Kisah Keuletan Tiga Mama Asuh Di Timor Barat
Lari Dari Konflik Timtim, Lanjutkan Usaha
Impian dan hasil kerja keras Elisabeth Namok selama di Dili hilang tak berbekas saat kerusuhan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur (kini Timor Leste – red). “Kami lari, datang hanya bawa pakaian satu lemari, VCD (Video Compact Disc player), dengan sepeda motor Supra Fit satu,” ujarnya. Semua barang dagangan di kiosnya ditinggalkan, tidak bisa dibawa karena kesulitan kendaraan. “Karena agak stress waktu datang, kami langsung ke Surabaya, sekalian refreshing,” kata Elis.
“Bulan Oktober itu baru kami mulai tinggal di kamp Weraihenek,” ungkap Elis. Sejak itulah, Elis, Eny dan Ela memulai usaha kios kecil mereka. “Modal awalnya itu 250 ribu sa,” kata Elis. “Itu uang yang masih tersisa setelah kami pulang dari Surabaya,” sambung Eny. Dari waktu ke waktu, modal awal 250 ribu rupiah ditambah sedikit pengalaman dan ilmu wirausaha Elis dan Eny, usaha mereka kian berkembang hingga bisa menyewa tanah untuk membangun rumah mereka.
Eny juga tamatan dari SMEA negeri Kupang. Sebuah rumah sudah mereka miliki, sekalipun di atas tanah orang, namun bangunan rumahnya adalah buah dari usaha keras mereka. “Rumah itu juga kami hanya beli bahan sa, ais ada kaka dong dari kampong datang bantu kerja dia pung rangka dengan atap, sedangkan dindingnya itu, kami bertiga yang bikin sendiri. Bebaknya kami beli baru, kami buat dindingnya,” ujar Eny. “Lebih murah dibanding beli dinding jadi,” timpal Elis. “Ternyata lumayan berat juga kerjanya, tapi saya senang karena saya jadi tau cara buat dinding dari bebak,” kata Eny yang sebelumnya semasa di Kupang tak punya pengalaman itu.
Kini mereka telah mempunyai dua kios kecil di Weraihenek dan di samping stadion Haliwen. Setiap harinya, mendapatkan penghasilan kotor sebesar 50 ribu rupiah per kios. “Tapi sekarang ini su berkurang jauh, kalo dulu, waktu masih tahun ’99-2000 itu, banyak orang yang beli. Abis dapat bantuan macam uang lauk begitu pasti mereka datang belanja,” jelas Elis mencoba membandingkannya.
Penghasilan yang didapat selain disisihkan untuk menjaga keberlanjutan kedua kios mereka, juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya pendidikan anak-anak asuh mereka.
Namun Tak Lari Dari Nurani Menolong Sesama
Dalam keterbatasan mereka saat tiba di Weraihenek-Atambua, NTT, pada tahun 1999, hati mereka tersentuh melihat kondisi anak-anak saudara mereka yang tak terurus, khususnya dalam masalah pendidikan. Dalam sebuah perbincangan antara dua sahabat yang boleh dikatakan sudah seperti saudara sekandung, terbesit pada benak Elis dan Eny keinginan untuk membantu anak-anak yang putus maupun tidak bersekolah karena kesulitan biaya. “Kami mulai asuh anak-anak ini tahun 1999 itu. Kami mulai dari anak saudara,” ungkap Elis. Mereka mulai dari empat orang anak kakak perempuan Elis. Bahkan ada anak yang diasuh sejak berumur 3 bulan.
Hingga kini sudah sembilan anak yang berada dalam asuhan mereka. Semuanya masih mempunyai pertalian saudara dengan tiga perempuan tangguh ini. “Kami ini maunya bukan hanya anak saudara saja yang kami tolong tapi anak orang lain juga,” kata Elis. “Masalahnya orang belum percaya kita e…orang kira kita mau rampas dong pung (dia orang punya – red) anak, jadi ya kami mulai dulu dengan saudara pung anak,” timpal Eny menjelaskan. bersambung ke halaman berikut >>