[cerpen] PILU
Astrid Ayu Septaviani
Sudah empat kali kamu memegang dan meletakkan pulpen itu, pulpen pemberian Sashi dua tahun yang lalu. Hanya kamu gunakan di saat-saat tertentu. Kamu menjaganya seolah pulpen itu memiliki nyawa. Kamu mulai menghitung jumlah lembar kertas kosong di depanmu, semua ada enam lembar. Kamu melihatnya dengan rasa aneh.
Kamu beranjak dari kursi kayu yang berat itu, dan mencari steples. Kamu jepret keenam lembar kertas itu, dan kamu pandangi lagi. Kamu merasa lebih baik sekarang, kamu lebih nyaman melihat enam lembar kertas itu menjadi satu.
Dengan senyum kecut tanpa arti, kamu kembali duduk di kursi tuamu. Kini, kamu arahkan pandang matamu ke luar jendela kamar, jendela berselambu kain tipis, berdebu, dekil, dan tampak lubang-lubang kecil tempat nyamuk hilir mudik. Kamu pandangi langit sore, tanpa kamu sadari kamu tersenyum, matahari sore ternyata mempesonakanmu. Kamu merasa jauh lebih baik. Alam bisa memberimu rasa nyaman di tengah keasinganmu pada dirimu sendiri.
Kamu ambil pulpen itu lagi, dan mencoba menuliskan sebuah judul. Kamu baru bisa menulis “sebuah”. Kamu berhenti sejenak, dan akhirnya tiba-tiba saja semangatmu muncul. Kamu mulai menulis kalimat demi kalimat, begitu cepat. Enam lembar kertas itu kamu habiskan dalam waktu 20 menit.
Kamu tak pernah menulis secepat ini, sampai-sampai kamu tak menyadari tanganmu basah oleh keringat. Padahal pendingin ruangan di kamarmu masih berfungsi normal. Entah darimana keringat itu berasal. Mungkin dari kegugupanmu, atau karena semangatmu yang tiba-tiba saja membesar seperti ombak yang tak ada ampun menghantam karang.
Kini kamu sudah selesai menulis, namun kamu masih bingung dengan judulnya. Kamu baca ulang tulisanmu, tapi kamu paling suka dengan 3 alinea terakhir:
Kamu selalu ingin pergi, atau kamu memang sudah pergi. Aku biarkan kamu pergi, karena aku tahu kamu pasti kembali. Kamu pasti mencariku. Kamu tak bisa tanpa aku. Kamu akan selalu butuh aku. Kamu akan selalu merindukan aku. Pergilah sesukamu, ke tempat yang menjadi mimpi-mimpimu yang tak pernah kamu bagi denganku. Pergilah, kamu pasti kembali lagi.
Kalau nanti kamu sudah puas dengan perjalananmu, aku masih di sini. Aku tak akan beranjak kemana pun, aku yakin kamu pasti kembali. Aku mau kamu menemukanku di saat kamu kembali. Aku yakin kamu pasti tahu kalau aku selalu menunggumu sampai kapan pun. Kamu hanya perlu bertanya, tanyalah apa aku akan selalu ada untukmu selamanya. Selama kamu tidak bertanya, maka aku akan tetap seperti ini. Mintalah aku untuk bersamamu, karena aku tak punya daya untuk memintamu. Kamu tahu, aku yakin kamu pasti kembali. Dan kamu akan kembali, pasti kembali.
Tak ada ragu sedikit pun, itu semua akan terjadi. Tapi kemudian pikiranku melayang, andai saja waktu itu tiba, akan menjadi seperti apa hubungan kita? Apakah kamu sudah kembali pada keyakinanmu? Apakah kamu akan kembali dengan tanpa satu pun ingatan tentang dosaku? Kamu tahu, aku akan lakukan apa pun untuk menebus dosaku.
Kamu rayu Tuhan dengan segala daya, meski kamu tahu Tuhan selalu menjauhkanmu darinya. Tapi kamu tak peduli. Pernah kamu merasa lelah, dan ingin melepasnya. Tapi kamu selalu merindunya. Dan kamu kembali merayu Tuhanmu, lagi-lagi dengan segala daya upayamu.
Berbagai jurus kamu keluarkan, tapi Tuhan justru semakin menjauhkannya darimu. Terkadang kamu berpikir, Tuhan begitu menjengkelkan karena tak menghiraukanmu. Tapi kamu selalu memintanya lagi, minta ia kembali padamu. Sesaat kamu menyadari dosa besarmu. Tapi kamu tak pernah berhenti meminta, merayu.
Kamu bilang kamu merasa sepi tanpanya. Surat enam lembar itu seperti pengakuan dosa bagimu. Kamu ingin memberikannya pada Sashi, tapi kamu tak tahu di mana keberadaannya. Kamu baca kembali tulisanmu. Kamu miris, air matamu menetes tanpa terbendung, dan kamu tak sadar bahwa hatimu sudah begitu hancur.
Lembar pertama, kamu mengakui rasa bersalahmu telah memintanya mengikuti keyakinanmu. Kamu bangga ketika ia tampak bahagia, meski kedua orangtuanya tak turut menyaksikan senyum bahagianya.
Lembar kedua, kamu mengakui pernah membentaknya dan tak menghiraukannya tanpa sebab. Kamu bersikap seperti itu, ketika kamu mengingat belahan jiwamu yang lain. Belahan jiwa yang selalu merengek, meminta waktumu bersamamu. Awalnya kamu merasa risih, tapi kemudian kamu tenggelam dalam upaya rayunya.
