Lulut Sri Yuliani Tumbuhkan Batik Bakau
Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk, terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.
Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.
Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif sawunggaling dan suroboyo.
Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis tanaman bakau (mangrove).
Warna-warna Alami Datang Dari Limbah
Selama ini, tanaman bakau yang terdapat di kawasan Rungkut menjadi salah satu bahan baku bagi beragam usaha kecil yang ada di Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Bakau, antara lain, digunakan sebagai ragi dan pembungkus tempe, bahan pembuat sirup, dan pewarna batik.
Pohon bakau memang tidak langsung memproduksi pewarna batik, melainkan dari limbah usaha kecil yang mengolah tanaman ini. Warna-warna yang dihasilkan limbah bakau antara lain hitam, coklat, merah, biru, ungu dan hijau.
Beragam warna inilah yang kemudian menginspirasi Lulut Sri Yuliani untuk membuat batik mangrove (bakau) pada tahun 2007. Ia pun menyematkan nama Batik Seru pada batik mangrove buatannya.
Baru dua tahun kemudian, wanita yang pernah menjadi pengajar ini mulai mensosialisasikan batik mangrove di Kecamatan Rungkut. Ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya turut serta membatik dengan menggunakan pewarna alami ini.
Ada sekitar 94 orang yang tergabung dalam 25 kelompok pembatik di Kecamatan Rungkut. Mereka mengerjakan batik ini di rumah masing-masing, dan pewarnaan berpusat di Wisma Kedung Asem Indah.