Maharani Caroline Salindeho, Pengacara Kaum Kebanyakan
[HARIANKOMENTAR.COM] – Enerjik dan lantang menyuarakan ‘pembelaan hukum’ terhadap rakyat kebanyakan. Begitulah keseharian Maharani Caroline Salindeho SH, wanita yang kini dipercayakan sebagai pelaksana tugas Direktur Eksekutif YLBH Manado, Sulawesi Utara.
Karena cintanya pada pembelaan hak-hak hukum kaum kebanyakan, Rani (begitu panggilan akrabnya), sampai rela sekian tahun tak mendapat ‘bayaran setimpal’ atas kerja kerasnya. Kalau sekarang dia boleh sedikit berbangga karena di dadanya melekat predikat pemimpin sebuah lembaga bantuan hukum, sebelumnya, selama lebih enam tahun, dia justru ‘malang-melintang’ dengan sejumlah LSM menentang segala sesuatu yang dipandang merupakan ‘penindasan’ terhadap kepentingan rakyat. Dan itu, dinikmatinya meski tanpa memperoleh imbalan.
Contohnya saat Rina mendampingi sembilan petani Sulawesi Tenggara yang didakwa melakukan perambahan hutan di kawasan Kontu, di Pulau Muna, yang dinyatakan sebagai hutan lindung. Demi ‘profesionalisme’ dan kepeduliannya untuk membela para petani, dia nekat menetap di Pulau Muna selama delapan bulan, sepanjang masa-masa persidangan kasus itu. Selama itu pula, anak kedua dari dua bersaudara buah cinta pasangan Erasmus Salindeho dan Weltke Jacobus ini, tak lantas menikmati fasilitas hotel sebagai bagian kompensasi atas jasanya.
Wanita kelahiran Manado, 15 September 1975 ini justru rela tinggal bersama petani yang dibelanya tanpa gaji. “Padahal siapa pun tahu betapa biaya hidup di Pulau Muna sangat mahal. Untuk air minum Aqua isi ulang yang harganya paling mahal Rp 9.000 per galon (botol besar) di daerah lain, seperti Manado, di Pulau Muna bernilai Rp 30.000,” kenangnya. Toch, jebolan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado, tahun 1999 ini tetap bersemangat. Sebuah sikap yang menurutnya, mungkin menurun dari ayahnya yang mantan hakim pengadilan negeri di beberapa daerah seperti, PN Manado, Tondano Kotamobagu (Sulut) dan PN Temanggung. Sebuah semangat yang sebelumnya justru sempat merisaukan ibunya, karena berharap usai Rina menyelesaikan studinya dapat memperoleh pekerjaan yang akan memberinya penghasilan cukup.
Ditertawakan Ibunda Sendiri
“Ya, memang namanya juga membela kaum kebanyakan, seperti petani dan nelayan, mana mungkin kita mencari uang dari situ,” tukas Rina. Baginya, kepuasan terbesar dalam kehidupan adalah ketika upayanya membela kebenaran yang diyakini membuahkan hasil. “Soal upah, itu entah nomor keberapa. Kepuasan saya adalah ketika kita mampu membantu orang lain,” tandasnya. Itu sebabnya, Rina juga hanya tersenyum ketika beberapa waktu lalu dia laksana ‘ditertawakan’ ibunya sendiri. Betapa tidak, ketika itu, sekitar tahun 2000, dia melakukan pembelaan atas kasus yang menimpa sejumlah nelayan dan petani di Desa Rap Rap, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara yang ‘dikriminalisasi’ (versi Rina, red.) karena mengais rejeki di kawasan Taman Nasional Laut Bunaken.
Ketika itu, Rina mengadvokasi beberapa nelayan bersama beberapa LSM seperti Yayasan Kelola dan Suara Parampuang. Suatu waktu, saat pulang sedari mengikuti persidangan, beberapa nelayan dan petani yang dibelanya memberinya ‘hadiah’ berupa buah pisang dari hasil kebunnya. Saat pulang ke rumah dan dilihat ibunya, spontan sang ibunda berkata, “Kamu itu, waktu kuliah tidak dibayar dengan pisang,” kisahnya sambil tertawa lepas.
