Esther Gayatri Saleh, Satu-satunya Test Pilot Perempuan Indonesia dan Asia
Sampai Dibawa Ayah ke Psikolog
Lantaran keukeuh-nya pendirian Esther yang ingin menjadi pilot, ayahnya membawa dia ke psikolog. Apalagi, saat itu Esther ngotot minta disekolahkan di pendidikan pilot Sawyer School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat.
“Saya dengar Bapak memarahi psikolog yang ternyata justru mendukung niat saya. Bapak bilang bahwa si psikolog telah kena pengaruh saya,” kisahnya, lantas tersenyum.
Pada 1982, Esther akhirnya berangkat ke Negeri Paman Sam untuk menempuh pendidikan pilot. Meski begitu, jalan yang harus dilaluinya juga tidak mudah. Biaya pendidikan yang mahal di satu sisi karena setiap terbang harus membayar dan sering telatnya kiriman uang dari orang tua di sisi lain membuat Esther harus mencari penghasilan sendiri selama di AS. Dia pun rela menjadi babysitter, tukang cuci piring di rumah makan, hingga menjadi kuli di proyek pembangunan gedung.
“Aduk semen atau menata bata menjadi tembok juga pernah saya lakukan. Intinya, apa pun akan saya lakukan demi cita-cita. Pokoknya, I have to go home with wing,” katanya.
Tekadnya yang besar akhirnya membuat Esther mampu merampungkan sekolah dalam waktu satu setengah tahun. Pada 1984, dia pulang ke tanah air. “Tapi, tantangan tidak berhenti sampai di situ,” lanjutnya.
Tantangan pertama adalah dia harus mengonversi liaison yang didapatnya dari pendidikan pilot di Amerika Serikat untuk Indonesia. Dia sempat ditolak karena latar belakang pendidikan SMAnya jurusan IPS.
“Beruntung dapat jalan keluar. Saya mendapat rekomendasi dari menteri perhubungan saat itu setelah saya temui dan memberikan penjelasan,” bebernya.
Rekomendasi itu ternyata belum mampu meyakinkan perusahaan-perusahaan penerbangan yang dilamarnya. Kebanyakan mereka sulit menerima Esther yang perempuan menjadi bagian dari kru penerbang mereka.
Di tengah kekecewaan yang terus diterimanya, datanglah ide brilian di benaknya. Esther nekat menulis surat kepada B. J. Habibie yang saat itu menjadi orang nomor satu di IPTN “kini berganti nama menjadi PT DI. Tak disangka, teknokrat yang mantan presiden itu menerima curhat Esther. “Beliau melihat jauh ke depan. Di mata beliau, profesi tidak bisa dibeda-bedakan berdasar gender,” katanya. >>