Di Dusun Kersan, Sebuah Studio Seni Tercipta Bagi Perempuan
Spesialis media dan gender, Ade Tanesia, menulis naskah ini sebagai pengantar pameran visual ‘Exhibitionist’ oleh 23 perempuan perupa [14-24 Februari 2009] dalam rangka meresmikan Kersan Art Studio di Dusun II Kersan No.154, Kasihan Bantul, Yogyakarta.
“Kenapa sih harus membedakan ini perempuan dan ini laki-laki.”
“Ah, jangan-jangan isu diskriminasi terhadap perempuan hanya persoalan yang dibuat-buat saja oleh perempuan itu sendiri.”
Atau…..
“…perempuan terlalu bawel untuk meminta haknya, dan ingin selalu diistimewakan.”
Dan seterusnya…
Sangat dan sangat sering saya mendengar komentar-komentar semacam ini, terutama jika perempuan ingin melakukan sebuah aktivitas bersama. Dunia ini rupanya banyak dihuni oleh orang-orang yang tidak melihat bahwa persoalan perempuan adalah sebuah persoalan. Tetapi memandangnya sebuah kelaziman yang tidak perlu lagi dipikirkan, apalagi diperdebatkan. Baru-baru ini saya menonton film “Revolutionary Road” yang menceritakan pasangan suami isteri. Si isteri yang bercita-cita sebagai aktris panggung harus tersangkar di dalam rumahnya dan disibukkan dengan kegiatan mengupas wortel. Bagi suaminya, cita-cita isterinya tidak lah penting, karena dia telah memberikan kebahagiaan versinya sendiri, yaitu memberikan rumah yang nyaman, membelikan baju yang bagus, dan lain sebagainya. Si isteri yang terbungkam, akhirnya membungkamkan dirinya dengan bunuh diri.
Dalam dunia seni rupa misalnya, perempuan dianggap tidak punya persoalan untuk memasuki dunia ini. Masyarakat seni rupa menganggap bahwa kebebasan perempuan sudah cukup terakomodasi di bidang seni ini. Sehingga gerakan perempuan dalam seni di Indonesia tidak dianggap sebagai suatu praktek yang mendesak. “Wong gak ada persoalan kok bikin gerakan,” demikian selintingan yang sering terdengar. Tetapi dalam canda dan aktivitas ngegosip, orang akan lebih senang membicarakan hal ketubuhan dari seorang perempuan perupa ketimbang karyanya yang luar biasa. Atau ketika seorang perempuan ingin berusaha sekuat tenaga menjadi seniman, maka dia dipersalahkan saat mengabaikan tugas-tugas domestiknya. Lalu semangatnya dimaknai sebagai ambisi yang seakan-akan tabu untuk dimiliki oleh seorang perempuan. “Walaupun jadi seniman, tetapi jangan sampai meninggalkan kewajibanmu sebagai ibu,” demikian nasihat klise yang sering terucap. Saya tidak mengatakan bahwa perempuan harus meninggalkan kesenangannya sebagai seorang ibu dan mengurus rumah tangga, tetapi seakan sudah menjadi kelaziman bahwa persoalan domestik hanyalah tanggung jawab perempuan. Jarang sekali seniman pria mengatakan “walaupun saya melukis, tetapi saya tidak pernah meninggalkan kewajiban saya untuk memandikan anak, mengepel, dan lain-lain.” Ilustrasi di atas ingin mengungkapkan kenyataan bahwa tidaklah mudah bagi perempuan ketika mereka masuk ke ruang publik untuk mengekspresikan gagasannya dan menampilkan kreasinya. Mereka bisa memasukinya, tetapi ketika segala kewajiban kulturalnya telah dipenuhi dulu.
Saya sering bekerja dengan pengelola radio komunitas, yang hampir selalu didominasi oleh laki-laki. Kemanakah para perempuan dari komunitas ini? saya sering bertanya-tanya seperti itu. Ternyata, jam siaran radio yang biasanya mengambil waktu malam hari menjadi hambatan bagi perempuan untuk terlibat di dalamnya. Di desa-desa, tidak mudah bagi seorang perempuan untuk keluar di malam hari. Hal-hal ini sering kali dianggap sepele dan tidak terpikirkan saat hendak membangun sebuah media komunitas. Akhirnya perempuan tidak bisa terlibat secara penuh, dan konsekuensinya kepentingan-kepentingan mereka tidak bisa tersuarakan.
Lalu orang mempertanyakan apakah kepentingan atau perspektif perempuan harus direpresentasikan oleh perempuan itu sendiri? Apakah tidak bisa memakai “keleluasaan pihak lain untuk mewakili kepentingan perempuan”?
Mari kita renungi ilustrasi kisah di bawah ini:
“Di kalangan suku Turkana di Kenya bagian utara, jika seorang perempuan melahirkan bayi laki-laki maka pesta besar telah menanti. Keluarga menyembelih empat ekor kambing dan seekor lembu jantan. Tetapi jika bayinya perempuan, tidak ada pesta, dan hanya seekor kambing yang disembelih”, demikian kutipan dari buku tulisan Julia Cleves Mosse,“Gender dan Pembangunan,” penerbit Pustaka Pelajar, 1996.
Jika ada ungkapan manusia dilahirkan sama, maka dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Perempuan lahir dengan sejumlah peran-peran sosial yang telah dilekatkan padanya sesuai kultur di setiap masyarakat. Artinya, ada cara pandang perempuan yang berbeda dan menjadi milik mereka sendiri, karena mereka hidup dalam suatu zona kultur yang spesifik. Cara pandang inilah yang tidak bisa diwakilkan selain oleh perempuan itu sendiri. Tidak bisa tidak, perempuan sendiri yang harus bicara tentang dirinya, tentang persoalan sehari-hari yang mereka hadapi.
