Esthi Susanti Hudiono, Generasi Pertama Aktivis HIV/AIDS Indonesia
Dunia ini masih memerlukan banyak “orang gila”
untuk mengimbangi berbagai persoalan dari frame berbeda.
Adalah Esthi Susanti Hudiono. Membaca catatan kisah hidupnya dalam 15 tahun terakhir, seolah membuka catatan sejarah tentang perkembangan virus HIV/AIDS di Indonesia. Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya ini merupakan generasi pertama aktivis HIV/AIDS di Indonesia. Ia bekerja dengan semangat yang terus membara, di tengah ancaman, kritikan, dan juga kehilangan sebagian materinya, demi menegakkan rasa kemanusiaan.
Dari data-data terakhir yang ditemukan, ia menyebutkan tingginya angka HIV/AIDS di Indonesia. Grafik menggambarkan adanya pertumbuhan yang sangat tinggi dalam waktu sepuluh tahun terakhir, bahkan bisa dibilang sebagai sebuah gap. Sebagai bandingan, terdapat 198 orang terinveksi virus HIV di tahun 1997 dan melonjak hingga 8988 di tahun 2007. ”Jumlah ini mungkin akan membengkak, karena masih banyak orang yang tidak mengetahui bahwa ia terinfeksi HIV. Atau bahkan mereka menutupi kenyataan yang ada,” ungkap Esthi.
”Tahun 2025, tanpa intervensi lebih lanjut, angka penderita bisa mencapai 2,5 juta jiwa,” Esthi mengingatkan. Estimasi angka ini bisa jadi akan lebih besar dari yang sesungguhnya karena banyak juga penderita yang tidak sadar akan penyakitnya. Bila tidak ada gerakan cepat, bisa jadi ramalan akan adanya ledakan HIV/AIDS bisa menjadi kenyataan
”Kita masih harus bekerja keras untuk membangun kesadaran masyarakat atas penyakit AIDS, sebelum ia menjadi ledakan di mana-mana,” ungkap Esthi. Hingga kini, 20 tahun setelah AIDS ditemukan, penyakit menular yang belum diketahui obatnya ini masih belum mendapat tanggapan serius dari masyarakat dan juga pemerintah. Hal ini terjadi karena HIV/AIDS masih dianggap sebagai sebuah aib di masyarakat. Sementara bagi para pejabat, seperti dikatakan Esthi, enggan melakukannya. ”Tidak membuat pangkat menjadi naik,” katanya.
HIV/AIDS Belum Dapat Tanggapan Serius
”Memang hanya orang ‘gila’ yang mau melakukan pekerjaan ini. Tapi tanpa ‘orang gila’ ini, kasusnya akan bertambah banyak,” tukas lajang 49 tahun yang telah mengabdikan dirinya sejak awal tahun 90an . Dalam waktu dekat, ia akan segera meluncurkan buku berjudul Aktivis Generasi Pertama Pendamping HIV di Indonesia, yang berisi kisah pengalaman 35 aktivis mendampingi penderita. ”HIV/AIDS adalah persoalan yang sangat serius. Penyakit yang ditularkan melalui hibungan seksual, darah dan keturunan ini belum ditemukan obatnya hingga saat ini.”
”Saya ingin mengatakan bahwa masalah HIV/ AIDS adalah persoalan yang serius. Bukan hanya persoalan kaum marjinal, pelacur, waria atau pengguna Napza suntik. Bahkan dalam perkembangan terkini, penyakit ini tidak mengenal strata, bahkan juga menghinggapi kaum wanita, ibu rumah tangga baik-baik, bahkan remaja putri. Tapi sayang, seolah-olah orang tak mau tahu.”
Dia mengaku merasa terpukul saat mengetahui seorang remaja putri dari keluarga baik-baik mengidap virus HIV yang ditularkan pacarnya. Anak ini tidak mengetahui bahwa bekas pacar dari kekasihnya itu meninggal karena AIDS. Namun lagi-lagi, pria itu tidak mengakuinya. Keluarganya pun juga menolak mengatakan yang sesungguhnya saat pacarnya meninggal karena AIDS.
”Tapi apa yang terjadi? Saat remaja itu mau melanjutkan sekolah masternya, ia mengetahui bahwa ia mengidap AIDS saat tes darah sebagai prasarat melanjutkan sekolah di negeri tersebut. Gagallah salah satu putri terbaik kita menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi,” ungkapnya, sedikit geram. ”Karena itu jangan dipikir, ini hanya isyu marjinal. Setiap remaja seksual aktif punya resiko yang sangat tinggi. Mereka perlu dilindungin dengan informasi yang benar, lengkap dan jelas.” Inilah kepedulian terhadap generasi masa depan, tambah Esthi.
