[buku] Mutiara yang Terjaring, Rekam Jejak 18 Perempuan Teladan Riau

Judul Buku: Mutiara yang Terjaring
Penulis: Tim Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau (PUSDATIN PUANRI)
Penerbit:
PUSDATIN PUANRI, Riau dan BKPBM, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xii + 277 halaman

DALAM sejarah kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, terukir jejak-jejak kaum perempuan yang memiliki andil besar, di antaranya Cut Nyak Dien, Srikandi maupun RA Kartini. Mereka memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam memajukan bangsanya. Perempuan-perempuan seperti itulah yang patut kita contoh dan teladani. Srikandi, misalnya, terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Karena itu, namanya menjadi simbol perempuan pejuang dan pemberani.

Di Bumi Lancang Kuning, tidak sedikit srikandi yang berjasa dalam memajukan bangsa mereka. Jasa dan pengorbanan mereka layak mendapatkan apresiasi yang tinggi karena telah mengantarkan masyarakat Melayu kepada kemajuan dan peradaban modern serta berjasa dalam pengembangan budaya Melayu. Sebagian masyarakat Melayu tentu akrab dengan nama Tengku Agong Syarifah Latifah, perempuan yang berjasa dalam memajukan pendidikan kaum perempuan Melayu, karena namanya telah diabadikan sebagai nama jembatan di Siak, Riau. Namun, bisa jadi masyarakat Melayu tidak mengenal Fatimah Rukun, Masajo, Tengku Badiah, ataupun Wak Setah. Padahal, para srikandi tersebut telah membuka pintu peradaban dan memahat ukiran sejarah kemajuan bagi Riau.

Sebab itu, agar perjuangan mereka tidak memudar sia-sia, muncullah inisiatif pemerintah daerah untuk mendokumentasikan biografi mereka. Diharapkan, kumpulan biografi ini dapat menjadi cermin bagi perempuan-perempuan Riau selanjutnya agar dapat memetik teladan dan meneruskan perjuangan mereka dalam membangun bangsa.

peluncuran_buku_mutiara_yang_terjaringPrakarsa Pusdatin Puanri

Wadah pemerintah daerah yang peduli dengan pelestarian budaya tersebut ialah Tim Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau (Pusdatin Puanri). Bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat (BPPM) Provinsi Riau, mereka menyeleksi 18 dari ‘mutiara yang berserak’ dan mendokumentasikan mereka pada sebuah buku kumpulan biografi yang diberi judul: Mutiara yang Terjaring (2007), yang diluncurkan di Pekanbaru pada akhir bulan Agustus 2007.

Septina Primawati Rusli selaku ketua Pusdatin Puanri dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) provinsi Riau mengatakan, bahwa buku ini ditulis sebagai penghargaan dan penghormatan kepada para tokoh perempuan Riau yang terus berkarya meskipun sudah sepuh. Dijelaskannya, selama tiga tahun Pusdatin Riau mengumpulkan data perempuan dari berbagai bidang, seperti politik, kesehatan, ekonomi dan lainnya. Para tokoh yang dihimpun terserak hampir ke seluruh daerah Riau. Proses penjaringannya dilakukan pada beberapa tahap. Mulai dengan pengumuman untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengusulkan toko-tokoh perempuan yang mereka kenal. Setelah itu dilakukan seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Dari situlah kemudian terjaring 18 orang perempuan yang dinyatakan layak dinobatkan sebagai suri tauladan bagi kaum perempuan umumnya dan generasi muda Riau.

Salah satu dari 18 tokoh Riau itu adalah Tengku Agong Syarifah Latifah, permaisuri Gahara Tengku Agong di masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II. Ia adalah sosok yang mengangkat martabat perempuan melalui pendidikan. Ia membangun lembaga pendidikan yang diberi nama Sultanah Latifah School pada 1926. Pendidikannya memberi bekal khas bagi perempuan melalui kecerdasan dan keterampilan sebagai modal pengetahuan jika kelak berumahtangga. Pendidikan yang digagasnya berpijak pada keterbukaan dan pluralisme yang bertujuan agar perempuan Siak dan pantai timur Sumatra dapat berhubungan dan membuka diri dengan dunia luar serta bisa menerima ide-ide dari suku bangsa mana pun. Dari Sultanah Latifah School itulah, lahir srikandi-srikandi lainnya yang turut berjasa membangun Riau di kemudian hari.

Sosok perempuan lainnya ialah Masajo, srikandi Riau yang pernah mengenyam pendidikan di Sultanah Latifah School. Masajo berhasil mengenalkan tenun indahnya kepada dunia. Kisah hidupnya berawal ketika tentara Jepang yang kekurangan sandang dan pangan memerintah keluarga mereka untuk membuatkan kain dari 10 goni kapas yang mereka bawa. Merasa tidak memiliki secuil pengetahuan pun dalam membuat kain, Masajo berjuang mengubah kapas menjadi benang, dan dari benang menjadi kain. Dari kehidupan Masajo itulah terlahir bidal tua Melayu yang menjadi penuntun umum, yang berbunyi:

Dari kapas menjadi benang,
Pilin benang menjadi kain,
Orang lepas jangan dikenang,
Sudah menjadi si orang lain.

Masajo ialah sosok sederhana yang kreatif. Dengan pengetahuan yang sangat minim, ia mampu menghasilkan karya monumental yang tak pernah terlintas di benaknya. Kini, tenun Masajo telah menjadi haute coutoure (tradisi pakaian kelas tinggi), yang dipakai oleh dara, bujang, bahkan petinggi Siak dan Riau, dalam helat-helat majelis tinggi.

Lain lagi dengan Wak Setah seorang penutur cerita. Perempuan ini mahir dalam bakoba, suatu keahlian untuk mengisahkan secara lisan kisah-kisah masa lalu, seperti sejarah tentang Kerajaan Kunto Darussalam, Pagaruyung, cerita alam, lingkungan, serta aneka dongeng. Kisah-kisah lisan itu sarat dengan muatan moral, tamsil, kekuasaan, serta kearifan lokal. Dari Wak Setah-lah kelestarian budaya Melayu tetap terjaga. Darinya jualah generasi muda Melayu mengenal sejarah dan adat resam mereka.

Masih banyak sosok perempuan Riau yang lain. Masing-masing memiliki keunggulan dan karya yang patut dibanggakan. Dengan perjuangan dan kegigihan mereka, kini Bumi Lancang Kuning telah menjadi suatu daerah dengan peradaban modern. Sebagai upaya untuk menyelisik jejak-jejak budaya dan goresan peradaban yang pernah disentuh dan diciptakan para srikandi Riau, rekam jejak ini diharapkan dapat mengais dan mengangkat kembali nilai-nilai budaya yang telah mereka bangun dan kembangkan.

Oleh Nanum Sofia, Penggiat Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta
Sumber: MediaIndonesia.com + MelayuOnline.com

Leave a Reply