Emmy Saelan, Pahlawan Revolusi Dalam Kealpaan Zaman
[MarsinahFM] – Tahukah sahabat marsinah sosok perempuan yang satu ini? Seorang pejuang perempuan dari Sulawesi Utara yang gagah berani dalam berjuang melawan penjajah Belanda. Selama puluhan tahun kita hanya sedikit perempuan pejuang yang diperkenalkan dalam sejarah kita.
Emmy Saelan, demikian ia dikenal, seorang pejuang perempuan dari Sulawesi yang gugur di medan perjuangan di Kasi-Kasi dekat kota Makassar pada tahun 1947. Sejak muda, Emmy Saelan tak sudi bekerja sama dengan Belanda. Ia pun turut berkiprah dalam pemogokan “Stella Marris” sebagai protes terhadap penangkapan Dr. Sam Ratulangi. Emmy sendiri dilahirkan di Makassar pada 15 Oktober 1924 sebagai putri sulung dari 7 bersaudara. Ayahnya, Amin Saelan adalah tokoh pergerakan Taman Siswa di Makassar dan penasihat organisasi pemuda.
Suatu kali, pernah ia berkesempatan menggunakan posisinya sebagai perawat untuk melepaskan para pejuang yang ditawan Belanda. Sebuah tindakan yang berbahaya namun ketakutan pun diterobosnya agar para pejuang tersebut bebas. Pada bulan Juli 1946, ia menggabungkan diri dengan pasukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi atau LAPRIS di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang meneruskan perjuangan gerilya di hutan-hutan. Mana kala satuan-satuan Belanda menyerang Kasi-Kasi, Emmy Saelan turut melemparkan granat ke arah Belanda yang hendak menangkapnya. Alhasil delapan Belanda tewas dan 1 pejuang tewas. Satu pejuang terakhir itu adalah Emmy Saelan sendiri.
Emmy adalah salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP Nasional di Kota Makassar. Didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang tidak bersepakat dengan rencana dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para tokoh republik. Sekolah ini hingga sekarang masih berdiri di Jl. Dr. Sam Ratulangi Makassar. Sekolah ini terletak di sekitar belakang stadion Mattoanging dan telah banyak melahirkan tokoh pejuang Republik.
Di saat agresi militer kedua Belanda terjadi, para pelajar sekolah tersebut membentuk laskar perjuangan dan bergerilya. Laskar perjuangan tersebut diberi nama Harimau Indonesia. Laskar pejuang tersebut dikepalai oleh Robert Wolter Monginsidi dengan anggota Emmy Saelan, dan Maulwi Saelan yang adalah adik Emmy Saelan. Maulwi Saelan inilah yang kemudian dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan mantan kiper SPSI. Adik Emmy Saelan yang lain, yaitu Elly Saelan yang kemudian dikenal dengan nama Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab RI. Aksi laskar perjuangan Harimau Indonesia tidak main-main, dari menembak hingga melempar granat ke rumah-rumah pembesar Belanda. Karena gerah dengan aksi-aksi laskar pejuang ini, Belanda pun mendatangkan Kapten Westerling yang terkenal kejam.
Kedatangan Kapten Westerling ke Makassar mempersempit ruang gerak kaum muda pejuang di SMP Nasional. Penangkapan pun dilakukan secara besar-besaran dan tentu saja, kejam. Sebelum kehadiran Westerling, proses belajar-mengajar berlangsung dengan baik namun kedatangan Westerling membuat sekolah itu terpaksa ditutup.
Pemimpin Laskar Harimau Indonesia
Di laskar Harimau Indonesia, Emmy berperan memimpin laskar perempuan yang sekaligus juga bertugas di Palang Merah. Kulitnya yang putih membuat dia mendapat nama sandi Daéng Kébo. Daeng adalah panggilan sapaan di Makassar yang berarti “Kak”. Emmy-lah yang menentukan aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misal, bila ia memegang rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut, maka berarti orang itu adalah sesama teman pejuang. Mantan komandan pasukan perempuan Makassar, Sri Mulyati juga mengisahkan bahwa Emmy Saelan adalah seorang yang ahli menggunakan sandi.
Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian besar. Mana kala di usia remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau, sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan perjuangan yang penuh mara bahaya.
Bersiap menghadapi Belanda, Laskar Pejuang Harimau Indonesia kemudian mempersiapkan sebuah operasi melawan Belanda. Kala itu, menurut kisah Maulwi Saelan, adik dari Emmy Saelan, ia ditugaskan menjemput Emmy yang masih berada di Polombangkeng. Keberadaan Emmy sangat penting sebagai pimpinan Palang Merah untuk menyertai gerakan operasi. Namun, ternyata Emmy tidak sabar menunggu jemputan dan mendahului turun ke Makasaar untuk bergabung dengan pasukan Harimau Indonesia. Sehingga ketika tiba di Polombangkeng, Maulwi tidak bersua dengan sang kakak dan sempat tinggal beberapa hari di Polombangkeng, baru kemudian turun ke Makassar. Sesampainya di Makassar, ia mendapati pasukan Harimau Indonesia sedang bersiap hendak meluaskan operasi ke utara yaitu Pankajene dan Tanete Baru. Di sinilah, Maulwi sempat bertemu dengan Emmy namun Emmy tidak turut ke utara.
