Hari Kartini dan Pelayanan Publik
Hari Kartini, setiap 21 April, selalu memberikan celah perhatian terhadap kondisi perempuan di Indonesia, mulai dari masih minimnya akses dalam memperoleh hak-haknya terutama soal pelayanan publik sampai pada pola-pola kekerasan yang masih dihadapinya. Emansipasi perempuan yang sejatinya menjadi pesan Kartini agar perempuan Indonesia dapat bersuara dan eksis dalam perjuangannya menolak kekerasan sampai pada menuntut perempuan Indonesia lebih berdaya.
Macam-macam hal yang dilakukan oleh para penyedia pelayanan publik dalam memperingati Hari Kartini, seperti yang dilakukan oleh PT KAI dan Transjakarta. PT KAI secara khusus mengumumkan bahwa pada hari itu, seluruh kursi diperuntukkan bagi penumpang yang perempuan, sementara penumpang yang lelaki bisa berdiri atau duduk di lantai gerbong (perspektif ANTV dan www. tempointeraktif .com, www. poskota. co. id). Lain lagi yang dilakukan oleh Transjakarta, awak supir dan petugas tiket busway Transjakarta yang perempuan diharuskan memakai baju tradisional (www. tempointeraktif .com, www. poskota. co. id).
Kedua cara peringatan hari Kartini sama sekali tidak berkaitan langsung dengan keuntungan yang didapat oleh pemakai pelayanan kereta api dan busway yang perempuan. Minimnya sosialisasi dari pihak PT KAI, menyebabkan para penumpang pria tidak menggublis anjuran tersebut. Mereka bahkan berdalih untuk tidak memberikan kursi dan duduk di lantai karena sudah capek-capek berebut mengejar kereta. Sementara para awak transjakarta merasa tidak nyaman menggunakan kebaya selama mengemudi dan harus lebih pagi menyiapkan diri untuk berdandan. Manfaat langsung yang bisa dirasakan para penumpang busway jelas tidak menjadi tujuan peringatan hari kartini ini.
Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi titik kritis untuk didiskusikan pada milis ini. Pertama, ‘mengistimewakan’ pelayanan kepada perempuan pada hari Kartini, dianggap sebagai sebuah upaya yang luar biasa. Bahkan hal ini dianggap sebagai justifikasi bahwa penyedia layanan sudah berupaya memberikan akses pelayanan yang baik bagi perempuan meski pun cuma sehari. Padahal, pelayanan publik tidak hanya sehari saja digunakan oleh perempuan, yaitu Hari Kartini. Atas dalih ini seakan-akan, penyedia layanan mau mengatakan kepada masyarakat khususnya perempuan. “Kami sudah memberikan pelayanan istimewa kepada perempuan pada hari Kartini, hari-hari selebihnya dalam setahun silahkan mengalami diskriminasi. ..”
Kedua, kok ya berpikir untuk menambahkan beban bagi pekerja yang perempuan, toh! Padahal untuk mendapatkan keadilan atas hak-haknya sebagai perempuan yang bekerja saja belum tentu terpenuhi. Ini cuma akal-akalan dari perusahaan Transjakarta demi memperoleh popularitas tanpa memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pekerja, misalnya menyiapkan diri lebih pagi yang bisa berisiko mengantuk waktu mengemudi. Belum lagi pakaian tradisional dan make up yang harus disediakan sendiri oleh para supir perempuan tersebut. Nah, kalo terjadi sesuatu karena ketidaknyaman sopir dalam mengemudikan, pastilah si supir yang akan disalahkan oleh penumpang. Ketika kualitas masih menjadi persoalan, maka petugas pelayanan adalah orang pertama yang berhadapan langsung dalam menerima keluhan dari masyarakat sebagai penerima layanan.
Pengalaman tersebut nampaknya bisa menjadi gambaran bagi kita, bahwa tidak mudah memberikan pelayanan publik yang adil. Penyedia layanan tidak bisa berasumsi/mengklaim sudah berusaha/memberikan pelayanan yang adil bagi seluruh pengguna layanan tanpa mengetahui kebutuhan yang sangat spesifik seperti bagi perempuan, anak, penyandang cacat, dsb.
Pemberian pelayanan secara istimewa seperti yang diberikan pada hari-hari tertentu seeprti Hari Kartini, hari Ibu, Hari Anak dan Hari Penyandang Cacat tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari/ melupakan tanggungjawab sepenuhnya baik bagi pemerintah maupun penyedia layanan dalam menyediakan akses layanan pada kelompok rentan tersebut. Manfaat yang sama atas akses pelayanan publik yang diberikan harus dirasakan setiap hari, tidak hanya satu atau tiga hari dalam setahun.
Masyarakat juga harus dibangun rasa kepeduliannya untuk memberikan kemudahan bagi kelompok rentan dalam mengakses pelayanan publik. Untuk itu masyarakat harus disosialisasikan tentang perannya dalam mengawasi bahkan dapat berperan dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi kelompok rentan dalam menikmati pelayanan publik.
Oleh: Qorihani (staf Advokasi & Jaringan Yappika), 29 Mei 2008