Meskipun korban berjatuhan sudah banyak, namun tetap tak mudah untuk mengkampanyekan pencegahan HIV/AIDS. Esthi mengakui betapa kerasnya kehidupan yang dilaluinya sebagai seorang aktivis. Kecaman menjadi hal biasa. ”Katanya, kenapa sih kita membantu orang-orang kayak gitu,” Esthi mencurahkan perasaannya. Masih banyak anggapan orang bahwa penyakit AIDS merupakan persoalan pelacur atau orang-orang tak bermoral. ”Mereka masih mencampuradukkan antara norma agama, budaya, nilai luhur dengan perilaku. Padahal ini hal yang berbeda,” tegas Esthi.
Akhirnya yang terjadi, bila ada penderita AIDS mereka dikuburkan dengan tidak indah. Masyarakat menolaknya, dan bahkan cenderung dikucilkan. ” Hanya dihadiri 1-2 orang, itupun dikubur di malam hari. Mungkin juga keluarganya diwarisi rasa malu karena penyakit yang masih dianggap aib. Sakit ‘kan rasanya. Mereka kan juga manusia.” tukasnya. Di samping melakukan pendampingan dan konseling terhadap para penderita, Esthi juga aktif melakukan kampanye HAM.
“Mengritik Itu Gampang, Melakukan Tak Mudah”
Soal ini. Esthi punya cerita. Pernah suatu ketika ia begitu lantang berbicara tentang HAM penderita AIDS kepada para dokter dan perawat di RS Dr. Soetomo Surabaya. Saat itu awal tahun 90-an, di mana informasi penyakit AIDS masih sangat minim. Ia melihat salah satu penderita diperlakukan dengan tidak adil, karena dokter dan perawat masih takut merawat mereka.
Salah satu dokter berkata padanya, ”Coba sekarang kamu ke ruang tropik, di sana ada pasien AIDS. Bantu cebok dia selama 5 menit saja.” Lantas apa yang terjadi? ”Saya shock dan terpukul sekali. Membayangkan saja saya sudah sangat ngeri. Ternyata mengritik itu gampang. Tapi melakukan bukan hal yang mudah.”
Peristiwa itu sangat membekas dalam kehidupannya. Sejak saat itu, ia memulai gerakan dengan program baru yakni konseling. Karena itulah, ia berhadapan langsung berhadapan dengan penderita. ”Awalnya ngeri, gamang dan takut ketularan. Tetapi saya mencoba berani. Di sana saya mendapatkan banyak pelajaran. Mereka jauh lebih hidup. Kini, saya semakin menikmati bekerjasama dengan mereka. Ternyata penularan itu tidak mudah.”
Keterlibatannya dalam dunia HIV/AIDS terjadi dengan sendirinya. Saat itu, ia sering frustasi pada profesi sebagai seorang konseling di sebuah sekolah swasta terkemuka. ”Rasanya, saya ini kok hanya sebagai penghibur, bukan membantu mereka mengaktualkan dirinya. Saat itu, saya mengajari mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan. Tapi di lingkungan itu saya melihat banyak ketidakadilan. Makanya saya merasa, saya kok mengajarkan mereka menerima ketidakadilan tersebut. Seharusnya sistem yang diubah, tapi ini kan tidak mudah,” lanjutnya.
Lalu ia bekerja menjadi kepala biro di Hotline Surabaya. Selain melayani konseling melalui telepon atau surat, kebetulan kantornya mendapat tugas untuk kampanye ke pelacur untuk penggunaan kondom. Inilah sentuhan pertamanya dengan dunia HIV/AIDS. ”Sampai bertahun-tahun, kita tak mendapat hasil yang memuaskan. Pelacuran menurun hingga 30%. Tetapi kata pejabat di situ, menurunnya bukan akibat kampanye kondom, tapi justru karena kekhawatiran para pelacur akan penyakit AIDS.”
Saat Harian Surya tempatnya bekerja menutup hotline yang dipegangnya, kegamangan langsung melanda. Dia sudah terlanjur jatuh hati pada dunia aktivis.”Saya bingung, mau kembali jadi redaktur atau terus sebagai aktivis. Setelah berpikir dalam, saya memilih menjadi aktivis,” ungkapnya. Alasannya sederhana. Kalau redaktur, mencari pengganti pasti jauh lebih mudah. Tetapi kalau menjadi aktivis, AIDS pula, jarang orang mau melakukannya.
Pantang Menyerah Menjalankan Kampanye
Untuk memuluskan pekerjaannya, ia melakukan pendekatan ke pemerintah. ”Saya terus kampanye agar pemerintah bisa menggolkan Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Syukurlah, Perda itu berhasil. Saya pun lebih enak dalam bekerja,” kisahnya. Padahal ia sudah bertekad saat itu ingin mundur dari dunia aktivis yang sangat melelahkan itu.
