Ibu Senti Rintis SD Bagi Transmigran Tergusur
oleh Daniel Naek Chrisendo
Pengajar Muda (Relawan)
di SD Indraloka II Way Kenanga
Kab. Tulang Bawang Barat, Lampung
[INDONESIAMENGAJAR] – Namanya Ibu Senti Tampubolon, beliau adalah tetanggaku di desa Indraloka II, kecamatan Way Kenanga, kabupaten Tulang Bawang Barat, provinsi Lampung. Ibu Senti adalah orang Batak Kristen di tengah mayoritas transmigran suku Jawa Islam dan beberapa keluarga Bali Hindu di daerah Lampung ini. Beliau cukup keras, suka bekerja, dan jujur blak-blakan.
Perbincangan saya dengan Ibu Senti hanya berlangsung sekitar dua jam saat saya bertandang ke rumahnya, namun sudah membuat saya berkesimpulan bahwa Ibu Senti adalah sosok yang menarik, seorang pamong yang disegani oleh masyarakat, dan darinya saya banyak dapat informasi mengenai banyak hal, mulai dari sejarah kampung, hubungan masyarakat, sampai gosip-gosip yang beredar di kampung.
Ibu Senti lahir dan besar di Sumatra Utara. Beliau menempuh Sekolah Pendidikan Guru (seperti SMK dengan keahlian guru). Setelah lulus, beliau pindah ke Bandung dan akhirnya bertemu dengan suaminya yang merupakan seorang pendeta, Bapak Rudi. Karena satu dan lain hal, Bapak Rudi pun pindah ke Lampung untuk melayani jemaat Kristen di Lampung dan Ibu Senti sebagai istri mengikuti sang suami.
Berdasarkan cerita Ibu Senti, saya mengetahui bahwa penduduk Indraloka II yang ada sekarang sebenarnya adalah penduduk pindahan yang rumahnya digusur. Para penduduk di sini sebelumnya tinggal di daerah transmigran. Di daerah tersebut mereka hidup dengan cara bertani tanaman pangan dan hidup makmur karena lahannya yang subur.
Transmigran yang Dikalahkan Perusahaan Karet
Sampai suatu ketika, permasalahan sengketa tanah pun terjadi antara para transmigran dan sebuah perusahaan penghasil karet. Akhirnya, yang berhasil memenangkan tanah tersebut adalah perusahaan karet, sehingga para penduduk transmigran pun dipindahkan secara paksa masuk ke daerah Indraloka II. Ibu Senti pun turut pindah. Saat itu, sekitar tahun 1991, daerah Indraloka II adalah kawasan hutan yang lahannya belum dibuka. Para transmigran inilah yang menjadi perintis membuka lahan menjadi lahan karet yang hasilnya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Saat itu banyak terdapat anak-anak di Indraloka II. Tidak bersekolah karena saat itu belum ada sekolah. Ibu Senti, yang diketahui sebagai lulusan Sekolah Pendidikan Guru pun diminta oleh para tetangganya untuk membuat sekolah untuk anak-anak mereka. Tujuannya adalah agar anak-anak ini memiliki kegiatan dan setidaknya bisa membaca dan menulis.
Satu Papan Tulis, Sekotak Kapur dan Tanah untuk Menulis
Ibu Senti pun merintis sekolah tanpa ruang kelas, meja, dan kursi. Beliau mengajak teman-temannya mengajar dan meminta kompensasi dari perusahaan karet atas penggusuran lahan yang dilakukan. Beliau berhasil mendapatkan sekotak kapur dan papan tulis untuk digunakan mengajar. Saat itu para siswanya belum memiliki buku, sehingga mereka menggunakan tanah untuk menulis.
Atas kebaikannya ini, Ibu Senti menerima bayaran di setiap akhir tahun ajaran dari para orangtua siswa berupa karungan beras atau makanan dalam rantang.
Pemerintah pun melihat perjuangan keras Ibu Senti dalam mengadakan pendidikan di daerahnya. Untuk jasanya tersebut Ibu Senti pun diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil dan ditempatkan di SDN 01 Indraloka II, yang artinya Ibu Senti harus pergi meninggalkan sekolah yang telah didirikannya untuk mengabdi di sekolah lain milik Pemerintah.
Ditarik Jadi Guru SDN, Hati Tetap Ke Sekolah Kecilnya
Melihat status sekolah yang dirintisnya belum juga diakui oleh Pemerintah, Ibu Senti, walau sudah hidup enak sebagai pegawai negeri sipil di sekolah lain, bertindak untuk membuat sekolah tersebut menjadi Sekolah Negeri yang diakui Pemerintah agar kehidupan sekolah dan guru-gurunya terjamin.
Bersama dengan tiga orang lainnya, Ibu Sumiyani, Ibu Saminten, dan Pak Yamin, mereka merintis perjuangan tersebut. Dengan pro dan kontra dari masyarakat dan banyaknya pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan uang, akhirnya sekolah tersebut pun diakui Pemerintah pada tahun 1999. Sekolah mereka kini memiliki nama baru, yaitu SDN 04 Indraloka II, sekolah di mana saya mengajar sekarang sebagai pengajar muda.
Mengenai tiga perintis lainnya, Pak Yamin menjadi kepala sekolah SDN 04 Indraloka II yang pertama dan sudah meninggal, Ibu Sumiyani sempat menjadi guru pegawai negeri sipil di SDN 04 Indraloka II, dan Ibu Saminten pun telah meninggal dunia.
Sore itu di rumah Ibu Senti, saya mendengar kisah perjuangannya mendirikan SDN 04 Indraloka II. Beliau berharap sekolah yang didirikan tidak sia-sia dan bisa menjadi titik awal masa depan yang cerah bagi generasi penerus bangsa. Betapa kesal dan marahnya beliau jika melihat ada guru yang mengajar dengan malas-malasan dan
jarang datang ke sekolah. Ibu Senti merasa jerih payahnya mendirikan sekolah dan membuka kesempatan kerja bagi guru menjadi sia-sia karena tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para guru.
Sore itu, saya merasakan perjuangan, kepuasan, dan rasa sakit hati yang dialami Ibu Senti. Cerita di sore itu meneguhkan hati saya untuk mengajar. Saya akan memberikan yang terbaik untuk anak didik saya dan tidak ingin mengecewakan Ibu Senti yang telah mendirikan SDN 04 Indraloka II, tempat di mana saya menajar sekarang. :: INDONESIAMENGAJAR/DanielNaekChrisendo/27nov2011