“Tapi belakangan, orang tua jadi sangat mendukung,” tukas wanita berdarah Sangihe (Sulawesi Utara) ini. Memang sejak masih kuliah di bangku Fakultas Hukum, agresivitas Rina dalam menekuni ‘dunianya’ terbilang menonjol. Rina sudah aktif dalam sejumlah aksi unjuk rasa yang melibatkan mahasiswa dalam membela rakyat. Sifat kritisnya terhadap ‘sesuatu yang dianggap menyimpang dari kewajaran’ juga sudah terlihat.
Protes Syarat “Bayar” Kepada Dosen Penguji
Saat menghadapi ujian akhir menjelang sarjana (S1), Rina dan rekan-rekannya diminta untuk menyerahkan uang Rp 10.000 kepada dosen penguji yang memberi asistensi sebelum membubuhkan tanda tangan. Karena dinilai tak jelas, Rina pun protes. Tapi imbasnya, Rina nyaris tak diperkenankan mengikuti ujian akhir. “Ya, itu pengalaman nyata dan memang sempat diketahui banyak orang. Soalnya itu rupanya nyaris sudah mentradisi. Uang Rp 10.000 sebenarnya kan bukan sesuatu yang terlalu mahal. Tapi karena itu tak jelas latar belakangnya hingga menjadi keharusan, ya, waktu itu saya protes,” kenang Rina lagi.
Selepas meraih gelar sarjana tahun 1999, Rina pun melanglangbuana kemana-mana, melakukan pembelaan dan pendampingan pada kasus yang melibatkan kaum petani dan warga kebanyakan. Kiprahnya itu dila kukan bersama sejumlah LSM. Bahkan tahun 2004, Rina sempat sampai ke Jakarta dan bergabung dengan LBH Konsumen. Selama setahun di instutusi itu, Rina terlibat aktif termasuk saat LBH Konsumen melakukan class action terhadap pemerintah karena menaikkan harga BBM.
Dari sana, kemudian Rina terbang ke Sulawesi Tenggara membela sejumlah petani di Kontu, Pulau Mina. Sementara itu, sejak Agustus 2005, YLBH Manado justru mengalami masa-masa vakum alias mati suri. Karenanya, ketika itu lembaga ini sudah direncanakan untuk dibekukan. Namun beberapa aktivisnya kemudian memberikan rekomendasi ke YLBH Pusat (Jakarta) untuk merekrut Rina. Lewat investigasi dan evaluasi, akhirnya 16 Februari 2007, Rina dilantik menjadi pelaksana tugas Direktur Eksekutif YLBH Manado. Pelantikan Rina dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 006/SKEP/YLBHI/II/2007 yang ditandatangani Ketua, A Patra M Zen SH LLM dan Wakil Ketua I, Fenta Peturun SSos.
“Setelah LBH Manado bangkit kembali, ternyata antusiasme masyarakat yang datang meminta pembelaan hukum sangat besar,” kata wanita jebolan SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 3 Manado ini. Buktinya, sejak dilantik sampai awal Maret 2007 ini. YLBHI Manado sedang menangani tak kurang dari 17 kasus. Padahal, lembaga ini hanya diawaki 6 orang, dua di antaranya menangani administrasi dan office boy. Kasus-kasus itu antara lain, pembelaan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) yang belakangan ramai ‘disingkirkan’ dari pusat-pusat keramaian di Kota Manado. “Mereka datang meminta kita (LBH Manado, red.) untuk melakukan class action terhadap Pemerintah Kota Manado karena melakukan penggusuran atas mereka,” kata Rina. Juga kasus, jaringan listrik tegangan tinggi (Sutet) yang dipersoalkan masyarakat Desa Kaneyan, Kabupaten Minahasa Selatan, Propinsi Sulawesi Utara.
“Tampaknya, tak sedikit masyarakat yang merasa hak-hak hukumnya dipinggirkan. Dan itulah yang menjadi interest kita,” tukasnya. “Memang, bagi saya, ilmu yang didapat di bangku sekolah harus mampu kita aplikasikan dan persembahkan kembali bagi rakyat banyak,” tambah dia.
(sumber: landywowor, hariankomentar.com, 26 April 2007)