Lembar ketiga kamu mengakui telah bosan dengannya dan tak membutuhkannya. Kamu mulai asik dengan dia yang jarinya begitu lentik, yang tubuhnya begitu harum ketika kamu datang mengunjunginya.
Lembar keempat, kamu pernah menghinanya. Menghina budaya kelahirannya. Kamu menyebutnya sebagai budaya yang konyol. Budaya yang melahirkan Sashi yang selalu ingin mengunjungi tempat baru, berkelana mengenal dunia lebih luas. Kamu benci bila Sashi berpamitan keluar kota, menuruti dorongan yang disebutnya sebagai naluri. Kamu bahkan marah besar ketika Sashi mengajakmu dalam perjalanannya.
Lembar kelima, kamu hanya peduli dengan dirimu, perasaanmu, pikiranmu, kamu tak mau mendengarnya apalagi orang-orang yang peduli padamu. Kamu berubah menjadi bebal. Kamu bahkan menulis kamu tak layak disebut manusia.
Lembar keenam, kamu menceritakan kepergian Sashi. Kamu menyesal, dan kamu ingin dia kembali. Kamu bodoh. Masih saja kamu mengharap dia yang memintamu, bertanya apa kamu masih ingin bersamanya. Dia lepaskan semua tentangnya demi membahagiakanmu.
Kini, dia sudah pergi, menemukan dirinya, hidupnya. Dia kembali pada nama yang menjadi identitasnya. Dia pergi dari satu tempat ke tempat lain mengikuti nalurinya. Dia pergi tanpa mengetahui kenyataan kamu telah menyimpan hati yang lain di dalam hatimu.
Dia tersenyum setiap hari. Kamu menangis setiap hari. Dia tak pernah memilih pria lain, tak juga memilih kamu. Dia tak pernah merasa sepi. Dia selalu mendengarkan setiap orang. Dia selalu mencoba memperhatikan semua orang. Dia tak pernah egois, tak seperti kamu. Hanya mendengar dirimu sendiri, hanya pedulikan dirimu sendiri. Kini kamu hancur sehancur-hancurnya, dan dia tenang setenang-tenangnya. Dia tak kembali padamu, karena kamu belum berubah. Masih egois. Pun kamu tak berusaha mencarinya. Hanya duduk manis di kursi tuamu yang berat.
Kamu mengusap air matamu dengan selembar sapu tangan yang kumal. Debunya menyeruak ke dalam lubang hidungmu, dan tiba-tiba saja kamu terserang flu.
Kamu berdiri dari kursi tuamu, kamu bahkan tak ada daya untuk mengangkat kursi kayu itu. Kamu berjalan tertatih-tatih, menuju lemari pakaian Sashi yang kini kosong, hanya selembar jarik batik dan kebaya putih yang dikenakannya ketika pernikahan kalian.
Kamu tak menemukan jejak-jejak Sashi di lemari itu, selain baju pengantinnya. Jantungmu terasa begitu ngilu, hatimu begitu remuk. Air matamu benar-benar jatuh tanpa perlu ijin darimu, membasahi pipi, kaos putih yang mulai kumal, dan meluncur deras ke lantai kamarmu. Kamu menutup lemari itu dengan tenaga yang tersisa, hampir tak ada sisa. Kamu begitu lemah.
Kamu memandangi potret pernikahan kalian berdua di atas cermin. Senyumnya begitu mempesona. Melihatnya, kamu tersenyum tanpa sadar. Sesaat kemudian, kamu terbius. Pikiranmu menerawang pada masa yang lalu. Ketika kamu pertama mengenal Sashi di gallery lukisan dekat apartemenmu. Kamu mengingat detik-detik pernikahanmu, ketika orangtua Sashi menolak keras hubungan kalian berdua. Kamu menjemput Sashi, menyaksikan Sashi yang tersungkur memeluk kaki kedua orangtuanya, berpamitan untuk hidup bersamamu.
Kenangan itu berjalan sesuai garis waktu di kepalamu, seperti garis waktu di Facebook. Begitu runut dan runtut, tak ada satu pun yang terlewat. Termasuk kenangan pertemuanmu dengan belahan jiwamu yang lain.
Air matamu semakin menjadi-jadi, keluar tanpa permisi. Kamu seperti bayi yang kehilangan mainan kesayanganmu. Hatimu mendadak menjadi begitu sakit, ngilu, seperti tergores belati panas. Sakit yang begitu hebatnya membuatmu sesak. Jantungmu seperti berhenti sesaat, refleks tanganmu memegang dada kirimu.
Kali ini kamu mencari pegangan untuk berjalan. Kamu berjalan dengan berpegangan pada lemari, berpegangan pada tempat tidurmu, dan kembali duduk di kursi tua yang sudah payah. Kursi tua itu semakin terasa berat bagimu. Kamu seperti kakek tua yang tak memiliki cukup kekuatan untuk menggeser kursi kayu.
Tanganmu bergetar menggapai sebuah pigura. Pigura yang tak pernah kamu pasang ketika Sashi masih bersamamu. Tentu kamu tak akan pernah memajangnya, karena di potret itu kamu tampak begitu mesra bersama Lena, perempuan yang berhasil menaklukkanmu, dan kemudian meninggalkanmu begitu saja karena kecelakaan mobil. Tak jauh dari situ, tepat di atas meja kerjamu, foto Sashi yang anggun dengan Baju Bodo tersenyum manis padamu. Menambah keperihan di area dadamu.
Kini kamu menemukan judul tulisanmu. Kamu coret kata “Sebuah”, dan kamu tulis dengan huruf kapital super besar…”PILU”.
Astrid Ayu Septaviani/29jun2016