
Berikut adalah wawancara Electronita Duan dengan reporter Radio Australia Laban Laisila.
Berikut adalah wawancara Electronita Duan dengan reporter Radio Australia Laban Laisila.
LABAN LAISILA: Apa sebetulnya yang ibu lakukan sampai mendapat penghargaan N-peace award?
ELECTRONITA DUAN: Sebetulnya kerja itu tidak saya bayangkan bakal dapat award. Karena, itu kerja sehari hari yang saya lakukan di daerah saya untuk memberdayakan masyarakat. Kaitan dengan perdamaian sendiri, di Halmahera sendiri daerah konflik. Pada tahun 2000 sampai 2001 itu, masyarakat kami kedatangan pengungsi dan sangat membutuhkan pemulihan ekonomi. Di situ lembaga kami yang namanya Yayasan Sanro yang sejak 1989 telah melakukan pemberdayaan dan sempat terputus saat konflik akhirnya mulai lagi. Kita alihkan pemberdayaan itu ke pengungsi. Sebagian teman berpikir, “Kenapa tidak kamu jadi nominator N-peace Award?” Akhirnya teman teman di daerah memasukkan nama saya. Saya tidak membayangkan akan dapat.
LABAN LAISILA: Kaitannya dengan konflik, sebagai orang luar tentu kita jarang tahu konflik Ambon bisa merembet ke Halmahera. Apakah betul sempat terjadi baku bunuh juga?
ELECTRONITA DUAN: Memang seperti itu. Tapi warga Halmahera sendiri tidak tahu siapa yang memulai dan tiba-tiba terprovokasi. Karena yang pecah kerusuhan pertama kali di Ambon, Maluku Selatan. Padahal kami jauh di Maluku Utara. Nah, pengungsi yang dari Ambon sebagian masuk ke Halmahera dan terprovokasi lagi, mereka berpikir, “Wah saudara saudara kami dibeginikan.” Akhirnya saling memanasi. Akhirnya terjadi konflik lagi. Konfliknya juga hampir sebesar Ambon. Pembunuhan itu terjadi. Konflik itu ya konflik agama, yang Islam dan Kristen itu terpisah.
LABAN LAISILA: Ada keluarga yang jadi korban?
ELECTRONITA DUAN: Ya, ada. Saudara dari bapak saya itu jadi korban dan saudara yang Muslim dan Kristen juga jadi korban. Waktu itu memang tidak terkendali. Siapa yang mau mengendalikan siapa. Orang cuma lihat, agamanya apa? Nah tetapi tahun pertama-kedua setelah rekonsialiasi, baru terpikir, kenapa kita terpecah? Saya melihat langsung korban berjatuhan. Kita di jalanan lewat itu ada mayat dan orang yang terbakar dan tergeletak begitu saja. Tapi semua ingin menyelamatkan diri. Ya sudah kalau ada mayat, silahkan siapa yang mau angkat, angkat saja. Kadang kami berjalan di atas mayat, tidak sampai terinjak memang. Kadang saya berpikir, kenapa manusia seperti binatang saling bunuh satu sama lain.
LABAN LAISILA: Pada saat semua orang lari, takut dan ketidakpercayaan antara keluarga terjadi. Lalu apa yang memotivasi Anda untuk melakukan kerja perdamaian melalui yayasan Sanro?
ELECTRONITA DUAN: Karena kami dulu sudah bekerja soal pemberdayaan sebelum konflik, itu juga memotivasi. Salah satu cara yang kami pakai adalah dengan penguatan dari segi ekonomi dan pendidikan. Sebab kalau pengungsi ini tidak diberdayakan, itu akan jadi persoalan baru. Nah nanti tidak akan perdamaian. Mereka harus dikasih aktifitas. Bagaimana caranya? Nah, kami dari yayasan mencoba dari jaringan ke berbagai lembaga dari LSM nasional sampai asing dan dari Pemerintah. Dari asing itu, ada juga dari Belanda. Programnya apa? Pemulihan aktifitas pengungsi. Jadi membuat kelompok usaha kecil menengah yang bisa disupport modalnya sedikit sampai mereka membentuk lembaga keuangan mikro sendiri dan diakses sendiri. Dan memang sejak dimulai dari 2001, kami terbukti membentuk koperasi dengan anggota 50 orang dengan dana Rp 50 juta. Sekarang setelah 11 tahun, anggota kami sampai 14.000 orang dengan dana yang terkumpul hampir Rp 45 m untuk dikelola bersama. Berbagai agama masuk disitu untuk menolong mereka yang ekonomi menengah ke bawah.
LABAN LAISILA: Jadi anda meredam konflik dengan jalan memutar masuk dari kepentingan ekonomi. Tidak seperti cara pemerintah mengumpulkan orang tanda tangan damai dan konflik tidak pernah selesai. Berbeda cara. Tentu anda tidak sendiri?
ELECTRONITA DUAN: Ya betul, memang ada teman, di yayasan ada belasan staff. Kami mengalami kesulitan karena kita bekerja secara sukarela pada saat itu. Tidak mampu membiayai keluarga. Jadi melakukan kegiatan sampingan untuk membiayai keluarga. Tapi teman-teman yang hampir 20 orang melakukannya pelan-pelan. Pada 2004-2005, sebagian teman tidak tahan dan cari pekerjaan lain, ada yang jadi PNS atau kerja lain. Bagaimana kami bisa makan kalau di situ terus? Nah sekarang kami tinggal 5 orang bergerak, tapi karena koperasi kami sudah besar dan manajemen bergerak sendiri dan dikelola mandiri.
LABAN LAISILA: Sempatkah ada kecurigaan saat Anda dengan beberapa teman meredam konflik dengan cara seperti ini?
ELECTRONITA DUAN: Itu pasti ada, kecurigaan ada. Apalagi dengan dua komunitas. Kami dengan teman-teman jika dari satu komunitas pasti curiga. Itu sulit dan butuh proses untuk meyakinkan bahwa kami kerja untuk kemanusiaan. Tapi bagaimana merekatkan ketidak-percayaan dua komunitas ini? Jadi dengan aktifitas ekonomi itu, tapi kalian mesti berkelompok. Mereka bisa pelan-pelan membuat kelompok perempuan dan laki-laki, tapi komunikasinya mix dan support modalnya mesti berkelompok. Kami tidak bilang, mari berdamai atau hayo mari baku percaya. Tidak, itu malah akan mengorek lagi luka lama mereka.
LABAN LAISILA: Anda tidak lelah melakukan kerja kerja ini? ELECTRONITA DUAN: Sebenarnya kan saya senang kalau bisa diundang dan difasilitasi seperti ini. Saya sudah biasa jalan-jalan dari satu desa ke desa lain. Saya ingin membagi pengalaman untuk bagaimana kira-kira kita melakukan kerja perdamaian ketimbang teori dan betul-betul dari aktifitas. Dan saya senang melakukan kerja ini. :: KOMPAS+ABC/RADIOAUSTRALIA/mar2012