Cara Indie, Endah Raharjo Luncurkan Novel Perdana
Dari Cerita Bersambung di Media Online Menjadi Novel
Saya pernah bekerja bersama para pengungsi di perbatasan Myanmar-Thailand. Berbagai pengalaman di sana, saya tuliskan menjadi kisah perjalanan yang saya beri judul “Di balik belitan Razor Wire”. Ini menceritakan tentang salah satu konflik yang terjadi di Myanmar. Kebetulan ketika baru dua hari bekerja di sana, tempat itu baru saja di bom oleh Karen National Liberation Army (KNLA), salah satu kelompok etnis minoritas yang ingin independent dari pemerintah Myanmar.
Setelah itu, saya berpikir bagaimana kisah perjalanan tersebut dikembangkan sebagai suatu cerita fiksi. Pastilah bisa lebih enak untuk mengisahkannya. Akhirnya, cerita itu-pun jadilah, yang sekarang menjadi novel “Senja di Chao Phraya”.
Novel ini yang bermula dari tulisan sebanyak empat episode, lalu saya kembangkan lagi ke dalam tulisan 5,000 kata. Dikembangkan lagi menjadi 22 episode (terpublish di Baltyra).
Pada saat ingin dijadikan buku, novel ini semula terdiri dari tujuh episode yang masing-masing episodenya sangat panjang. Berkat saran dari seorang sahabat, yaitu Gunawan Maryanto (GM) atau sering saya panggil Cindhil, episode itu dipecah menjadi beberapa episode, dan akhirnya menjadi 55 bab.
Memang ada perbedaan antara cerita yang terposting di media online dengan yang ada di dalam buku. Ketika menulis di media online, saya merasa tidak memiliki beban, bisa menulis apa adanya, dan sangat bersifat personal. Namun ketika akan diterbitkan sebagai buku, saya merasa harus bisa mempertanggung-jawabkan apa yang saya tulis.
Saya bukan anak-anak lagi. Berbagai pengalaman sudah sedemikian banyaknya. Ketika saya menghasilkan sesuatu, ada perasaan malu jika karya yang dihasilkan hanya biasa-biasa saja.
Pengalaman selama ini memang saya lebih banyak menulis sesuatu yang bukan bersifat fiksi. Di bawah alam sadar saya, fiksi itu, misalnya menulis seperti kisa Harry Potter, di mana kita membebaskan imajinasi kita sebebas-bebasnya. Tapi ketika bercerita tentang kisah cinta, ini harus ada “sesuatunya” yang bisa membuat kisah cinta memiliki bobot tersendiri.
Pada proses menuliskan kembali, saya banyak bertanya dan meminta saran-saran penulis, penikmat novel dan kawan-kawan lainnya. Sebagian besar dari mereka memberikan saran agar saya bisa menggambarkan lebih detil lagi sesuatu yang perlu diketahui oleh pembaca. Sebagai contoh adalah tentang sungai Chao Phraya. Bagaimana sungai tersebut dapat digambarkan secara detil dan memasukkan sesuatu yang menarik tapi selama ini kurang mendapatkan perhatian dari orang.
Di situlah perbedaan, yang saya alami dalam proses penulisan Novel di media online dan ketika dijadikan sebagai sebuah buku cetak. Ada sesuatu yang harus saya renungkan lebih dalam dan saya tuangkan secara serius. Pada proses ini, saya memang berguru kepada Gunawan Maryanto (GM), agar saya mampu menghadirkan cerita yang lebih bertanggung jawab.