Komnas Perempuan: 557 Pejabat Publik Pelaku KDRT
Kamis, 08 Maret 2007
Kapanlagi.com – Komisi Nasional (Komnas) Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang 2006, dilakukan oleh pejabat publik dan aparat negara.
“Sebanyak 557 pejabat publik dan aparat negara itu melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” kata Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana, di Jakarta, Rabu.
Data tersebut merupakan catatan tahunan terhadap perempuan itu merupakan upaya keenam Komnas Perempuan mengumpulkan data dari 258 lembaga mitra yang menangani kasus tersebut di tanah air.
Ia mengatakan pejabat dan aparat negara yang melakukan kekerasan itu, seperti, pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 391 kasus KDRT, guru 53 kasus, anggota DPR/DPRD tujuh kasus, dan TNI/Polri 106 kasus.
Disebutkan, bentuk KDRT yang dilakukan oleh pejabat publik dan aparat negara itu, seperti, penganiayaan terhadap istri termasuk penembakkan, dan eksploitasi seksual dalam bentuk janji untuk mengawini dalam memperoleh layanan seksual.
“Selain itu, terdapat juga 22 kasus kekerasan yang dilakukan oleh kapasitas aparat negara dan penegak hukum, dengan melakukan kekerasan dalam proses peradilan, yaitu, sejak penangkapan, penahanan dan persidangan,” katanya.
Menurut dia, secara keseluruhan untuk kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang 2006 mencapai 22.512 kasus , dan kasus terbanyak adalah KDRT sebanyak 16.709 kasus atau 76 % dari keseluruhan kasus KTP, disusul dengan kekerasan di ranah komunitas sebanyak 5.240 kasus atau 23 %, dan 43 kasus dilakukan di ranah negara.
Dalam kasus KDRT, bentuk kekerasan yang terbanyak ditangani, adalah, penelantaran ekonomi yang akhirnya ditangani pengadilan agama.
“Sedangkan DKI Jakarta sendiri menempati urutan pertama kasus KTP sebanyak 7.020 kasus, disusul oleh Jawa Tengah sebanyak 4.878 kasus, Jawa Timur 1.886 kasus, dan Sumatera sebanyak 1.599 kasus,” katanya.
Disamping itu, ia juga mengatakan pengungsi perempuan akibat konflik bersenjata dan bencana, tetap berhadapan dengan sejumlah persoalan kekerasan yang timbul, akibat pola penanganan yang tidak peka terhadap gender, dan kebutuhan khusus perempuan pengungsi.
Pada 2006, Komnas Perempuan mencatat terdapat sembilan kasus kekerasan yang dialami perempuan pengungsi di Aceh dan di komunitas Ahmadiyah. Dengan pula halnya dengan praktik “kawin Cina Buta” di barak pengungsian di Aceh, yang melanggengkan kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Selain itu, pada 2006, tercatat juga sebanyak 1.259 buruh migran Indonesia, yang kebanyakan perempuan, mengalami berbagai bentuk pelanggaran, seperti, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan,” katanya.
Ia mengatakan data dari lembaga-lembaga pendamping korban menunjukkan bahwa perempuan korban kekerasan berhadapan dengan perilaku aparat penegak hukum yang menyempitkan akses mereka terhadap keadilan.
Bukan saja perilaku penegak hukum yang tidak berpihak dan menyalahkan korban, kata dia, sebanyak 22 oknum aparat penegak hukum diketahui melakukan tindakan kekerasan seksual dan pemerasan terhadap perempuan.
“Catatan tahunan tentang kekerasan terhadap KTP itu, adalah, upaya memberikan gambaran utuh secara nasional berdasarkan sebaran, jenis dan ranah kekerasan, serta menangkap kompleksitas persoalan KTP yang terus berkembang dari tahun ke tahun,” katanya. (*/rsd)