Ester Kereway Rajini Anugerah Alam Papua yang Kecil-kecil
Ester Kereway (64) adalah salah seorang seniman dari Manokwari, Papua, yang dalam usia senja, masih terus kreatif membuat barang kerajinan khas Papua.
Sehari-hari ia akrab dipanggil “Mama Rambut Putih” atau “Mama Kereway.”
Ia mulai membuat kerajinan tangan sejak tahun 1970 dan meraih Juara II pada Festival Kebudayaan dan Kesenian Papua di Merauke, tahun 2002. Awalnya, hal ini hanyalah sebuah hobi. Karena tekanan ekonomi, ia harus serius mencari nafkah dari ketrampilannya tersebut. Sejak dua puluh tahun lalu ia menjadi single parent menghidupi sembilan anaknya.
Sebenarnya, Mama Kereway adalah guru sekolah dasar. Ia lulusan Opleiding Dorps Onderweiss (ODO) Fakfak, sebuah sekolah pendidikan guru di zaman Belanda. Ia kemudian mengajar di SD YPK 1 Manokwari hingga pensiun pada 2004. Bakat mengajar mungkin diperolehnya dari orangtuanya yang juga adalah guru.
Pada tahun 1992 pemkab Manokwari mengirimnya ke Jayapura untuk memamerkan karya-karyanya di Papua Expo. Di sana banyak produknya diborong pengunjung. Sejak itu Mama Kereway lebih berkonsentrasi pada hobinya ini. Ia pun telah diikutsertakan dalam berbagai pameran di tingkat nasional.
Contohnya, pada tahun 2001 ia dikirim ke Festival Budaya Nusa Dua Bali. Dua tahun kemudian ia memamerkan karyanya di Pameran Teknologi Tepat Guna yang diselenggarakan di Sidoarjo, Jawa Timur. Menurutnya ini adalah pameran terpenting yang pernah diikutinya. Di sana ia bisa menyaksikan bermacam mesin, salah satunya adalah mesin pintal sederhana. “Saya ingin sekali membeli mesin itu tapi saya tidak punya cukup uang. Di sini kami membuat benang dari serat tumbuhan secara manual. Prosesnya sangat lambat,” jelasnya. Pameran terakhir yang diikutinya adalah Pameran Kerajinan Tangan Indonesia di Jakarta bulan Maret 2006.
Selama menghadiri pameran, Mama Kereway selalu menyempatkan diri mengunjungi gerai daerah lain. Hal tersebut dilakukannya untuk mempelajari teknik desain dan proses produksi mereka. “Kamu tahu, saya tidak pernah masuk sekolah seni. Oleh karena itu, saya harus selalu bertanya kepada para peserta lain agar bisa memperoleh informasi sebanyak mungkin,” terangnya dengan mata yang berbinar-binar.
Dalam berkarya Mama Kereway menggunakan bahan baku lokal seperti kulit kerang, tempurung, kayu dan serat tumbuhan. Namun setelah menghadiri banyak pameran, ia mulai mengombinasikannya dengan material sintetik agar produknya lebih mudah diterima konsumen.
Pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai pameran, ia bagikan pula kepada teman-temannya seperti, Mama Werbete, Mama Naibey serta Mama Bonay. Sebagai sesama seniman perempuan, mereka sering bertemu dan bertukar pengalaman.
Mama Kereway tidak memasarkan produknya ke toko atau supermarket. Ia hanya menaruhnya di rumah. Sayang, walaupun terletak di wilayah yang strategis, rumahnya tak terlihat dari jalan raya. Namun demikian, ia cukup bangga karena suvenir buatannya sudah pernah dipesan oleh pembeli-pembeli di Negeri Belanda. Mereka memborong dengan harga tinggi hingga ia kewalahan memenuhi permintaan mereka. Harapannya suatu saat nanti ia bisa membangun galeri sendiri.
Sebenarnya pemkab Manokwari telah menawarkan sebuah ruangan di sebuah pasar tradisional yang terletak di kawasan perdagangan kota Manokwari. Mama Kereway menolaknya dengan alasan bahwa tempat itu tidak aman baginya dan seniman-seniman perempuan yang lain. “Banyak anak muda yang suka mabuk-mabukan di sana. Saya takut berurusan dengan mereka.”
Mama Kereway dan seniman-seniman lain di kota Manokwari pernah meminta pemerintah untuk menyediakan sebuah ruangan galeri di Bandara dan Terminal Kapal Penumpang Manokwari agar mereka bisa memajang dan menjual karya seni khas Provinsi Irian Jaya Barat. Sejauh ini, permintaan tersebut belum mendapat tanggapan dari pemerintah.
Ketika ditanya tentang pesannya kepada perempuan Papua, ia menjawab, ”Coba lihat, Papua ini sangat kaya dengan sumber daya alam. Masalahnya kita, orang-orang Papua, malas mengolahnya. Kita kurang kreatif dan hanya mau cari gampangnya saja. Sebenarnya kalau mau bekerja keras, kita bisa memperoleh penghasilan setiap hari. Perempuan Papua jangan memiliki wawasan yang sempit. Kita bisa bekerja bergandengan- tangan untuk memroses semua sumber alam yang ada. Di luar Papua terutama di provinsi-provinsi lain, perempuan sangat dominan di bidang kerajinan. Kita tidak perlu malu belajar dari mereka.”
Sebagai seniman, prestasinya bagus sekali. Banyak penghargaan telah diraihnya. Sebagai warga masyarakat ia adalah ketua RT yang suka menolong. Sebagai aktivis gereja, ia adalah ketua Pelayanan Wanita GKI Gereja Elim Kwawi Manokwari, gereja tertua di Papua. Sebagai ibu dan nenek, walaupun sederhana, ia cukup bahagia dikelilingi kesembilan anak-anak dan beberapa cucunya. Ester Kereway memang perempuan Papua yang mandiri. Ia patut dijadikan panutan bagi perempuan lain tidak hanya di Papua tetapi juga di seluruh Nusantara. (tulisan Charles Roring/Yayasan Kaumi + foto-foto T.R. Dewi / 31 Mei 2006)