Cara Indie, Endah Raharjo Luncurkan Novel Perdana
Belajar Arsitek, Ujungnya Di Mesin Tik
Latar belakang saya adalah arsitek dan pernah belajar mengenai Urban Studies and Planning. Studi saya selesaikan pada tahun 1987. Tapi selama ini saya tidak pernah serius berkarya sebagai artistek. Semua proyek yang saya kerjakan sejak tahun 1988, berhubungan dengan kepenulisan.
Pada tahun 2008, kegiatan saya di luar rumah mulai berkurang. Setidaknya ada tiga hari dalam seminggu saya berada di rumah. Ketersediaan waktu yang banyak, membuat saya berkesempatan untuk terlibat dalam pertemuan dan kegiatan-kegiatan ibu-ibu di kampung, berjalan-jalan bersama mereka. Tapi lama-lama ada kebosanan. Suatu hari ketika saya membuka dan membaca arsip-arsip yang terkait dengan pekerjaan, ada dorongan yang kuat bagi saya untuk menuliskan ke dalam karya fiksi.
Awalnya saya pernah menulis puisi. Jujur biasa saya lakukan kalau merasa patah hati. Dua puisi saya pernah dimuat di satu media dan mendapatkan honorarium sebesar seratus ribu rupiah.
Setelah itu saya membuat cerita pendek. Cerita yang pertama kali saya buat berjudul “Darsinem” yang dimuat di situs Langit Perempuan yang dikelola oleh seorang aktivis perempuan, Nani Buntarian. Selanjutnya saya menulis cerpen lagi yang berjudul “13 Perempuan” dan dimuat di Kompas.com. memang berbeda dengan kompas versi cetak, tapi saya tetap merasa bahagia karena ada proses seleksi agar karya bisa ditampilkan di sana. Ada kebanggaan, bahwa apa yang saya lakukan mendapatkan apresiasi dari pihak lain.
Ada cerpen yang termuat pula di “Langit Perempuan” yang mendapatkan reaksi dari banyak orang yang disampaikan kepada saya melalui email ataupun inbox. Mereka mempertanyakan dan menyayangkan saya menuliskan tentang kehidupan lesbian. Judul cerpen itu adalah “Pulang” yang terilhami dari pengalaman saya ketika kedatangan seorang kawan dari Belgia yang merupakan lesbian. Ia mengajak saya berkumpul dan makan bersama di suatu tempat bersama perempuan-perempuan lain yang juga lesbian. Ada delapan perempuan bersama saya pada saat itu. Saya benar-benar merasa salah tingkah berada di tengah mereka. Saya berusaha keras untuk menunjukkan diri bahwa saya bukan lesbian. Berbagai perasaan berkecamuk di hati saya.
Proses penulisan, terus saya lakukan dengan menggunakan media online. Di Kompas.com, Baltyra, dan Kompasiana. Menulis di media online telah memberikan ke-pede-an bagi saya untuk menulis, walau secara jujur, masih banyak hal yang saya tahan untuk tidak dituliskan dan dipublikasikan.