Kreatif Indonesia, dan ialah yang pertama memasukkan “Kuliner” sebagai salah satu sub-sektor industri kreatif.
Bersama timnya, ia dengan tekun melakukan berbagai diskusi terpumpun yang cukup intensif dengan pelaku-pelaku industri kreatif dan bidang-bidang terkait. Dari penjajakan ini, Mari mencatat dan memetakan kembali setiap sub-sektor secara baik untuk mengukur potensi ekonomi kreatif yang dimiliki bangsa Indonesia guna dapat dikembangkan dan diperbaiki di mana dibutuhkan untuk memperkuatnya.
Perjuangkan Keringanan Pajak Bagi Donatur Seniman
Ketika menjabat Menteri Parekraf, dibantu oleh Koalisi Seni Indonesia, Mari gencar melakukan sosialisasi tentang Peraturan Pelaksanaan (PP) No.93/2010 mengenai insentif PPh yang akan memberikan keringanan pajak hingga mencapai 25% dari nilai yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan untuk membantu seniman-seniman berkarya. Hal ini diharapkan bisa menjadi penawaran menarik dari para penggiat seni kepada calon penyumbang, bahwa sumbangan yang diberikan oleh donatur kepada kegiatan seni budaya sesungguhnya mempunyai nilai positif secara ekonomi, yaitu adanya pengurangan pajak atau insentif pajak. Ia mengupayakan kerjasama dengan Departemen Keuangan Republik Indonesia untuk memberi insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang memberi dukungan bagi program-program seni.
Pada 14 Oktober 2014, Mari Pangestu meluncurkan Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015–2025 dalam buku berjudul: Ekonomi Kreatif: Daya Saing Baru Indonesia Menuju 2025. Menjelang akhir masa jabatannya sebagai penggerak Ekonomi Kreatif Indonesia di kabinet saat itu, Mari tetap optimis dan semangat untuk berjuang bersama Ekonomi Kreatif Indonesia. Menurutnya, bukan lagi menteri bukan berarti tidak bisa lagi berkontribusi. Ia menyinggung istilah “Quad Helix” di mana inovasi atau perubahan itu dapat muncul atas peran empat elemen, yaitu Pemerintah, Akademisi, Pengusaha dan Komunitas. Dia menyatakan yakin tetap bisa berkontribusi melalui helix-helix di luar Pemerintah.
Ekonomi Kreatif Sebagai Kekuatan Baru Ekonomi Indonesia
Ekonomi kreatif merupakan kekuatan baru ekonomi Indonesia untuk menjawab tantangan globalisasi dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Mari Elka Pangestu dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ekonomi Internasional, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, di Balai Sidang UI, Depok, Sabtu (8/8/2015).
Dalam pidatonya yang berjudul “Globalisasi, Ekonomi Baru, dan Pembangunan Berkelanjutan“, Mari mengemukakan, mengandalkan modal dan teknologi tidak lagi cukup untuk mempertahankan daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pendekatan ilmu ekonomi, dibutuhkan juga kreativitas, ide kreatif, dan inovasi untuk menciptakan nilai tambah.
Mengandalkan modal dan teknologi tidak lagi cukup untuk mempertahankan daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pendekatan ilmu ekonomi, dibutuhkan juga kreativitas, ide kreatif, dan inovasi untuk menciptakan nilai tambah.
“Indonesia membutuhkan diversifikasi sumber kekuatan baru sebagai sumber pembangunan ekonomi dengan tetap mempertahankan konsep pembangunan berkelanjutan,” kata Mari.
Tak hanya itu. Menteri Perdagangan periode 2004-2011 dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2011-2014 ini menyampaikan, bahwa warisan budaya dan kearifan lokal serta teknologi yang ada juga dapat menjadi modal utama menghadapi tantangan globalisasi. Sebagai contoh bentuk ekonomi kreatif dalam e-commerce yaitu munculnya platform penyedia jasa seperti Go-jek.
“Platform Go-jek merupakan suatu keniscayaan dalam meningkatkan produktivitas dengan menguntungkan pengojeknya. Sekarang yang dapat dilakukan adalah bagaimana kita memberdayakan pengojek agar turut serta bergabung dalam platform sejenis. Sementara itu, untuk mengatasi ojek konvensional, perlu penyesuaian pemain lama dengan pemain baru dengan adil,” kata Mari.
Pemerintah Harus Beri Komitmen Politis yang Konsisten
Dari sisi Pemerintah, Mari melihat perlu adanya komitmen politis yang konsisten untuk menciptakan iklim yang kondusif. Mari memberikan contoh pemerintah Korea dan Inggris yang telah berhasil membuat industri kreatifnya terkenal hingga mendunia.
“Pemerintah bisa berperan untuk meningkatkan apresiasi, pengarsipan serta jaminan hak intelektual (HAKI). Ruang publik yang penting seperti gedung kesenian, galeri dan ruang komunitas kreatif harus diciptakan,” ujar putri dari ekonom kenamaan Dr. Pang Lay Kim ini.
Mari mengatakan, dengan terjaminnya hak intelektual (HAKI) serta ide kreatif, ide dan inovasi dapat terus mengalir dari pencetus ide. Dengan begitu, pemilik ide kreatif bisa memperoleh manfaat ekonomi, keuntungan yang layak dari kreativitas, serta menjadi stimulus untuk ide baru. Sesungguhnya inilah esensi dari ekonomi kreatif.
Sumber