Latifah Siregar Tuntun Masyarakat Adat Papua Di Rimba Hukum

latifah_02-horz1

Ia bukan anggota suku apa pun di Papua, tidak mengerti bahasa-bahasa mereka, beda budaya, akan tetapi ia adalah orang pertama yang dipegang tangannya oleh masyarakat adat Papua untuk menuntun mereka jika ada persengketaan tanah adat. Latifah Anum Siregar SH adalah seorang pengacara yang di mata internasional kini lebih dikenal sebagai seorang pembela hak-hak asasi manusia masyarakat adat Papua. Jasanya yang terbesar adalah menggalang upaya untuk mengidentifikasi  hukum, tata-istiadat serta asas-asas yang secara tradisi digunakan oleh masyarakat-masyarakat adat di Papua untuk menyelesaikan sengketa tanah adat. Ia berhasil mengartikulasikan tradisi-tradisi ini ke dalam suatu bentuk tatanan hukum adat tertulis yang bisa digunakan oleh masyarakat adat Papua ketika bernegosiasi dengan pihak Pemerintah atau para pendatang dalam mencari penyelesaian damai atas sengketa-sengketa tanah adat.

Dengan menjembatani hukum-hukum adat Papua dan hukum formal di wilayah juriprudensi Republik Indonesia, Latifah Anum Siregar SH membuka akses kepada masyarakat-masyarakat adat Papua untuk mendapat kesempatan setara dalam keadilan sekaligus menegaskan hak-hak asasi manusia mereka. Keterpencilan banyak masyarakat adat berakibat terabaikannya kepentingan mereka dalam kebijakan-kebijakan negara sehingga seringkali terpojok ke posisi yang kalah dalam suatu persengketaan hukum yang berkenaan dengan warisan adat mereka. Dengan menggunakan pijakan hak-hak asasi manusia yang universal, Anum Latifah Siregar SH dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Aliansi Demokrasi Papua [ALDP] menuntun masyarakat-masyarakat adat Papua mencari keadilan di rimba hukum yang tidak memberi jalan tapak bagi mereka.

Menurut Latifah, pelanggaran HAM ekonomi, sosial, dan budaya di Papua senantiasa berlangsung tanpa ada tindakan untuk menghentikannya.  “Sistem nilai dan simbol budaya lokal teralienasi dengan cepat, sistematis, dan terus-menerus. Akibatnya, rakyat mengalami disorientasi nilai dan lokasi,” katanya kepada koran Kompas.

Lahir tanggal 26 April 1968 di Jayapura, Latifah memilih dunia aktivis sejak masih mahasiswa, ketika gabung dengan Pusat Peran Serta Masyarakat pada tahun 1989. Di awal tahun 1990an ia menjadi perempuan pertama yang duduk sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Islam [HMI] Papua sebelum pada tahun 2000 bergabung dengan ALDP dan menjadi ketuanya. “Keluarga saya sangat demokratis, yang penting tanggungjawab pada pilihan yang masing-masing buat,” katanya kepada Bintang Papua di tahun 2007. “Bergabungnya saya ke LSM diinspirasikan oleh Ibu,” tuturnya. Ia menyadari dirinya telah memilih dunia yang berisiko tinggi. Keselamatannya sering dibayangi bahaya, bahkan berulang kali nyawanya diancam dan terjadi pengrusakan properti oleh oknum-oknum yang tidak terlacak pihak berwajib.

Diakui Secara Internasional Sebagai Pejuang HAM

2007wpm_holdinghands_lgKarena kesungguhannya menjatikan diri sebagai seorang pembela hak-hak asasi manusia bagi mereka yang terpinggirkan dan terabaikan di Papua, pada tahun 2008 ia menjadi salah satu dari lima tokoh pekerja HAM yang dicalonkan untuk meraih Front Line Award For Human Rights Defenders At Risk, suatu penghargaan internasional yang setiap tahun diberikan kepada seorang tauladan dalam perjuangan membela hak-hak asasi manusia di dunia. Akhirnya penghargaan ini dipersembahkan kepada Anwar Al-Bunni dari Suriah yang dijebloskan ke penjara oleh penguasa karena kegiatannya sebagai pengacara pembela HAM di negara tersebut.

Tahun sebelumnya, Latifah juga mendapat perhatian internasional ketika ia terpilih menjadi satu dari empat tokoh yang diberi gelar “PeaceMaker” oleh Joan B. Kroc Institute for Peace and Justice, divisi dari Joan B. Kroc School of Peace Studies di Universitas San Diego, California, AS. Para perempuan pekerja HAM yang berada di garis terdepan dalam menghadang kekerasan dan membangun perdamaian seringkali tidak memiliki waktu, ruang dan kadang juga pengetahuan yang memadai untuk menceritakan dan mendokumentasikan pengamatan, pengalaman serta penghayatan mereka di lapangan. Women PeaceMakers adalah program selektif untuk memfasilitasi para perempuan pembela HAM menuangkan cerita mereka, mendokumentasikannya dan menyebarkannya. Setiap tahun dipilih empat orang dari berbagai negara di dunia untuk mengikuti program selama delapan minggu di San Diego. Karena pada tahun 2007 kebetulan lembaga ini memperingati ulangtahunnya yang kelima, cerita-cerita para PeaceMakers yang telah terkumpul diterbitkan dalam laporan berjudul “Is Peace Possible?” dan cerita Latifah hadir di situ [format PDF bisa diunduh di bawah ini – red].

Dalam tuturannya di terbitan “Is Peace Possible?”, Latifah menulis: “Some people raise questions why I, as a non-Papuan and Muslim, help Papuans who are Christians. This question indicates that there is still a lack of understanding among some people that the struggle for justice and truth and nonviolence is our responsibility regardless of religion, ethnicity and culture.” [“Ada orang-orang yang bertanya mengapa saya, sebagai orang yang bukan asli Papua dan seorang Muslimah, menolong orang-orang Papua yang Nasrani. Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa masih ada orang yang tidak paham bahwa perjuangan membela keadilan, kebenaran dan non-kekerasan adalah kewajiban kita semua, tanpa melihat perbedaan agama, suku dan budaya.”].

unduh “Is Peace Possible?”
>> pdf


dijalin dari sumber-sumber:

Bintang Papua <http://bintang-papua.blogspot.com/2007/12/latifah-anum-siregar-sh-perempuan.html>
Front Line: Protection of Human Rights Defenders <http://www.frontlinedefenders.org/node/1403>
Joan B. Kroc Institute for Peace and Justice <http://peace.sandiego.edu/programs/women.html

Leave a Reply