Lailatin Afifah, Pengusaha Opak yang Kini Kepak Sayap
Manyabet predikat juara nasional Citi Microenterpreneurship Award 2008 tak pernah terbayangkan Lailatin Afifah. Pengusaha opak dan makanan dari Dusun Sarimulyo, Kelurahan Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, Wonosobo, itu memulai usahanya bermodal Rp 85 ribu.
[JAWAPOS] ~ Ruang tamu rumah sederhana di RT 3 RW X Kalibeber itu penuh plastik-plastik berisi makanan ringan yang siap dikepak. Lailatin bersama sang suami, Mahrur, tampak sibuk menata bungkus-bungkus opak mentah dan makanan combro khas Wonosobo itu.
Pasangan suami-istri itu kompak bekerja. Maklum saja, berjualan makanan khas adalah usaha utama menghidupi keluarga.
Piagam penghargaan Citi Microenterpreneurship Award 2008 dipajang di dinding berdekatan dengan foto Lailatin dan Soni Umayah (Ketua UPK-PPK Mojotengah). Dalam foto, ia berpose dengan Ketua UKM-Center FE UI Dr Ir Nining I. Soesilo, MA. Sementara di atas etalase kecil dipajang piala kejuaraan CMA yang terbuat dari batu.
Lailatin tampak bangga dengan kemenangan yang diraih. Ibu tiga orang anak ini tidak membayangkan akan bertatap muka langsung dengan Menkokesra Aburizal Bakrie dan sejumlah pejabat penting lainnya.
“Saya ini orang desa tidak pernah membayangkan bisa bertemu dengan menteri apalagi di hotel berbintang,”katanya lugas ketika ditemui di rumahnya siang kemarin.
Lailatin yang mengelola usaha makanan ringan berbendera UD Afifah ini mengikuti CMA Award mewakili lembaga keuangan mikro UPK Mojotengah, peminjam modal usahanya.
Lomba terbuka bagi usaha mikro di seluruh provinsi di Indonesia, utamanya dari kalangan bawah. Maksimum omzet per tahun Rp 50 juta, menjadi bisnis utama dan tidak ada afiliasi dengan usaha besar. Selain itu mendapat rekomendasi lembaga keuangan mikro yang meminjamkan dananya.
Lailatin dinobatkan sebagai juara 1 untuk kategori manufaktur, makanan olahan, minuman, pertanian dan berhak menerima hadiah Rp 11 juta. Kategori yang dilombakan lainnya adalah kerajinan, perdagangan, jasa/kesenian.
Selama 4 hari (12-15 November 2008) di Jakarta bersama 24 finalis dari seluruh Indonesia yang telah diseleksi dari ratusan peserta. “Uang hadiah untuk tambah modal usaha,” katanya bangga.
Ia lantas menceritakan pengalamannya presentasi di depan tim juri yang notabene orang-orang cukup ternama. Antara lain, Dewi Motik (IWAPI), Suraswahyudi (Perbarindo), Sani B. Hermawan (Lembaga Psikologi Daya Insani), Harya Sumarta (Gema PKMI), dan M. Syahran Lubis (Bisnis Indonesia).
Juga Yunita Resmi Sari (Bank Indonesia) dan Nining I. Soesilo (UKM Center). Rasa grogi menyergapnya. Sebab selama ini belum pernah berbicara di depan umum apalagi menggunakan mikrofon.
“Rasanya gemetaran tidak karu-karuan. Apalagi harus pakai mik (pengeras suara) lidah jadi kelu. Untunglah, giliran saya bicara, miknya ngadat. Jadi saya ngomong tanpa mik. Tapi justru lancar. Sampai saya juga heran sendiri,”katanya seraya mengatakan harus menjelaskan soal omzet bulanan, jumlah karyawan dan manajemen usaha kepada para juri tersebut.
“Karena bicara saya lancar, juri heran lalu bertanya, saya lulusan (sekolah) mana. Saya jawab lulusan S1 alias SD,” katanya sambil tertawa.
Lailatin memang hanya lulus SD. Ia tak memiliki keterampilan memadai, apalagi modal usaha yang besar. Namun ia punya kemauan dan keberanian mengambil risiko serta semangat pantang menyerah. Ini modal penting bagi seorang pengusaha.
Itu dibuktikan dengan kemitraan yang dijalin dengan pengusaha di Bali beberapa bulan setelah usahanya dimulai. Kini per bulan ia mengirimkan produk opak dan combro sebanyak 1000 bungkus ke Pulai Dewata itu.
Keberanian menjalin usahanya sempat disangsikan kawan-kawannya. Sebab Lailatin sama sekali belum mengenal pengusaha tersebut, terlebih lagi tidak menggunakan uang pangkal.
“Saya bersedia mengirimkan barang ke Bali, meski belum mengenal orangnya. Sebab untuk maju harus berani ambil risiko. Waktu itu banyak yang bilang saya terlalu berani, bagaimana nanti kalau dibohongi. Alhamdulillah beberapa bulan kemudian uang ditransfer,” urainya.
Usaha yang ditekuni Lailatin bermodal hanya Rp 85 ribu. Tuntutan perutlah yang menyebabkan ia memulai usaha. Bermula ketika dirinya diminta mengambil opak pesanan saudaranya di rumah tetangga. Karena dikira tetangga itu tidak membuat opak, ia membeli ke tetangga yang lain. Ternyata opak sudah dibuatkan sebanyak 15 kilogram dengan harga Rp 85 ribu. Padahal dia sudah kadung membeli pada yang lain.
“Karena tak ingin mengecewakan, saya beli opaknya dengan uang pemberian ibu. Saya sendiri tidak punya uang, suami kerja serabutan,” lanjutnya.
Lima belas kilogram opak itu jumlahnya sangat banyak. Oleh suami dan ibunya, opak dijual di warung-warung dengan dibungkus plastik. Alhasil terjual habis bahkan kulakan lagi ke pengrajin. Satu kuintal opak, ia menerima labanya bersih waktu itu Rp 55 ribu. “Untuk modal usaha terpaksa jual televisi laku Rp 600 ribu. Semalaman anak saya nangis tidak bisa nonton TV,” tuturnya.
Uang itu untuk membuat sablon kemasan dan mendaftar Dinas Kesehatan. Dengan kemasan yang lebih baik, produknya tembus ke toko-toko modern. Nasib baik berpihak padanya. Ia menerima dana hibah dari pemerintah sebesar Rp 2 juta untuk tambah modal. Selain itu, ia rajin mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Disperindagkop.
Dua lembaga yang sangat berperan membinanya adalah Disperindagkop dan UPK Mojotengah. Kemudian ibu Rafiqi Ahmad (11), Farhan (alm) dan Fahri Khoir (5) ini memberanikan diri meminjam uang ke UPK Mojotengah sebanyak Rp 6 juta.
Lantaran usahanya lancar, angsuran tiap bulan pun tidak telat. Kedua kalinya, UPK Mojotengah meminjamkan Rp 6 juta. “Saya ingin produk saya tembus sampai ke kota-kota lain. Tidak hanya Wonosobo dan Bali.”
Terpisah, Soni Umayah mengatakan, UD Afifiah yang dikelola Lailatin dan suaminya berprospek bagus. “Pengembangan produknya inovatif. Mulai dari opak, wajik kentang, jipang emping, combro. Kalau biasanya kentang hanya dibuat keripik, dia bisa bikin wajik.” Itulah salah satu poin kenapa Lailatin mewakili UPK Mojotengah dalam lomba CMA Award. :: (LIS RETNO, Wonosobo)