Esther Gayatri Saleh, Satu-satunya Test Pilot Perempuan Indonesia dan Asia
Ikut Dalam Proses Rancang Bangun Pesawat
Berbeda dengan pilot operator biasa, test pilot memiliki komunitas tersendiri. Tugas yang mereka jalani lebih kompleks. Mereka tidak hanya terbang dalam uji perdana ketika pesawat baru selesai dibuat. Namun, pilot uji juga sudah ikut terlibat dalam proses awal produksi pesawat. Yaitu, saat pembuatan desain.
Dalam proses rancang bangun pun, para test pilot juga ikut terlibat. Misalnya, saat menentukan letak circuit breaker (sekring), navigasi, atau peralatan lainnya, masukan para pilot uji sangat menentukan. “Terlibat langsung sejak awal itulah yang memunculkan confidence level saat pertama pesawat kami terbangkan. Sebaik-baiknya pesawat dibuat di bawah, setelah di atas akan terjadi perubahan-perubahan aerodinamis. Maka, selalu akan ada perbaikan,” imbuh Esther.
Karena itulah, seorang test pilot juga dituntut untuk memiliki pemahaman lebih terhadap pesawat. Bukan hanya kemampuan menerbangkan pesawat dengan baik, tapi juga dituntut untuk memiliki pemahaman mendalam tentang detail jeroan pesawat yang akan diuji terbang.
Secara risiko kecelakaan, seorang test pilot tentu menanggung paling besar jika dibandingkan dengan yang lain. “Jumlah orang seperti kami di dunia tidak terlalu banyak. Selain pelatihannya mahal, mencapainya tidak mudah,” tandas anak ketiga di antara empat bersaudara yang semua perempuan dari pasangan John Sarodja Saleh dan (alm) Sylvia Avialotta itu.
Menurut Esther, perjalanan untuk menjadi seorang test pilot juga tidak gampang. Pada sekitar 1981, setelah lulus SMA, Esther yang memang bercita-cita ingin menjadi pilot mendaftar ke Sekolah Penerbang Curug. Namun, dia ditolak karena latar belakang pendidikannya dari jurusan IPS. Selain itu, tinggi badannya kurang memenuhi syarat. Esther hanya memiliki tinggi 156 cm. “Saya tidak menyerah meski orang tua memaksa saya melanjutkan kuliah hukum,” bebernya. >>