Kembali ke dunia seni rupa, apa yang dilakukan oleh Kersan Art Studio dengan menampilkan karya-karya perempuan perupa (mancanegara, 14-24 Februari 2009 – red.) bukanlah sekadar reuni atau kumpul-kumpul belaka serta iseng-iseng menaruh karya di ruang pamer ini. Sadar atau tidak disadari, praktek ini merupakan tindakan politis yang ingin menyatakan pentingnya perempuan untuk mengekspresikan gagasannya melalui medium seni. Pernyataan tidak langsung ke-23 perupa perempuan ini mungkin kurang berarti bagi masyarakat seni rupa serta dianggap hanya kegiatan pameran dari sekian banyak pameran yang berlangsung di Jogjakarta. Tetapi mungkin pameran ini akan sangat berarti dan menginspirasi para perempuan yang tinggal di Desa Kersan. Kebetulan ruang Kersan Art Studio sangat cair sehingga penduduk di sekitarnya tidak terlalu enggan untuk memasukinya sekadar melihat-lihat serta memberi makan anaknya di sore hari. Bahkan jika karya-karya ini di simpan di website, entah berapa ribu atau jutaan orang yang bisa mengaksesnya.
Ketika sejumlah perempuan bersepakat untuk melakukan pameran bersama, maka kesepakatan ini sebenarnya sebuah energi kreatif yang bisa ditularkan untuk perempuan-perempuan lain yang mengalami kemiskinan akses untuk menyatakan persoalan maupun pandangannya terhadap segala gejala yang dia hadapi. Jika kita memalingkan pandangan kita sedikit ke tetangga, perempuan yang bekerja membantu pekerjaan rumah tangga kita, maka akan ditemui banyak soal yang meliliti mereka. Mereka berupaya untuk mengatasi persoalannya dengan bungkam sehingga sering kali persoalannya hanya pergi dan kelak kembali lagi. Dibutuhkan perubahan! Nadine Moawad, seorang aktivis feminis asal Libanon mengatakan bahwa sebuah perubahan hanya dapat terjadi apabila terjadi pengkomunikasian dari hati ke hati. Hubungan yang sangat personal inilah yang akan menggerakkan setiap orang pada suatu tindakan.
Menurut saya, di sinilah potensi seni sebagai salah satu alat untuk menggerakkan sebuah perubahan. Seni merupakan medium pengkomunikasian yang bicara tidak hanya di tataran nalar, tetapi juga antarhati. Contohnya adalah seni film misalnya, kisah seorang perempuan Iran untuk memperoleh hak-haknya bisa menularkan penyadaran bagi perempuan lagi di berbagai belahan dunia. Kalau dalam karya seni rupa dalam pameran “Exhibitionist”, lukisan Ambar tentang tubuh perempuan bisa menjadi inspirasi bagi perempuan lain untuk mempertanyakan apakah mereka memiliki otoritas penuh atas tubuhnya sendiri? Juni Wulandari dalam karyanya berjudul “Kehangatan Sarung Ayah” yang menggambarkan sepasang suami isteri dengan begitu banyak anak membawa penonton pada pertanyaan….apakah sang ibu dan ayah ini telah berbagi peran yang cukup adil untuk mengurusi anak-anaknya. Atau apakah hampir seluruhnya diserahkan ke sosok ibu sehingga ia tidak bisa mengembangkan individualitasnya sendiri? Karya Lashita berjudul “Me” bisa diinterpretasi sebagai hak melakukan reproduksi yang diberikan alam untuk perempuan. Pengalaman reproduksi yang dialami perempuan membuat dirinya begitu mengerti dan mencintai akan awal kehidupan seluruh makhluk hidup. Di titik inilah kita bisa meluaskan pembicaraan soal kontribusi cara pandang dan peran perempuan dalam memelihara bumi yang semakin rapuh ini. Karya Diah Yulianti berjudul “Soul of Eternity” membangkitkan sebuah perenungan, apakah ketika jiwa berpisah dengan tubuhnya, maka perempuan baru dapat merasakan kebebasan yang sesungguhnya?
Karya seni rupa melahirkan begitu banyak interpretasi baru, yang tidak harus tepat dengan pesan yang hendak disampaikan penciptanya. Hanya dari satu karya, bisa muncul interpretasi dalam jumlah tak terhingga. Kadang karya cukup memberikan pancingan bagi penontonnya untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dan karya seni yang diciptakan oleh perempuan sangat berharga dan penting untuk menjadi salah satu titik tolak yang mampu mengungkap jutaan suara perempuan di belahan dunia mana pun yang terbungkam…dari abad ke abad. Jika separuh penduduk bumi ini adalah perempuan, apakah yang akan terjadi jika suara mereka tidak didengar? Kita telah merasakannya dari dulu….yaitu ketidak seimbangan dalam berbagai kehidupan yang membuahkan kemiskinan, peperangan, kematian, dan sederet derita yang terajut dalam sejarah manusia. Masihkah kita akan diam saja? Kersan Art Studio telah memulainya dengan mengungkapkan bahwa karya dan gagasan perempuan memang diprioritaskan dalam ruang seni ini. ~ 12 Februari 2009
Untuk info pameran, silakan klik >> Pameran Visual ‘Exhibitionist’ | 14-24feb 2009
Untuk info Kersan Art Studio >> http://kersanartstudio.blogspot.com
Untuk mengenal Ade Tanesia >> http://adetanesia.wordpress.com/