Lulut Sri Yuliani Tumbuhkan Batik Bakau
Menolong Perempuan Keluar dari Kemiskinan
Selama ini, Lulut memang lebih fokus pada pemberdayaan perempuan dan keluarga miskin yang ingin maju. Ia juga menerima karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), tapi ingin belajar dan berusaha. “Kami memberikan pengetahuan untuk membangun usaha tanpa modal dan UKM mandiri berbasis lingkungan,” imbuhnya.
Pelatihannya ini tak hanya diberikan untuk masyarakat miskin di sekitar Surabaya. Lulut melakukan hal yang sama di seluruh Indonesia, seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatra Utara dan Aceh.
Di masing-masing daerah itu, dia menciptakan produk unggulan yang sesuai dengan potensi budaya setempat. Baik itu berupa kerajinan atau produk makanan serta minuman.
Misalnya di Kalimantan, dia menggunakan nipah sebagai bahan baku produk makanan. “Sebelumnya, kami melakukan survei budaya dan potensi sekitar terlebih dahulu, baru membuat resep unggulan, praktek dan buat olahannya,” kata dia.
Sejak tahun 2007 hingga kini, pemberdayaan perempuan dan lingkungan yang dilakukan Lulut sudah membuahkan hasil. Buktinya, pendapatan masyarakat Rungkut meningkat. Selain itu, Kelurahan Kedung Baruk menjadi kampung unggulan dan percontohan.
Tak hanya batik, Kedung Baruk pun memiliki beberapa olahan yang lebih berkualitas dengan bahan baku mangrove. Sejak 2009, Lulut mengembangkan usaha tempe. “Tempe dari sini lebih gurih dan lebih tahan lama dari pada tempe biasa,” ujar perempuan 45 tahun ini.
Usaha pembuatan sirup dari mangrove dimulai sejak tahun 2010. Dari sisi kesehatan, Lulut juga memproduksi rempah-rempah yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan sakit mag, dan antiradang.
Bangkit Dari Kelumpuhan Tubuh
Lulut Sri Yuliani tadinya seorang guru. Lulusan Sastra Jawa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya–sekarang Universitas Negeri Surabaya–ini sejak 1979 mengabdikan diri sebagai pengajar di sejumlah sekolah. Lulut bahkan pernah menjabat kepala sekolah di SMK Panglima Sudirman dan SMPK Prapanca 2 Surabaya.
Pada 1997, ketika krisis moneter menyerang Indonesia dan muncul gelombang reformasi politik, ibu satu anak ini pun dilanda krisis hidup yang luar biasa. Tubuhnya lumpuh. Dokter memvonis bahwa durasi hidup perempuan arek Surabaya ini tinggal satu tahun. Ini karena aliran darahnya tak normal. “Pembuluh darah saya pecah,” kenang Lulut Sri Yuliani.