Yang dilakukannya adalah dengan memutus mata rantai penularan virus tersebut. Satu-satunya jalan adalah bekerjasama dengan kaum positif HIV. Karena hanya mereka yang bisa memutus agar virus itu tidak menular ke orang lain. Tapi mengajak mereka berperan aktif juga bukan hal mudah. Kalau tidak hati-hati, ia bisa dianggap ‘menjual’ ODHA. Selain tentu saja ia aktif mengkampanyekan penggunaan kondom agar virus itu tidak menular ke pihak lain.
”Demi mereka, saya harus bekerja sepenuh hati, tapi tidak terikat, hingga saya bisa memenangkan pertarungan ini. Tapi, kalau kita mau bertahan, kita harus pandai menjaga stamina. Caranya, jangan terus mencecar. Ada jeda. Berjarak, berhenti dari bekerja. Saya renang, meditasi, menyulam, berkebun, itu membuat saya fresh. Sehingga saya siap bekerja dengan pikiran yang jernih,” ungkapnya semringah.
Secara tampilan Esthi sangat sederhana. Tapi di dalam dadanya, ia mengaku secara terbuka bahwa sejatinya ia adalah pemberontak. Sebagai perempuan ia menjalani kehidupan pribadi yang tidak umum dilakukan. ”Saya tidak atau belum menikah karena alasan prinsip, saya tidak mau kehilangan otonomi,” wanita 49 tahun ini menegaskan.
Seorang Feminis Radikal yang Belajar Dari Gandhi
”Tahun 80-an, rasanya sulit mencari lelaki yang bisa menghargai bahwa kita sebagai patner, otonomi masing-masing, posisi saya dan dia sebagai penolong yang sepadan, tidak lebur,” kata Esthi. Karena prinsip itu pula ia mengaku tidak pernah terteror meskipun banyak orang yang mengecamnya perawan tua dan sebagainya. Dia tidak peduli, karena dia seorang feminis radikal.
Ketika itu, di usianya yang ke-30, ia mengatakan ke ibunya, ”Beri saya kesempatan untuk mencari jalan kebahagiaan yang berbeda dengan yang dilakukan oleh Mama. Luar biasanya, ibunya mengijinkan, setelah dilanda kecemasan akan masa depan putri tersayangnya. ”Itu yang membuat langkah saya menjadi bebas. Ayah saya pun mengijinkan. Sama sekali tidak digugat,” Esti mengenang.
Mungkin orangtuanya benar memberinya nama Esthi Susanti, yang berarti perjanjian gajah. Maknanya, wanita yang memegang teguh sebuah prinsip. ”Seperti Gandhi,” ia menyebutkan nama tokoh idolanya yang menggunakan dirinya sendiri sebagai eksperimen. ”Saya juga saya belajar dari Gandhi, bereksperimen tentang pandangan orang apa yang nature, apa yang nurture itu, saya uji. ”
Ia mendapatkan banyak pelajaran dari eksperimen itu: tidak menikah, masuk ke dunia aktivis AIDS, yang pada awal tahun 90an belum dibuka oleh orang lain.
Saat itu, ia berangkat dari kemarahan atas ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi. Tapi dari renungan terakhirnya, ia baru merasakan bahwa bila orang mau bekerja dan mengabdi kepada masyarakat jangan bertitik tolak dari kemarahan.
”Harus bertitik tolak dari rasa damai, tidak ada persoalan, saya kira itu akan jauh lebih baik. Karena itu saya merasa berbahagia karena saya pernah melabuhkan gelombang besar dalam kehidupan saya. Kini saya telah berhasil menenangkan diri dan memulai pekerjaan ini. Saya ingin melakukan karena memang ingin melakukan.”
Kini ia memiliki pacar. ”Kalau sekarang ini saya bertemu dengan seseorang yang bisa jadi partner, saling bisa menjaga otonomi, mengapa tidak?” ungkapnya. Wajahnya merona merah. ”Kita ke dunia ini untuk menjelajah, untuk mengenal kehidupan dan menjelahi kehidupan yang ada. Bukan seremoninya. Bagaimana kita bisa membangun hubungan yang bermakna. Surprisenya cinta bisa tumbuh di usia menjelang 50 tahun.”
”Saya tidak pernah menyesal dalam kehidupan saya. Saya justru bahagia karena saya bisa membuat hidup saya lebih punya makna. Meskipun harus menempuh jalan kehidupan kebahagiaan yang berbeda.”
sumber >> rustikaherlambang.wordpress.com