Katharina Hidup Untuk Anak-anak Berkebutuhan Khusus
[KOMPAS.com] – Perjalanan hidup Katharina Soehardi relatif unik. Semua yang dia kerjakan bisa dikatakan tanpa direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan dengan penuh dedikasi, pengorbanan, dan rasa syukur. Dia bertekad melakukan pengabdian sosial demi masa depan anak bangsa sampai akhir hidupnya.
Belakangan ini Katharina mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Sebanyak 26 anak berkebutuhan khusus ditampung di Panti Asuhan Bhakti Luhur Alma di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Selain itu, masih ada 78 ABK lainnya yang berada di rumah keluarga masing-masing dan secara rutin dikunjungi Katharina.
Ketika ditemui di Panti Asuhan Bhakti Luhur Alma, November lalu, biarawati Katolik ini terlihat sangat sibuk. Ada banyak tugas menanti Katharina, seperti mencuci pakaian 26 anak panti, menyediakan makanan, menyetrika pakaian mereka, mengepel lantai, merawat tanaman di halaman panti, sampai membuat tahu dan tempe yang akan dijual anak asuhannya. Meski dibantu dua rekan biarawati dan delapan tenaga pendamping yang direkrut dari warga sekitar lokasi panti, mengatasi 26 anak dengan berbagai jenis kebutuhan khusus yang berbeda-beda bukanlah pekerjaan mudah.
Salah satu peristiwa yang sering terjadi adalah kunci-kunci kamar panti hilang mendadak, gagang pintu patah, atau kursi-kursi dan mainan anak-anak berserakan. Sarana dan fasilitas itu dirusak oleh anak-anak saat mereka sedang marah.
“Beginilah rutinitas kehidupan kami. Setiap kali kami merapikan ruangan, sebentar lagi berantakan di mana-mana. Meski sebagian dari mereka sudah berusia 13 tahun, masih membutuhkan waktu untuk proses penyadaran,” cerita Katharina.
Perempuan asal Blitar, Jawa Timur, ini menuturkan, semula dia tidak paham mengenai panggilan hidupnya. Pada 1980, Katharina tiba-tiba ingin bergabung dengan biarawati Katolik. Padahal, orangtua dan sanak keluarga Katharina menganut kepercayaan lain.
Setelah bergabung dalam biara induk Alma di Malang, dia lalu dipercaya merekrut remaja di Sumba untuk masuk Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang. Saat itu, perguruan tinggi yang mendidik guru agama Katolik tersebut kesulitan mendapatkan mahasiswa baru.
“Ternyata, di lapangan saya menemukan banyak anak-anak berkebutuhan khusus. Kenyataan ini lalu saya sampaikan kepada pimpinan biara di Malang. Akhirnya panti asuhan ini hadir (di Sumba) pada 1998,” katanya.
Katharina kemudian berjalan dari satu kampung ke kampung lain untuk mencari anak berkebutuhan khusus. Dia juga memberikan informasi melalui gereja setempat mengenai perawatan ABK di panti asuhan itu. Banyak anak berkebutuhan khusus ditemukan Katharina, sebagian lagi diantar langsung oleh orangtua mereka. Umumnya mereka berasal dari keluarga tak mampu. Jika anak-anak ini dibiarkan bersama orangtua masing-masing, mereka tidak akan tertolong.
Sampai 2010, yayasan itu sudah merawat 157 anak. Sebagian di antaranya sekarang sudah mandiri (berkeluarga), kembali kepada orangtua, bekerja di sejumlah yayasan, dan sebagian lagi sedang kuliah. Semua kegiatan mereka ditanggung Yayasan Bhakti Luhur Alma dan para donatur. Yayasan yang berkantor pusat di Malang ini berupaya agar para ABK bisa hidup mandiri.
Di Panti Asuhan Bhakti Luhur Alma, anak-anak itu diajari menjual tahu dan tempe, menjaga kios panti yang menyediakan berbagai bahan kebutuhan pokok, dan memelihara ternak. Menurut Katharina, sebenarnya lebih banyak lagi ABK yang perlu ditampung di panti. Namun, karena keterbatasan ruangan, tenaga, dan biaya, anak-anak berkebutuhan khusus itu terpaksa tetap tinggal di rumah bersama keluarga mereka.
Bayangkan, untuk satu anak di tingkat SMP dan SMA kami harus mengeluarkan biaya Rp 5 juta-Rp 20 juta per tahun. ~ Katharina Soehardi
Diarahkan untuk mandiri
Katharina mempelajari, menganalisis bakat, kemampuan, dan keterampilan dari setiap ABK. Anak-anak berkebutuhan khusus yang cukup cerdas didorong untuk melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Sedangkan mereka yang kemampuan intelektualnya sedang, diarahkan belajar di sekolah menengah kejuruan dan mereka yang tidak mampu diberikan pendidikan nonformal.
Anak-anak itu mengikuti pendidikan sampai tingkat menengah pertama di Waikabubak. Untuk pendidikan tingkat menengah atas, biasanya mereka lanjutkan di Malang.
Selain mengurus anak-anak di panti dan mereka yang berada di rumah orangtua masing-masing, Katharina juga mengumpulkan anak-anak yang menderita bibir sumbing, hydrocephalus (pembesaran kepala akibat penumpukan cairan), serta bayi yang tidak memiliki dubur (atresia ani) di berbagai desa. Dia mengupayakan agar mereka bisa menjalani operasi untuk mengatasi penderitaannya.
Untuk anak-anak berkebutuhan khusus, pemerintah memberikan bantuan melalui panti berupa makanan tambahan, alat keterampilan, dan ternak. Namun, bantuan para donatur belum mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan para ABK.
“Bayangkan, untuk satu anak di tingkat SMP dan SMA kami harus mengeluarkan biaya Rp 5 juta-Rp 20 juta per tahun. Kalau ada 26 anak di panti dan 78 anak di luar panti, biaya yang harus kami tanggung menjadi cukup besar. Meski demikian, kami tetap melayani dengan senang hati,” kata Katharina.
Untuk itu, anak-anak selalu diajari hidup sederhana dan menghargai setiap pemberian dari pengasuh. Mereka tidak memiliki telepon seluler, tidak dibekali uang jajan, dan harus menjaga dengan cermat semua fasilitas yang diberikan.
Katharina menuturkan, banyak masalah menimpa anak-anak di desa-desa terpencil. Orangtua mereka pasrah atas kondisi anaknya. Mereka tidak mempunyai kemampuan finansial untuk mengobati sang anak dan tidak mempunyai keterampilan merawat agar anaknya bisa mandiri.
Di Panti Asuhan Bhakti Luhur Alma, anak-anak itu dididik untuk mandiri dan bersatu sebagai saudara. Tidak ada pembedaan anak berdasarkan suku, agama, ataupun golongan tertentu. Anak-anak makan satu meja dan tidur satu kamar dengan para suster pendamping.
Menurut Katharina, pembentukan mental, watak, dan karakter mereka harus mendapat perhatian. Dengan demikian, di mana pun mereka berada, anak-anak itu akan mampu menempatkan diri dengan baik. :: KOMPAS/15des2010