Kala itu, 23 Januari 1947, Emmy memimpin 40 orang bertempur di Kampung Kasi Kasi. Dari 40 orang yang dipimpin oleh Emmy, hanya 1 regu yang bersenjata api, lainnya masih menggunakan senjata tradisional Pertempuran itu sendiri dikoordinasikan oleh Wolter Monginsidi yang sedang berada di Kampung Tidung. Emmy dan rombongan terkepung oleh pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, sehingga saat itu Monginsidi pun memerintahkan anak buahnya supaya mundur, termasuk Emmy Saelan, meski Monginsidi terletak di tempat terpisah. Dikisahkan, Monginsidi memerintahkan Emmy untuk mundur ke Kasi-Kasi setelah musuh semakin gencar menyerang dengan tank-tank, padahal Emmy juga sedang membawa korban-korban luka. Emmy pun memimpin rombongannya untuk mundur, namun apa mau dikata, itu sudah terlambat. Emmy semakin terdesak dan terkepung. Tentara Belanda memerintahkannya untuk menyerah, apalagi semua teman Emmy sudah tewas tertembak kecuali Emmy sendiri. Emmy tak peduli dengan perintah Belanda, untuk terakhir kalinya, Emmy melemparkan granat ke tengah-tengah tentara Belanda, sejumlah tentara Belanda tewas terbunuh, termasuk Emmy sendiri. Jenazah Emmy lalu dikuburkan oleh Belanda saat itu juga di lokasi pertempuran. Namun, Emmy beserta lima kawannya yang gugur dikuburkan di tempat terpisah. Lima orang lainnya dikubur dalam satu lubang di Kasi-Kasi.
Serdadu-serdadu KNIL sendiri sebelumnya tidak mengetahui bahwa yang meledakkan granat ke arah mereka adalah Emmy Saelan, seorang perempuan yang sedang mereka kejar. Mereka tidak menyadarinya karena Emmy mengenakan pakaian lelaki dengan celana panjang. Setelah mengetahui bahwa yang tewas itu adalah Emmy, para sedadu KNIL bersorak gembira.
Wolter Monginsidi ketika mendapat kabar bahwa Emmy gugur di medan pertempuran seakan tidak percaya. Sore itu, 23 Januari 1947, kabar tewasnya Emmy dirasakan sebagai pukulan keras bagi Wolter Monginsidi. Karena itulah, Wolter Monginsidi memerintahkan agar segera dilakukan serangan balasan untuk menghancurkan musuh. Keputusan itu sebenarnya tidak tepat, karena situasi medan sangat tidak menguntungkan. Setelah diperingatkan oleh teman-teman seperjuangannya, Wolter Monginsidi akhirnya berubah pikiran.
23 Januari 1947, Hari Berkabung
Tgl 23 Januari 1947 pun segera diumumkan sebagai hari berkabung seluruh pasukan dalam lingkungan operasi III yang dipimpin oleh Wolter, karena hari itulah gugurnya seorang perempuan pejuang tanpa kenal takut memimpiin pasukannya bertempur.
Seusai situasi di Makassar pulih, kuburannya digali kembali. Pihak keluarga masih bisa mengenali jenazahnya dari konde dan giginya yang cacat. Dari kemeja dan celana panjangnya yang lusuh tercabik, baju yang kerap ia kenakan kala bergerilya. Tewasnya Emmy Saelan membuat seluruh keluarga terpukul. Rumah yang terletak di Jalan Ali Malaka 20, Makassar pun dirundung duka. Rumah tersebut terletak sekitar 2 km dari Pantai Losari, yang terkenal keindahannya. Amin Saelan, sang tuan rumah tak henti-hentinya melantunkan doa bagi sang anak. Amin Saelan adalah seorang tokoh pejuang dan tokoh Taman Siswa Makassar. Dari pengalamannya sebagai pejuanglah, Emmy Saelan mendapatkan elan semangat juang. Amin Saelan di jalan revolusi juga merupakan penasihat organisasi Pemuda Nasional Indonesia di Makassar yang diketuai oleh Manai Sophiaan (ayah dari aktor Sophan Sophiaan).
Jenazah Emmy Saelan kemudian dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang sebagai pahlawan yang gugur di medan juang. Emmy dinyatakan sebagai pahlawan nasional sebagaimana tertulis di Taman Makam Pahlawan itu. Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika bergerilya diabadikan sebagai nama jalan. Jalan Emmy Saelan ini terletak di Jalan Sam Ratulangi Makassar. Bahkan, pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, lokasi tempat Emmy gugur juga dibadikan dengan dibangunnya Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makassar di Jalan Toddopuli. Namun sayang, kondisi monumen tersebut sekarang tidak terawat. Seperti gambar Garuda Pancasila yang telah rusak dan ditumbuhi banyak rumput liar.
Monumen Emmy Saelan terletak di Jl. Hertasning Timur, yang bertuliskan “Monumen Maha Putera Emmy Saelan”. Awalnya monumen ini dibangun lengkap dengan taman berisi permainan anak. Pada tahun 1985, Menko Polkam Surono meresmikan monumen ini. Bentuk monumen tersebut runcing di bagian atasnya, dan terdiri dari tiga pilar asimetris. Di tempat inilah, Emmy bersama pejuang lainnya termasuk Wolter Robert Monginsidi melakukan aksi long march menju Polongbangkeng, di daerah Gowa-Takalar, pada mana Emmy Saelan akhirnya tewas.
Sayang, keramik di monumen itu kotor dan rusak. Menunjukkan bahwa monumen ini tidak dirawat dengan baik. Padahal tempat bersejarah ini adalah warisan kekayaan yang patut dilestarikan. Di tempat inilah Emmy Saelan gugur melawan serdadu Belanda. Monumen ini penting untuk mengingat sejarah kita sendiri sebagai bangsa. Tanpa pengorbanan Emmy Saelan dan pejuang lainnya, Indonesia tidak akan merdeka dari Belanda. :: marsinahfm/08/2013
https://marsinahfm.wordpress.com/2013/08/02/emmy-saelan-pejuang-perempuan-dari-sulawesi/